KUPANG,SELATANINDONESIA.COM – Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Nusa Tenggara Timur mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atas kasus yang dilaporkan oleh Junus Laiskodat dari BPR Christa Jaya dengan Terlapor Notaris/PPAT Albert Wilson Riwu Kore. SP3 tersebut dikeluarkan pada 17 Januari 2022 yang ditandatangani oleh Kombes Pol. Eko Widodo selaku Dirreskrimum Polda NTT.
Dalam SP3 yang copyannya diperoleh SelatanIndonesia.com disebutkan, adapun hasil dari gelar perkara yang telah dilakukan pada tanggal 13 Januari 2022 di Ruang Gelar perkara Ditreskrimum Polda NTT telah diputuskan bahwa laporan saudara Junus Laiskodat terhadap terlapor atas nama Notaris & PPAT Albert Wilson Riwukore yang diduga telah melakukan tindak pidana penggelapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 374 KUHP Sub pasal 372 KUHP Jo pasal 55 KUHP dihentikan penyidikannya karena tidak cukup bukti.
Atas SP3 itu, Kuasa Hukum BPR Christa Jaya merasa keberatan, atas kasus yang dilaporkan atas nama Terlapor Notaris/PPAT Albert Wilson Riwu Kore. “Dalam Gelar Perkara tanggal 4 Oktober 2021 telah menetapkan Terlapor sebagai Tersangka, dan Ditreskrimum masih meminta petunjuk dan arahan dari Mabes Polri terkait penetapan Tersangka tersebut. Dan arahan dari Mabes Polri dalam SP2HP tertanggal 29 November 2021 yang kami terima telah menyatakan bahwa Laporan BPR Christa Jaya sebagaimana pasal 374 KUHP Jo Pasal 372 KUHP Terlapor Notaris/ PPAT Albert Wilson Riwu Kore telah terpenuhi unsure tindak pidananya,” sebut Kuasa Hukum BPR Christa Jaya, Bildad Thonak kepada wartawan di Kupang, Selasa (18/1/2022).
Menurut Bildad Thonak, laporan pihaknya sudah terpenuhi 4 (empat) alat bukti sebagaimana diatur dalam pasal 184 KUHAP yakni Surat, Saksi-saksi, Ahli , dan Petunjuk. “Dan dalam surat yang dikeluarkan oleh Itwasda Polda NTT telah menyatakan bahwa telah dilakukan gelar penetapan tersangka, pada tanggal 4 Oktober 2021. Sehingga kami merasa bahwa ada hal yang aneh dalam perkara ini,” sebutnya.
Kuasa Hukum BPR Christa Jaya lainnya, Samuel David Adoe mengatakan, pihaknya bakal melaporkan ke Kapolri, Kabareskrim dan Kadiv Propam agar dapat memperhatikan perkara ini. “Terkesan Ditreskrimum Polda NTT tidak mengikuti petunjuk dan arahan yang dikeluarkan oleh Kabareskrim Mabes Polri,” katanya.
Samuel Davis Adoe menambahkan, selaku Kuasa Hukum Pelapor, pihaknya bakal menempuh jalur lain yaitu, bersurat kepada Kabid Propam Polda NTT, Irwasum dan Kabareskrim Mabes Polri, Kapolri dan Komisi III DPR RI agar dapat meninjau kembali SP3 yang dikeluarkan oleh Ditreskrimum Polda NTT.
Untuk diketahui, sebanyak 9 sertifikat hak milik (SHM) yang merupakan jaminan di Bank Christa Jaya Perdana Kupang hilang. Polisi pun diminta menuntaskan kasus ini karena sudah dilaporkan secara pidana ke Polda NTT.
Dilansir dari digatra.com, Christofel Liyanto didampingi Wilson Liyanto dan penasehat hukum Samuel David Adoe, SH dan Bildat Tonak, SH kepada wartawan, Sabtu (9/10/2021) mengakui awal terjadinya permasalahan dari kredit yang disalurkan PT BPR Christa Jaya Perdana (bank) kepada
Rachmat selaku debitur tertanggal 16 Desember 2015 sebesar Rp 735.000.000.
Hingga sampai dengan Oktober 2018 hutang menjadi sebesar Rp 4.750.000.000 dan tercatat sebagai kredit macet dari total plafon sebesar Rp 5.000.000.000.
Berdasarkan hal tersebut, bank menyerahkan sertifikat hak milik nomor 368/Kelurahan Oebufu, GS/SU tanggal 10 Juni 2009 nomor 32/Oebufu/2009, seluas 1.986 meter persegi atas nama Rachmat, di buktikan dengan Surat Tanda Terima Sertifikat tanggal 16 Desember 2015
“Ini merupakan jaminan pinjaman atas nama Rachmat dan diserahkan kepada notaris Albert Wilson Riwu Kore untuk segera dilakukan pengikatan APHT I, yang nantinya dilanjutkan proses pemecahan berdasarkan surat order
pada tanggal 16 Desember 2015, dengan Nomor638/Not-BPR/XII/2015,” ujar Wilson Liyanto.
Akan tetapi dalam pelaksanaannya, notaris Albert Riwu Kore tidak melaksanakan permintaan bank untuk dilakukan pengikatan APHT 1 atas SHM nomor 368/Kelurahan Oebufu tersebut. “Apabila notaris melakukan mengikatan APHT I sesuai dengan permintaan, maka tidak mungkin Rachmat dapat mengambil sertifikat tanah tersebut,” tambahnya.
Notaris justeru melakukan pemecahan SHM nomor 368/kelurahan Oebufu, tersebut tanpa konfirmasi kepada BPR Christa Jaya Perdana sebagai pemegang hak. Yang kemudian dipecah menjadi 18 SHM atas nama Rachmat.
Dari 18 SHM tersebut kemudian 3 SHM diambil oleh pihak BPR. Sisanya 15 SHM, bank memerintahkan untuk dilakukan pemasangan APHT I dan notaris mengeluarkan Surat Keterangan/covernote tanggal 22 Juni 2016, nomor 18/CN/PPAT/VI/2016, menerangkan bahwa ke 15 SHM tersebut akan dilakukan pemasangan APHT I pada Badan Pertanahan Kota Kupang, dengan jangka waktu proses 90 hari kerja. “Apabila telah selesai proses pemasangan APHT I tersebut, maka akan segera diserahkan kepada bank BPR Christa Jaya Perdana,” tambahnya.
Akan tetap notaris kembali tidak melakukan permintaan bank untuk kedua kalinya agar dilakukan pemasangan APHT I terhadap 15 SHM tersebut. Malah notaris menyerahkan 4 SHM kepada Rachmat pada tanggal 16 Desember 2016 dan 5 SHM pada tanggal 21 November 2016.
Disebutkan pula bahwa notaris Albert dan staf kantor notaris telah mengakui perbuatannya dengan adanya surat laporan yang dibuat notaris ke BPN Kota Kupang tertanggal 29 September 2017, perihal pemblokiran 9 SHM atas nama Rachmat.
“Isi surat menyatakan bahwa SHM-SHM tersebut sebenarnya merupakan jaminan hutang pada BPR Christa Jaya Perdana Kupang akan tetapi atas kelicikan pemilik SHM (Rachmat) telah memperdayai staf kami (notaris) dengan cara meminjam sementara SHM tersebut untuk kepentingan fotocopy guna arsip pribadinya,” jelas Wilson.
Akan tetapi, setelah ditunggu tidak dikembalikan. “Kami telah mencari dan menagihnya tetapi pemilik SHM tersebut tidak pernah mengembalikan lagi oleh karena itu, berdasarkan hal-hal tersebut di atas mohon bapak (BPN Kota Kupang) memblokir SHM-SHM tersebut baik untuk peralihan hak atau APHT sampai adanya klarifikasi lebih lanjut dari pihak kami (notaris),” ujar Wilson mengutip isi surat Notaris Albert Riwu Kore ke BPN Kota Kupang.
Sementara Christofel Liyanto menegaskan, sampai dengan saat ini Rachmat masih merupakan debitur macet dan masih memiliki kewajiban hutang pada PT BPR Christa Jaya Perdana Kupang. Ia menilai kalau Albert Riwu Kore lalai sehingga SHM yang semula diserahkan pihak BPR masih atas nama Rachmat.
Ia mengakui kalau BPR memberi kewenangan kepada Albert untuk order namun justru Albert melakukan pemecahan dan sertifikat diserahkan Albert kepada Rachmat yang merupakan debitur pada BPR Christa Jaya Perdana Kupang. “Kami sudah laporkan Albert secara pidana ke Polda NTT dan kita berharap Polda NTT segera menindaklanjutinya sesuai prosedur yang ada,” tandasnya.
Ia berharap Albert harus mengembalikan sertifikat karena hingga saat ini Rachmat belum melakukan pelunasan hutang ke BPR Christa Jaya Perdana Kupang. Penasehat hukum Samue David Adoe, SH menegaskan kalau ada orderan dari BPR Christa Jaya Perdana ke Albert selaku notaris untuk menerbitkan APHT atas SHM namun justru sejumlah SHM hilang. “Polisi perlu menelusuri hilangnya SHM ini dan kita percayakan proses hukum di Polda NTT serta kita yakin penyidik Polda NTT segera menuntaskan kasus ini,” tandasnya.
Ia menegaskan pula kalau Rachmat menjaminkan SHM di BPR saat meminjam uang namun notaris Albert tidak memproses APHT sesuai order dari BPR tetapi justru SHM tersebut hilang. “Albert harus bertanggungjawab karena BPR christa Jaya Perdana merugi atas kredit macet oleh Rachmat,” tambahnya.
Albert Riwu Kore, mengatakan tidak pernah menggelapkan 9 sertifikat milik Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Christa Jaya Kupang. Bantahan tersebut menyusul adanya tuduhan Komisaris Utama BPR Christa Jaya, Chris Liyanto.
Albert mengaku awalnya, pihak BPR Christa Jaya memberikan surat order yang isinya membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), dan meminta untuk melakukan pemecahan terhadap sertifikat. APHT itu kemudian diurus oleh Albert.
“Jadi dalam surat orderan BPR Christa Jaya, ada dua poin. Di mana meminta untuk buatkan APHT, dan pemecahan sertifikat. Tetapi dalam perjalanan, mereka minta untuk pecahkan dulu sertifikatnya, baru dibuatkan APHT,” ujar Albert dilansir dari Voxntt.com, Kamis (30/09/2021).
BPR Christa Jaya, demikian Albert, menyerahkan sertifikat kepada stafnya, dengan menyodorkan seorang debitur bernama Rahmat alias Rafi. Hal itu atas persetujuan dari pihak BPR Christa Jaya sendiri untuk dilakukan pemecahan sertifikat tanah.
“Dalam perjalanan waktu, justru BPR Christa Jaya Kupang, mengaku jika pihaknya tidak tahu menahu, terkait rencana pemecahan sertifikat tanah itu,” jelasnya.
Sementara dalam petitumnya, kata dia, BPR Crista Jaya mengakui sendiri bahwa telah memberikan izin untuk dilakukan pemecahan sertifikat tanah. Sebab ada beberapa kaveling tanah yang akan dijual ke pihak lain.
“Mereka telah menyetujui dan izinkan untuk dilakukan pemecahan sertifikat. Tetapi dalam perjalanan, mereka justru tidak mau mengakui kalau rencana pemecahan itu atas persetujuan mereka,” imbuhnya.
Albert menegaskan, sebagai notaris, dirinya tidak mungkin melakukan pemecahan terhadap sertifikat tanah, tanpa adanya permintaan dan persetujuan dari pihak terkait, dalam hal ini BPR Christa Jaya. “Justru BPR Christa Jaya mendesak, agar sertifikat itu segera dipecahkan, karena calon pembeli tanah sudah siap untuk menandatangani kredit,” tegasnya.
Dia menerangkan, dampak hukum yang dialami adalah, tanda terima yang dipegang pihak BPR Christa Jaya tidak lagi berlaku, karena mereka telah mengizinkan untuk mengeluarkan sertifikat induk, untuk dilakukan pemecahan. “Tanda terima yang dipegang oleh Christa Jaya tidak berlaku lagi. Karena atas izin dia, sertifikat induk itu dikeluarkan untuk dilakukan pemecahan. Sehingga tanda terima yang awal dikasi ke kita itu menjadi gugur sebenarnya,” ujarnya.
Dari sertifikat induk, dilakukan pemecahan menjadi 18 buah sertifikat. Tiga (3) di antaranya dijual oleh BPR Christa Jaya sesuai rencana awal mereka. “Kalau mereka jual, berarti pemecahan sertifikat itu telah disetujui oleh BPR Christa Jaya sendiri. Sementara 15 sertifikat lainnya, 9 di antaranya diambil oleh debitur Rafi atas izin BPR Christa Jaya, dan 6 lainnya diambil langsung oleh pihak BPR Christa Jaya Kupang melalui stafnya, tanpa sepengetahuan kita,” kata dia.
“Setelah ada komplain dari BPR Christa Jaya terkait 9 sertifikat lainnya, baru saya tahu sertifikat itu diambil oleh debitur Rafi,” sambung Albert. Kemudian, atas iktikad baik, Albert kemudian memanggil debitur Raffi, dan mempertemukan dengan Komisaris Utama BPR Christa Jaya, Chris Liyanto. Intinya untuk menanyakan perbuatan Rafi terkait pengambilan 9 buah sertifikat dari stafnya.
“Saya bilang ke Chris Liyanto bahwa ada orang yang mengambil sertifikat. Kalau memang menjadi masalah, maka saya akan laporkan ke polisi. Dan dia katakan bahwa, ini masalah antara kreditur dan debitur. Pak Albert tidak usa ikut campur,” jelasnya.
Menurut Albert, terhadap polemik 9 sertifikat tersebut pernah diperkarakan oleh pihak BPR Christa Jaya Kupang. Namun semua gugatan ditolak, dan telah memiliki kekuatan hukum tetap, bahwa seluruh gugatan tidak pantas diterima.
“Waktu itu saya didudukan sebagai tergugat dua, dan debitur Rafi sebagai tergugat satu. Di mana semua gugatan BPR Christa Jaya ditolak,” jelas Albert. Dirinya sangat yakin, bahwa pihak kepolisian dalam hal ini Polda NTT pasti bijaksana***Laurens Leba Tukan