MBAY,SELATANINDONESIA.COM – Air bah datang seperti amukan kuda liar yang lepas dari kendali. Dalam hitungan menit, sungai-sungai kecil yang biasa jinak menjelma menjadi gulungan lumpur pekat, menyeret rumah, jembatan, dan tubuh-tubuh manusia yang tak sempat menyelamatkan diri. Malam itu, antara 7 hingga 9 September 2025, Nagekeo disergap bencana yang meninggalkan luka panjang.
Enam hari kemudian, Sabtu siang (13/9/2025), Wakil Gubernur NTT, Johni Asadoma menjejakkan kaki di tanah yang masih becek oleh lumpur. Ia datang bukan sekadar meninjau, tetapi memastikan bahwa negara hadir di tengah rakyatnya. Dari pukul 14.30 hingga menjelang senja, Wagub Johni bersama rombongan menyusuri titik-titik terparah: irigasi hancur, jalan putus, jembatan ambruk, rumah warga rata dengan tanah.
“Pemerintah daerah NTT ikut berduka cita yang mendalam bersama para korban. Sesuai arahan langsung Presiden Prabowo, kami akan berupaya semaksimal mungkin menanggulangi semua kerusakan yang terjadi,” kata Wagub Johni di hadapan warga yang kehilangan keluarga dan tempat tinggal.
Jejak Kerusakan
Banjir bandang dan longsor memutus nadi kehidupan Nagekeo. Catatan sementara pemerintah menunjukkan:
27 unit bangunan irigasi hancur, membuat pasokan air pertanian lumpuh.
24 titik jalan rusak, total sepanjang 57 km, terutama ruas Gako–Mauponggo dan Mauponggo–Maubawa.
7 jembatan besar roboh, termasuk Jembatan Kelewae–Boloroga, Desa Lajawajo, hingga Maukeli.
40 rumah hilang tersapu arus, 17 rumah rusak berat, dan 48 rumah rusak ringan.
Kerugian infrastruktur itu beriringan dengan kehilangan jiwa. Lima orang ditemukan meninggal dunia, tiga masih hilang dalam pencarian, 16 warga luka-luka, sementara 747 kepala keluarga mengungsi secara mandiri.
Suara dari Reruntuhan
Di Desa Sawu, Yosefina Meli Boa (35) menuturkan kisahnya dengan mata berkaca-kaca. Malam bencana, ia dan anaknya bertahan hidup dengan berpegangan pada batang pohon. Namun, suami dan anaknya yang lain ditemukan tak bernyawa keesokan harinya, terjebak dalam rumah yang terkubur lumpur.
“Kami hanya bisa berharap semua korban hilang bisa ditemukan, supaya ada pemakaman yang layak,” ujarnya lirih.
Warga lain mengeluhkan krisis air bersih. “Bak penampung di hulu pecah, kami bertahan dengan sisa persediaan. Kami benar-benar membutuhkan air bersih,” kata seorang warga kepada Wakil Gubernur.
Menjahit Harapan
Menanggapi itu, Wagub Johni Asadoma berjanji memperpanjang masa pencarian korban dan memperkuat personel SAR. Ia memastikan bantuan darurat—tenda, dapur umum, beras, makanan siap saji—terdistribusi tepat sasaran, terutama bagi anak-anak, lansia, dan keluarga yang paling rentan.
“Pemerintah hadir untuk memberikan perlindungan, bantuan, dan harapan bagi masa depan warga Nagekeo,” tegasnya.
Di tengah reruntuhan jembatan dan sawah yang mengering tanpa air, langkah-langkah kecil untuk bangkit mulai dijahit. Tentara, polisi, dan pekerja PUPR membuka akses jalan agar bantuan bisa masuk. Tenda darurat berdiri, dapur umum mengepul.
Banjir bandang boleh merenggut jiwa dan rumah, tapi di balik duka itu, hadir komitmen pemulihan, pelan namun pasti. Di Nagekeo, air telah surut, namun harapan mesti terus mengalir.*/Oan/Laurens Leba Tukan



Komentar