Desakan dari DPR dan aktivis perempuan mengungkap bobroknya sistem internal Polri setelah kasus pemerkosaan anak oleh mantan Kapolres Ngada terkuak.
JAKARTA,SELATANINDONESIA.COM – Tangis tak kunjung reda dari mulut bocah lima tahun itu ketika Anggota Komisi XIII DPR RI, Dr. Umbu Rudi Kabunang mendatangi rumah orang tuanya di Kelurahan Liliba, Kecamatan Oebobo, Kota Kupang beberapa pekan silam. Umbu Rudi menenangkan korban kekerasan seksual yang dilakukan mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja. Ia tak berbicara banyak, hanya menggenggam tangan kecil korban dan ibunya, memastikan bahwa negara tidak akan tinggal diam.
“Saya pastikan semua korban akan mendapatkan pendampingan psikologis dan hukum. Ini bukan hanya kejahatan terhadap anak, ini kejahatan terhadap kemanusiaan,” kata politisi Golkar dari Dapil NTT 2 itu.
Kasus pemerkosaan terhadap tiga anak di bawah umur oleh perwira polisi aktif itu mengguncang publik Nusa Tenggara Timur. Lebih dari sekadar kekerasan seksual, fakta-fakta di lapangan menunjukkan dugaan kuat bahwa Fajar melakukan tindakan tersebut secara sistematis, penuh manipulasi, bahkan menggunakan obat-obatan untuk membius korban. Orang tua korban bahkan tidak mengetahui selama berbulan-bulan bahwa anak mereka tengah mengalami trauma berat dan kerusakan psikologis mendalam.
Tekanan terhadap institusi hukum datang dari berbagai penjuru. Ketua Tim Penggeraka PKK Provinsi NTT, Asty Laka Lena bersama Aliansi Perlindungan Perempuan dan Anak (APPA) NTT pada Selasa (20/5/2025) menggelar rapat bersama Komisi XIII DPR RI di Jakarta. Mereka terdiri dari Rm. Leo Mali, Libby Sinlaeloe, Tory Ata dan sejumlah ajtivis perlindungan perempuan dan anak.
Anggota Komisi III DPR RI asal NTT, Umbu Rudi Kabunang bersuara lantang dalam rapat dengar pendapat umum tersebut. Ia menyebut kasus ini sebagai bukti kegagalan menyeluruh institusi kepolisian.
“Seorang Kapolres bisa memperkosa anak berusia lima tahun—ini kehancuran moral total. Saya nyatakan sistem pengangkatan jabatan di Polri telah gagal,” tegas Umbu, yang juga pernah menjadi pengacara publik.
Ia tak hanya mengkritik pelaku, tetapi juga menyentil pucuk pimpinan Polri. “Kapolri harus mengevaluasi dari akar—dari rekrutmen, pendidikan, hingga proses kaderisasi. Jangan-jangan ini bukan kasus pertama, hanya yang ketahuan saja,” katanya.
Umbu juga menuding institusi Polri lalai menunjukkan empati kepada korban. “Saya tidak dengar ada pernyataan resmi dari Polri yang menyentuh sisi kemanusiaan para korban. Ini menyakitkan,” tambahnya.
Desakan dari Umbu dan Asty bergema bersama suara keras dari para aktivis perempuan di NTT. Salah satunya datang dari Lobby Sinlaeloe, aktivis dari Rumah Peremouan Kupang. Ia menyebut kasus ini sebagai “puncak gunung es” dari relasi kuasa dalam lembaga penegak hukum yang tak pernah disentuh reformasi serius.
“Ketika pelakunya adalah aparat negara, anak-anak tak punya tempat berlindung. Bayangkan, mereka dibungkam dengan ancaman, dimanipulasi, bahkan dibius. Ini kerja sistematis. Dan kita semua tahu, ini bisa terjadi karena struktur kita membiarkan,” ujar Lobby.
APPA NTT, jaringan yang terdiri dari organisasi perempuan, lembaga bantuan hukum, dan gereja, turut bersuara. Mereka tidak hanya mengawal proses hukum, tapi juga menuntut pembenahan institusional dalam tubuh kepolisian. Dalam dokumen yang mereka serahkan ke Komisi XIII DPR, mereka menyebutkan bahwa “Fajar bukan satu-satunya, dan ini bukan sekadar aib, tapi darurat moral dan hukum.”
Sementara itu, proses hukum terhadap AKBP Fajar masih berjalan lambat. Meski telah ditahan, belum ada keterangan resmi mengenai pasal-pasal yang dikenakan, terutama soal penggunaan obat-obatan untuk membius korban. Aktivis menuding polisi lamban dan tidak transparan.
“Kami tidak mau kasus ini lenyap seperti banyak kasus lain yang melibatkan aparat. Ini harus menjadi momentum reformasi kepolisian. Kalau perlu, bentuk tim independen untuk mengusut sampai ke atas,” kata Umbu tegas.
Bagi Asty Laka Lena, perjuangan ini tidak berhenti di meja hukum. Ia tengah merancang skema pemulihan jangka panjang bagi anak-anak korban, mulai dari trauma healing untuk menjaga mental anak. “Saya ingin mereka tumbuh menjadi perempuan kuat, dan tak seorang pun boleh merenggut masa kecil mereka lagi,” ucap Asty dengan mata berkaca-kaca.*/laurens leba tukan
Komentar