GESER UNTUK LANJUT MEMBACA
Berita Hari Ini NTT Ekonomi Golkar Hukrim
Beranda / Hukrim / Moke di Tepi Regulasi: Melchias Mekeng dan Suara Adat yang Tak Boleh Padam

Moke di Tepi Regulasi: Melchias Mekeng dan Suara Adat yang Tak Boleh Padam

Anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar dari daerah pemilihan Nusa Tenggara Timur (NTT) I, Melchias Markus Mekeng.

Melchias Markus Mekeng Minta Regulasi soal “Moke” Menghormati Kearifan Lokal NTT

JAKARTA,SELATANINDONESIA.COM — Anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar dari daerah pemilihan Nusa Tenggara Timur (NTT) I, Melchias Markus Mekeng, menanggapi polemik seputar minuman tradisional “moke” yang kembali menjadi sorotan setelah pernyataan Kapolda NTT mengenai status hukumnya sebagai minuman beralkohol.

Menurut Mekeng, pendekatan hukum terhadap moke seharusnya tidak mengabaikan nilai budaya dan kearifan lokal masyarakat NTT. Ia menegaskan, hukum dibuat bukan untuk meniadakan tradisi, melainkan untuk menata kehidupan bersama secara adil.

“Hukum seharusnya mengayomi masyarakat, bukan menghapus budaya. Moke bagi masyarakat NTT bukan sekadar minuman beralkohol, tetapi simbol persaudaraan, perdamaian, dan penghormatan dalam kehidupan sosial,” kata Mekeng di Jakarta, Senin (10/11/2025).

Mekeng mengingatkan bahwa semangat hukum mestinya berpijak pada asas vox populi suprema lex — suara rakyat adalah hukum tertinggi. Karena itu, kebijakan dan penegakan hukum perlu mempertimbangkan nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat.

Honing Sanny Desak Kapolda NTT Pecat Oknum Polisi Penganiaya Siswa SPN

Ia menilai, moke telah menjadi bagian dari identitas dan solidaritas sosial warga NTT. Dalam berbagai upacara adat, moke digunakan sebagai simbol kebersamaan, rekonsiliasi, dan penghargaan antarwarga. “Nilai budaya ini tidak boleh hilang hanya karena persoalan klasifikasi hukum,” ujarnya.

Mekeng mendorong Polda NTT untuk membuka ruang dialog dengan tokoh adat, pemerintah daerah, dan lembaga kebudayaan agar diperoleh model pengaturan yang seimbang antara pelestarian tradisi dan kepentingan hukum serta kesehatan publik.

“Kita bisa mencari jalan tengah. Tradisi perlu dihormati, tetapi aspek kesehatan dan ketertiban tetap harus dijaga. Solusinya bukan pelarangan, melainkan pengaturan yang bijak,” tegasnya.

Sebelumnya, Kapolda NTT menegaskan bahwa meskipun moke merupakan bagian dari tradisi masyarakat, secara hukum tetap dikategorikan sebagai minuman beralkohol yang perlu dikendalikan peredarannya. Pernyataan itu memicu perdebatan publik antara penegakan hukum dan pelestarian nilai budaya.

Mekeng berharap polemik ini menjadi momentum bagi semua pihak untuk menegaskan bahwa hukum dan kearifan lokal tidak harus saling meniadakan, melainkan bisa berjalan beriringan untuk menjaga martabat budaya dan kesejahteraan masyarakat NTT.*/Lurens Leba Tukan

Di Ruang Kuning Golkar NTT, Pemuda Menyulam Masa Depan

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Advertisement
× Advertisement