RESENSI BUKU Jaguar Mengawal Arjuna

36
Letda Mohamad Hasan dan Egy Massadiah (Foto 1998)

Oleh Egy Massadiah

Kita pertegas dulu tentang nama penulis: Mohamad Hasan, lahir di Bandung Jawa Barat. Dia adalah perwira tinggi bintang dua, Mayor Jenderal TNI Mohamad Hasan, berdarah Minangkabau. Tepatnya Jorong Gantiang Koto Tuo, Nagari Canduang Koto Laweh, Kecamatan Canduang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Saat ini menjabat Panglima Kodam Jaya/Jayakarta.

Nah, jenderal menulis buku. Sesuatu yang langka. Buku setebal 300 halaman ini berisi catatan-catatan tugas saat Hasan menjabat Komandan Grup A, Pasukan Pengamanan Presiden, 5 Februari 2016 – 12 Januari 2018. Tak kurang dari 165 penugasan pengamanan fisik langsung jarak dekat. Dari jumlah itu, hanya sekitar 40 saja yang ia nukil menjadi buku.

Pada “Preambule” atau pembuka kisah, Hasan menuliskan statement sekaligus sikap atas bukunya. Tulisnya, “Buku ini hanyalah catatan yang berisi beberapa uraian peristiwa yang dialami dan dicatat oleh seorang prajurit yang mendapat keberuntungan mengawal seorang anak bangsa yang dipercaya rakyatnya memimpin Nusantara ini” (halaman xv).

Kata “Nusantara” sudah ada sejak ia berangan-angan membukukan catatannya. “Dan menjadi kebetulan ketika Presiden menamakan calon ibu kota negara dengan nama Nusantara,” ujarnya, saat berpidato di peluncuran bukunya, 26 Juli 2023 di Taman Mini Indonesia Indah, ditemani Suhartono wartawan senior Kompas yang bertindak sebagai editor.

Hasan juga menulis: buku ini bukan semata-mata berisi pujian atau sanjungan seorang pengawal pribadi yang setiap hari ‘nempel’ dengan seorang presiden. Buku ini juga tentunya bukan hanya untuk membesar-besarkan ketokohan seorang pemimpin… (halaman xv)

Hal unik lain dari buku yang dibanderol dengan harga Rp 189.000 ini adalah adanya pencantuman barcode (kode Batangan) di sejumlah judul. Itulah cara Hasan menghadirkan audio-visual dalam deretan teks buku.

Dengan men-scan barcode pembaca akan dihubungkan ke tautan video yang diambil sendiri oleh Hasan. Video-video yang sangat menarik dari aktivitas mengawal Jokowi. Misalnya video saat Jokowi menghadiri pawang rusa Istana Bogor yang mantu (halaman 61). Ada juga video yang diambil dari medsos Presiden Jokowi: Welcome to Mandalika (halaman 166).

Lapangan Tembak

Tentang Hasan, bukan kebetulan, jika saya mengenal baik sosok dan kepribadiannya. Bahkan saya mengenalnya sejak ia masih berpangkat letnan dua di korps baret merah. Saya pun masih menyimpan foto kami berdua yang dikutip dengan kamera rol film tahun 1998 di lapangan tembak dekat kolam renang Cijantung, Jakarta Timur.

Tak hanya Hasan, tetapi juga teman seangkatan yang lain (Akmil 1993), termasuk senior-seniornya, seperti Maruli Simanjuntak, Richard Tampubolon, Iwan Setiawan (Akmil 1992), dan lain-lain.

Di antara koleganya, Hasan terbilang salah satu prajurit yang menyadari betul pentingnya sebuah catatan. Tahu betul filosofi Yunani kuno yang menyebutkan : Verba Volant Scripta Manent. Segala yang terucap akan sirna, yang tertulis akan abadi. Itu pula yang ia lakukan saat bertugas sebagai “jaguar” pengawal Arjuna (sebutan untuk Presiden).

Mandalika yang Pertama

Buku “Menjaga Jokowi, Menjaga Nusantara” ini dibagi menjadi empat bagian. Bagian Satu: Nusantara Barat. Isinya, 19 tulisan pengawalan Jokowi di wilayah Indonesia Barat.

Bagian Dua: Nusantara Tengah. Isinya, pernak-pernik pengawalan di Indonesia Tengah. Bagian Tiga: Nusantara Timur, berisi delapan tulisan pengawalan di Indonesia Timur. Sedangkan, Bagian Empat: Momen Tergila Mengawal Jokowi, berisi empat tulisan menarik.

Karena dibagi berdasar wilayah, maka tentu saja story yang tertuang dalam buku ini tidak mencerminkan urutan waktu kejadian. Seperti misalnya kisah menarik bagaimana hari pertama ia bertugas mengawal Jokowi, ada di halaman 147 dalam judul Tugas Pertama, Mandalika.

Hasan menulis: “Lazimnya tugas pertama sebagai Komandan Grup A Paspampres saya pun merasa gugup dan takut salah. Walaupun sebelum dilepas sendiri memimpin pengawalan fisik Presiden Jokowi, saya sudah mengikuti beberapa kegiatan Presiden. Waktu itu, saya di bawah pimpinan pendahulu saya, Kolonel Inf Maruli Simanjuntak. Meski demikian, rasa gugup dan canggung tetap datang….:

Tak urung, tugas pertama ia langsung mendapat “isyarat” khusus dari Jokowi. Itu terjadi saat tugas mengawal Jokowi menghadiri peringatan Hari Pers Nasional 9 Februari 2016 di Pantai Kuta Mandalika, Lombok Tengah, NTB.

Melihat tingginya antusiasme tamu undangan menyalami Presiden Jokowi, membuat Hasan khawatir, dan terlalu agresif dalam mengawal Jokowi. Agresivitas seorang pengawal Presiden tentu bisa Anda bayangkan. Tidak saja melindungi Presiden, tetapi ada kalanya harus menghalau massa yang mendekat dengan sikutnya.

Yang terjadi kemudian, Jokowi melihat Hasan dan memberinya isyarat. Sebuah sinyal agar ia menurunkan tensi pengamanan. Sejak itu, ia mulai menyadari sosok Presiden yang dikawalnya adalah sosok yang terbilang unik. Alhasil, pengamanan pun diusahakan lebih humanis dan tidak mengganggu kenyamanan masyarakat saat mendekati objek yang dilindunginya.

Belak-belok Arah

Semakin hari, semakin banyak pengalaman Hasan yang sama sekali berbeda dari stigma pengawalan VVIP. Jadwal kunjungan kerja ke tiga titik, mendadak menjadi tujuh titik. Atau suara di perangkat radio dari ajudan yang mengatakan, “Bapak Turun… Bapak Turun….”. Itu artinya, Presiden turun dari mobil kepresidenan dan berjalan kaki ke satu titik.

Kali lain, bahkan berbelok arah dari yang direncanakan. Satu contoh terjadi di Desember 2017, saat Jokowi menghadiri Rapat Koordinasi Nasional Tiga Pilar Demokrasi di ICE Bumi Serpong Damai. Dalam agenda disebutkan, usai acara Presiden langsung menuju Base Ops Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, terbang ke Yogyakarta menghadiri rangkaian kegiatan selanjutnya.

Apa yang terjadi? Dalam rakornas tadi ternyata hadir mantan presiden BJ Habibie. Usai acara, Jokowi dengan santainya mengajak BJ Habibie naik satu mobil. Rupanya, Jokowi berkenan mengantar Habibie pulang ke kediamannya di Patra Kuningan. Anda bisa bayangkan, betapa Paspampres harus sigap menyisipkan agenda “mengantar Habibie” sebelum ke Halim.

Tiba di Patra Kuningan, Jokowi sigap keluar dari pintu kiri, memutar lewat belakang mobil kepresidenan dan membukakan pintu sebelah kanan, tempat Habibie duduk. Tak hanya itu, Jokowi menyempatkan diri singgah ke kediaman Habibie. Usai melihat-lihat rumah Habibie dan sedikit obrolan, Jokowi pun pamit.

Rupanya, agenda “mengantar senior” bukan kali itu saja. Hasan menuturkan, peristiwa yang sama pernah Jokowi lakukan saat mengantar Megawati Soekarnoputri dan Jusuf Kalla ke kediaman masing-masing, pada bentang waktu yang berbeda.

Momen “Gila”

Lalu moment pengawalan mana yang paling mengesankan? Jawabnya ada di Bagian Empat buku ini: Moment Tergila Mengawal Jokowi. Dari empat peristiwa tersebut, dua di antaranya terbilang “gila”.

Yang pertama saat mengawal Jokowi menembus lautan manusia pada aksi 212 di Monas, April 2018  yang merupakan lanjutan dari aksi 411.

Hari itu hari Jumat. Biasanya, Presiden, Wapres Jusuf Kalla dan sejumlah pejabat melakukan shalat Jumat di Masjid Baiturrahim yang ada di lingkungan Istana. Mendadak Jokowi berkata kepada JK, “Ayo Pak, kita salat di Monas.” JK terkejut sejenak, dan spontan menjawab, “Ayo, pak.”

Perintah buka gerbang pun diluncurkan. Situasi di luar hujan gerimis. Tapi itu tak menyurutkan niat Jokowi, JK diiringi pejabat lain salat Jumat di Monas, bersama aktivis 212. Hasan dan pasukan Paspampres lain pun sigap mengamankan keadaan yang memang genting. Di dalam buku Hasan mengisahkannya dengan detail.

Setelah semua ketegangan terjadi, di perjalanan menuju Istana, Jokowi menepuk punggung Hasan. “Aman ya, pak Hasan.” Lekas Hasan menyahut, “Siap, alhamdulillah, aman.” Tapi Jokowi tidak tahu, degup jantung Hasan masih sangatlah kencang.

Kejadian “gila” lain yang tak mungkin hilang dari ingatan (dan catatan) Hasan adalah saat berkunjung ke Papua, tepatnya ke Kabupaten Jayawijaya melihat dari dekat pembangunan infrastruktur. Di luar dugaan, Presiden menghendaki peninjauan sampai ke dalam, menggunakan motor trail dari Wamena ke Danau Habema.

Disebut “gila” karena Wamena hingga kini masih dianggap daerah “merah” atau berbahaya. Apalagi perjalanan melalui pegunungan dan hutan di kiri kanan jalan menuju arah Tiom, Kabupaten Lanny Jaya. Di situ juga terbilang rawan, karena masih sering terjadi penghadangan terhadap masyarakat dan aparat TNI/Polri oleh OPM (Organisasi Papua Merdeka) atau yang kini disebut KKB (Kelompok Keamanan Bersenjata).

Singkat cerita, perjalanan 10 km itu pun lancar dan aman.

Begitulah, tetap saja, itu sebuah perjalanan ‘gila’. Dan Hasan mencatat semuanya dengan rinci, lalu menyajikannya menjadi sebuah kisah pengawalan yang menarik.

Selamat menyimak bacaan yang renyah di dalam buku Hasan. (Egy Massadiah, wartawan senior dan konsultan media)

Center Align Buttons in Bootstrap