KUPANG,SELATANINDONESIA.COM – Aliansi Perlindungan Perempuan dan Anak Nusa Tenggara Timur (APPA NTT) menyampaikan keprihatinan atas putusan Pengadilan Negeri Kupang yang menjatuhkan hukuman 19 tahun penjara kepada mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, dalam kasus kekerasan seksual dan eksploitasi terhadap anak. Aliansi menilai vonis tersebut belum mencerminkan keadilan yang maksimal, sementara salah satu korban, S.H.D.R. alias Fani, justru turut divonis 11 tahun penjara dalam perkara terpisah.
Ketua TP PKK NTT sekaligus Koordinator APPA NTT, Asti Laka Lena, mengatakan, hukuman 19 tahun bagi pelaku utama yang merupakan aparat penegak hukum seharusnya bisa lebih tegas.
“Majelis hakim semestinya berani menjatuhkan hukuman maksimal sesuai tuntutan jaksa. Ini penting sebagai bentuk keberpihakan kepada korban anak dan tanggapan atas keresahan publik,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima SelatanIndonesia.com, Kamis (23/10/2025).
Korban yang Dihukum
APPA NTT juga menyoroti vonis 11 tahun penjara terhadap Fani, yang dinilai sebagai korban berlapis. Data persidangan menunjukkan, Fani pernah mengalami kekerasan seksual dari Fajar dan berada dalam posisi rentan secara sosial.
“Fani adalah representasi perempuan muda yang terjebak dalam lingkaran kekerasan dan eksploitasi. Ia seharusnya direhabilitasi, bukan dijatuhi hukuman berat,” ujar Pdt. Mery Kolimon, rohaniwan sekaligus Pembina APPA NTT. Ia mendesak agar tim kuasa hukum Fani mengajukan banding dan memperjuangkan pengakuan statusnya sebagai korban eksploitasi.
APPA NTT menilai konstruksi hukum dalam kasus ini belum memberi ruang bagi pertimbangan posisi rentan terdakwa. “Negara seharusnya hadir untuk melindungi anak-anak terlantar sebagaimana diamanatkan undang-undang,” tulis pernyataan resmi APPA NTT.
Citra Kepolisian dan Restitusi
Selain mempersoalkan vonis, aliansi juga menyoroti kerusakan citra institusi kepolisian akibat perbuatan pelaku yang merupakan perwira menengah Polri. “Perilaku bejat seorang Kapolres adalah pukulan bagi upaya perlindungan anak di Indonesia. Polri perlu melakukan pembersihan internal agar kasus serupa tidak terulang,” kata Asti.
APPA NTT mengapresiasi langkah pengadilan yang menetapkan restitusi sebesar Rp 359 juta bagi korban, namun menegaskan bahwa denda Rp 5 miliar yang dijatuhkan kepada pelaku harus dipenuhi sepenuhnya untuk pemulihan korban.
Desakan Banding dan Reformasi
Dalam pernyataan tertulisnya, APPA NTT menyampaikan empat tuntutan utama:
- Mendesak jaksa penuntut umum untuk mengajukan banding agar vonis terhadap Fajar dapat ditingkatkan menjadi hukuman maksimal.
- Meminta penasehat hukum Fani untuk mengajukan banding dan memperjuangkan pengakuan statusnya sebagai korban eksploitasi anak.
- Memastikan pembayaran restitusi bagi korban anak dilakukan sepenuhnya.
- Mendorong reformasi internal di tubuh Polri agar kasus serupa tidak kembali terjadi.
Ketua Forum Perempuan Diaspora NTT, Sere Aba, menambahkan, kasus ini menjadi momentum bagi lembaga penegak hukum di NTT untuk memperkuat komitmen perlindungan terhadap perempuan dan anak. “Pelaku tidak menunjukkan penyesalan. Itu seharusnya menjadi alasan kuat untuk menjatuhkan hukuman maksimal,” ujarnya.*/Laurens Leba Tukan



Komentar