GESER UNTUK LANJUT MEMBACA
Hukrim
Beranda / Hukrim / Suara Terakhir Prada Lucky: Ibu Saya Tak Pernah Pukul Saya Seperti Ini

Suara Terakhir Prada Lucky: Ibu Saya Tak Pernah Pukul Saya Seperti Ini

Salah satu terdakwa kasus meninggalnya Prada Lucky Namo yang digiring ke ruang sidang Pengadilan Militer III-15 Kupang, Senin (27/10/2025). Foto: HeBat

Laporan dari ruang sidang Pengadilan Militer III-15 Kupang tentang malam panjang di barak Aeramo. Antara perintah, penyiksaan, dan pengakuan yang dipaksa.

KUPANG,SELATANINDONESIA.COM – Sidang perdana kasus penganiayaan yang menewaskan Prada Lucky Namo, prajurit Yonif Teritorial Pembangunan (TP) 834/Wakanga Mere, Aeramo, Kabupaten Nagekeo, digelar di Pengadilan Militer III-15 Kupang, Senin (27/10/2025).

Dalam sidang ini, terungkap kesaksian mencengangkan dari rekan korban, Prada Richard Junimton Bulan, yang mengaku turut disiksa dan dipaksa mengakui perilaku menyimpang yang tak pernah ia lakukan.

Nomor perkaranya 40-K/PM.III-15/AD/X/2025. Tapi yang menggema di ruang sidang bukan angka, melainkan perasaan getir. Di hadapan majelis hakim, satu per satu saksi naik ke kursi. Di antaranya Prada Richard Junimton Bulan rekan sekamar, rekan tugas dapur, dan saksi hidup penyiksaan yang sama-sama dialami bersama almarhum Prada Lucky.

“Tidak ada apa-apa di HP saya, tapi saya dibawa,” ujar Richard lirih, suara menahan getir.

Sentuhan Kecil, Arti Besar: Wagub Johni Asadoma Serahkan Paket Sembako Bersubsidi di Sabu Raijua

Ia bercerita, malam 27 Juli 2025 itu, sekitar pukul delapan malam, Prada Lucky sudah lebih dulu dibawa ke ruang staf intel. Isu yang beredar di barak: Lucky diduga melakukan penyimpangan seksual. Tanpa bukti, tanpa laporan resmi. Hanya karena percakapan pribadi di telepon genggam yang belum jelas isinya.

Richard, yang masih bertugas di dapur malam itu, menerima panggilan lewat telepon sekitar pukul 00.18 WITA dari Sertu Andre Mahoklory. Ia disuruh datang ke ruang staf intel. Di sana, ia melihat pemandangan yang tak pernah ia lupakan: Prada Lucky duduk dengan tubuh gemetar, di hadapan Dansi Intel, Sertu Thomas Desambris Awi.

“Saya heran kenapa dibawa juga, padahal HP saya bersih,” katanya di persidangan.

Namun malam itu, kebersihan ponsel tak menyelamatkannya dari amarah barak. Ia diperintahkan mengambil selang, tapi karena tak menemukannya, diganti kabel putih. Kabel itu, kata Richard, justru berubah menjadi alat cambuk yang melukai mereka berdua.

“Sampai kulit kami terkelupas. Mohon izin, kami teriak. Almarhum tahan, hanya meringis,” ucapnya, menunduk.

Dari Tangan Muda NTT, Tumbuh Kreativitas dan Harapan

Pukulan datang bergantian, dari tangan, sandal, dan kabel. Dari jam satu hingga setengah tiga dini hari. Beberapa perwira berdiri di sekitar, termasuk terdakwa Lettu Infanteri Ahmad Faisal, komandan kompi atau Dankipan A. Ia hanya diam, menonton anak buahnya disiksa tanpa henti.

Ketika istirahat tiba, Richard mendengar suara yang masih menghantui hingga kini. Dari ruangan sebelah, Lucky berteriak. “Saya dengar dia bilang, ‘Ibu saya tidak pernah pukul saya seperti ini.’”

Beberapa jam kemudian, tubuh Lucky nyaris tak lagi sanggup berdiri. Pagi harinya, bibirnya bengkak, paha lebam, wajah pucat. Tapi penyiksaan belum selesai. Malam berikutnya, mereka kembali dipanggil. Kali ini 16 orang terlibat. Selang biru berayun, cambuk jatuh di punggung, kaki menekan kepala.

“Sampai kami kencing,” kata Richard.

Komandan kompi, Ahmad Faisal, sempat datang. Tapi ia hanya melihat lalu pergi pukul 23.00 WITA, meninggalkan dua prajurit muda yang sudah babak belur. Mereka kemudian dibawa ke puskesmas. Tubuh Richard luka, Lucky nyaris tak sadarkan diri. Dokter sempat curiga, tapi para prajurit itu sudah diberi instruksi.

Melki Laka Lena dan Gong Transparansi Pendanaan Pendidikan NTT

“Kami disuruh bilang ke dokter, jatuh dari pohon,” kata Richard, menirukan perintah komandannya.

Tak lama setelah itu, Prada Lucky meninggal. Hemoglobinnya turun drastis, tubuhnya tak kuat menahan luka dalam.

Kuasa hukum keluarga korban, Akhmad Bumi, menyebut penganiayaan terhadap Lucky dan Richard sebagai tindakan “di luar hukum dan di luar nalar”. Jika memang ada dugaan penyimpangan seksual, kata Bumi, seharusnya diproses melalui mekanisme Angkum (atasan yang berhak menghukum), bukan lewat cambuk dan pengakuan paksa.

“Kalau benar terindikasi LGBT, dilaporkan ke Danyon, bukan diadili di barak,” ujarnya seusai sidang.

Dalam pemeriksaan di POM Ende, hasil tes terhadap Richard menunjukkan ia normal, tidak ada gejala penyimpangan seksual. Namun kekerasan yang dialaminya tak bisa dihapus. Dalam kesaksiannya kepada tim hukum keluarga, Richard bahkan menceritakan perlakuan yang lebih keji: cabai yang diulek dimasukkan ke anus dan kemaluan mereka, lalu tubuh disiram air jeruk bercampur garam.

Perintah datang dari beberapa senior, di antaranya Made Juni Arta Dana dan Andre Mahoklory. Salah satu terdakwa, Achmad Thariq Al Qindi Singajuru, disebut dua kali melarang Richard untuk menyebut pelaku lain dalam penyidikan. “Cukup empat nama saja,” kata Richard menirukan perintah itu.

Kini, di ruang sidang Kupang, semua kisah itu mulai keluar satu per satu. Prada Lucky tak lagi bisa berbicara. Tapi suaranya hidup di kesaksian Richard tentang kabel putih, selang biru, dan kalimat lirih seorang anak kepada ibunya di malam terakhir hidupnya.

Sidang masih panjang. Tapi publik kini menunggu satu hal: apakah hukum militer akan berani menegakkan keadilan untuk prajurit kecil bernama Lucky Namo, yang mati bukan di medan perang, melainkan di barak tempatnya belajar setia.*/HeBat/Laurens Leba Tukan

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Advertisement
× Advertisement