KUPANG,SELATANINDONESIA.COM – Langit di atas Teluk Kupang tampak berwarna jingga keemasan, seolah ikut menyapa semangat syukur yang tengah bersemi di Aula DPD I Partai Golkar Nusa Tenggara Timur (NTT), Rabu (12/11/2025). Dari luar, gedung berwarna kuning itu tampak biasa. Namun malam itu, suasana di dalamnya berbeda.
Tak ada hiruk-pikuk politik, tak ada seruan kampanye atau rapat partai yang panas. Di ruang utama yang dihiasi foto Presiden ke-2 Republik Indonesia, H. M. Soeharto, Ketua Umum DPP Golkar Bahlil Lahadahlia, Sekjen M. Sarmuji, Bendum Sari Julianti, Ketua DPD I Golkar NTT Emanuel Melkiades Laka Lena, Sekretaris Libby Sinlaeloe, dan Bendahara Alain Nitti Susanto, para sesepuh, kader dan simpatisan Golkar menundukkan kepala. Lagu syukur mengalun dengan penuh semangat, mengiringi doa lintas agama untuk mengenang sang tokoh yang kini resmi ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh pemerintah.
Deretan kader Golkar yang kkini berkarya di legislatif, eksekutif dan fungsional memandang hikmad potret Soeharto. Di atas meja kecil bertaplak kuning, terletak seikat bunga kenanga tanda penghormatan kepada Bapak Pembangunan. Sejumlah tokoh agama hadir memimpin doa bersama.
“Di sini, kita tidak hanya berdoa untuk almarhum Presiden Soeharto,” ujar Pdt.Yusuf Nakmofa rohaniwan dari Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), saat membuka doa bersama. “Kita juga merenungkan bagaimana nilai-nilai kerja keras, keteguhan, dan ketulusan seorang pemimpin bisa menjadi cermin bagi kita semua, khususnya bagi generasi politik masa kini.”
Doa Lintas Iman
Doa bersama malam itu menjadi momen langka, mempertemukan tokoh lintas iman dalam satu panggung politik yang biasanya penuh dengan retorika. Dari sisi kiri aula, H. Syafrudin S. Dapubeang, S.Pd.,M.Pd dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) NTT melangkah pelan ke podium, membuka surah Al-Fatihah dengan suara lembut.
“Setiap pemimpin adalah manusia yang memiliki keterbatasan. Tetapi tugas umat adalah mendoakan, bukan menghapus sejarahnya,” katanya usai berdoa. “Pak Harto telah mengukir sesuatu yang besar. Kita melihat hasilnya sampai sekarang, bahkan di tanah paling timur ini.”
Beberapa kursi di deretan depan diisi oleh kader senior Partai Golkar yang sudah beruban. Ada Dr. Acri Deodatus, Ans Takalapeta, Frans Sarong dan sejumlah lainnya Mereka menatap potret Soeharto dengan mata berkaca-kaca. Di antara mereka, Romo Yalo, imam dari Keuskupan Agung Kupang, melanjutkan doa dengan nada lembut.
“Dalam iman Katolik, kita mengenang bukan hanya jasad, tapi juga karya. Pak Harto mengajarkan makna kesetiaan dalam pelayanan. Ia membangun negeri dengan kerja yang tenang, nyaris tanpa gembar-gembor. Seperti doa dalam diam, ia bekerja untuk orang banyak,” ujarnya.
Romo Yalo menatap ke arah para kader muda yang duduk di barisan tengah. “Kalian ini generasi penerus bangsa. Belajarlah dari beliau. Jangan banyak bicara, tapi banyak berbuat. Bekerjalah dalam diam, seperti Pak Harto membangun dari desa-desa.”
Refleksi Melki Laka Lena
Di hadapan ratusan kader dan simpatisan, Emanuel Melkiades Laka Lena, Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar sekaligus Ketua DPD I Golkar NTT, dan juga Gubernur NTT berdiri dengan tenang. Ia tampak mengenakan kemeja putih lengan panjang, tanpa podium tinggi atau panggung besar.
“Pada masa Pak Harto, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia hanya sekitar Rp100 triliun,” ujar Melki membuka refleksinya. “Tapi dari angka kecil itu, beliau mampu membangun negeri ini luar biasa. Sekarang APBN kita mencapai Rp3.000 triliun, tapi kadang hasilnya tidak sebanding dengan kerja dan semangat masa itu.”
Kata-katanya disambut tepuk tangan pelan. Melki lalu menunduk sejenak, sebelum melanjutkan dengan nada reflektif.
“Setiap tokoh besar selalu memiliki sisi terang dan gelap. Tapi sejarah tidak bisa dihapus hanya karena kekeliruan di ujung jalan. Kita perlu melihat dengan jernih: di masa Pak Harto, Indonesia tumbuh, dan NTT ikut bergerak maju.”
Jejak di Tanah Flobamora
Jejak pembangunan era Soeharto memang mudah ditemukan di Nusa Tenggara Timur. Di Kupang, Bendungan Tilong berdiri kokoh sejak diresmikan pada 1988. Dari bendungan seluas 70 hektar itu, ribuan hektar lahan pertanian di Kabupaten Kupang hingga sebagian wilayah Kota Kupang memperoleh air.
“Kalau tidak ada Bendungan Tilong, masyarakat di Kabuoaten Kupaang dan sebagian Kota Kupang masih mengandalkan air hujan,” kata Daniel Taimenas, Ketua DPD II Golkar Kabupaten Kupang yang malam itu ikut hadir di halaman acara. Ia masih ingat masa kecilnya ketika Presiden Soeharto datang ke Kupang untuk meninjau proyek bendungan. “Saat itu anak-anak sekolah berbaris di pinggir jalan, melambai ke arah mobil beliau. Itu hari yang tidak saya lupa.”
Tak jauh dari situ, berdiri GOR Oepoi, salah satu gedung olahraga kebanggaan warga Kupang yang juga dibangun di masa Soeharto. Di situlah berbagai turnamen, pameran, dan kegiatan sosial diadakan tempat anak muda Kupang belajar tentang sportivitas dan kerja keras.
“GOR Oepoi itu simbol masa depan waktu itu,” kenang Restu Dupe, Ketua PD AMPG NTT. “Anak muda NTT punya tempat untuk bermimpi. Semua itu karena perhatian pemerintah pusat yang nyata lewat GOR Oepoi.”
Peninggalan lain yang paling melekat di hati masyarakat adalah Sekolah Dasar Inpres. Di seluruh NTT, dari Pulau Flores hingga Alor, Sumba hingga pelosok Timor, bangunan sekolah berdinding papan dengan papan nama “SD Inpres” menjadi saksi nyata program pendidikan massal di era Soeharto.
“Bapak saya dulu guru SD Inpres di Sikka,” tutur Wemis, salah satu karyawan DPD Golkar NTT. “Sekolah itu membuka kesempatan bagi banyak anak kampung seperti saya untuk bisa belajar. Tanpa SD Inpres, mungkin saya tidak bisa berdiri di sini hari ini.”
Tak hanya infrastruktur fisik, Soeharto juga meninggalkan warisan sosial yang besar: Beasiswa Supersemar. Ribuan anak muda NTT pada dekade 1980–1990-an merasakan langsung manfaatnya.
“Saya salah satu penerima Beasiswa Supersemar tahun 1992,” kata Gabriel Suku Kota, politisi Demokrat asal Lembata. “Waktu itu Rp25.000 per bulan. Nilainya kecil, tapi maknanya besar. Kami bisa terus kuliah. Itu perhatian yang tulus dari negara.”
Di Tangan Pak Harto, NTT Maju
Dalam pidatonya, Melki Laka Lena menegaskan kembali bahwa banyak kemajuan di NTT bermula dari sentuhan kebijakan Soeharto.
“Gedung Golkar, Bendungan Tilong, Stadion Oepoi, hingga jaringan sekolah dan puskesmas — semua itu lahir di masa beliau. Beliau tidak banyak bicara, tapi bekerja nyata. Bagi kami kader Golkar, itu warisan semangat yang harus dijaga,” ujarnya.
Melki juga menyinggung aspek politik dan moral yang bisa dipetik dari kepemimpinan Soeharto. “Pak Harto mengajarkan bahwa kekuasaan bukan untuk diri sendiri. Ketika saatnya tiba, beliau rela melepaskan jabatan tanpa pertumpahan darah. Itu teladan besar dalam sejarah bangsa ini,” katanya.
Ia lalu mengajak seluruh kader untuk meneladani gaya kepemimpinan Soeharto: sederhana, tegas, dan berorientasi pada hasil.
“Kalau kita ingin NTT maju seperti dulu, kita harus kerja seperti beliau — membangun dari bawah, dari desa, dengan disiplin dan keikhlasan,” tambahnya.
Suara dari Generasi Muda
Di tengah para kader senior, beberapa anak muda tampak larut dalam suasana doa. Salah satunya, Fenty Nope aktifis perempuan yang mengaku baru mengenal Soeharto lewat cerita orang tua.
“Waktu saya lahir, Pak Harto sudah tidak menjabat lagi. Tapi dari cerita orang tua, saya tahu beliau orang yang membangun banyak hal. Doa syukur ini membuat saya ingin tahu lebih banyak tentang sejarah,” katanya.
Bagi Fenty dan generasinya, mengenal Soeharto bukan soal romantisme masa lalu, melainkan memahami akar pembangunan Indonesia. “Kita tidak bisa menilai masa lalu dengan ukuran masa kini saja. Tapi penting juga melihat apa yang bisa kita pelajari untuk masa depan,” ujarnya.
Buku Jejak di Tanah Flobamora
Di akhir acara, Melki Laka Lena mengumumkan rencana penyusunan sebuah buku berjudul “Jejak Karya Presiden Soeharto di NTT”. Buku itu akan menelusuri proyek-proyek pembangunan yang dimulai di era Soeharto, lengkap dengan cerita rakyat dan dokumentasi lapangan.
“Kita ingin generasi muda tahu bahwa di tanah ini banyak hal besar yang dilakukan beliau,” kata Melki. “Dari bendungan hingga sekolah, semuanya punya cerita. Itu warisan kerja nyata yang harus diabadikan.”
Rencana itu disambut hangat para peserta. Beberapa kader senior bahkan menawarkan diri untuk menjadi narasumber, membawa foto-foto lama, dan menulis pengalaman pribadi mereka semasa program Inpres dijalankan.
Jejak yang Tak Lekang
Malam semakin larut, potret Pak Harto masih terpampang di depan podium. Di luar aula, suara ombak dari Teluk Kupang terdengar lembut. Para kader perlahan meninggalkan ruangan dengan wajah tenang.
Sebelum menutup pintu, Geradus Herin seorang anak muda sal Solor, mendekati potret Soeharto dan menatap lama. “Saya dulu sekoalah di sekolah Inpres di kampung. Teman-teman sayang banyak yang sudah sukses jadi perawat, bidan, tentara, bahkan ada senior kami yang jadi pejabat. Kalau tidak ada program itu, mungkin hidup kami tetap di hutan,” katanya pelan.
Gerardus menunduk, membuat tanda salib, lalu berjalan keluar aula dengan langkah pelan.
Di dinding aula tertulis kalimat besar: “Karya Abadi untuk Negeri.” Kalimat itu terasa hidup malam itu bukan sekadar slogan partai, tetapi doa panjang yang terus bergema di hati mereka yang masih percaya pada makna kerja, ketulusan, dan pengabdian.
Soeharto memang telah tiada, tetapi jejaknya tetap terpatri di hati kader Golkar NTT sebagai teladan, doa, dan jejak yang tak lekang.*/Laurens Leba Tukan



Komentar