Dari tribun GBK ke lapangan ETMC, H. Mohammad Ansor memanggul mandat berat: mengangkat martabat turnamen sepak bola paling bergengsi di NTT.
KUPANG,SELATANINDONESIA.COM – Jumat sore, (25/7/2025), di tengah gemuruh Jakarta yang padat dan panas, H. Mohammad Ansor sedang bergegas menembus kemacetan menuju Gelora Bung Karno. Indonesia bersiap meladeni Thailand di semifinal Piala AFF U-23. Di sela hiruk-pikuk suporter dan suara klakson, ponsel anggota DPRD NTT dari Fraksi Golkar itu berdering.
“Pak Haji, Asprov sudah putuskan. Bapak ketua panitia Liga 4 ETMC 2025. Kota Kupang jadi tuan rumah,” suara di seberang adalah Abdul Muis, Sekretaris Asprov PSSI NTT.
Ansor terdiam sejenak. Lalu menjawab dengan nada yang tak seperti biasanya, lebih dalam, lebih berat. “Baik. Kalau ini panggungnya, maka kita harus tampil terhormat.”
Kota Kupang: Dari Wacana Jadi Pusat
Keputusan itu mengejutkan banyak pihak. Beberapa bulan sebelumnya, Kabupaten Ende digadang-gadang jadi tuan rumah. Energi lokal mendukung. Para mantan pemain legendaris dan penggiat bola Flores bagian tengah sudah bersiap. Tapi segalanya berubah setelah evaluasi teknis yang digelar Asprov PSSI NTT.
“Kami harus realistis,” kata Abdul Muis kepada SelatanIndonesia.com. “Soal kesiapan stadion, keamanan, dan logistik, Kota Kupang paling siap. Dan yang paling penting, ada tokoh yang paham betul mengelola turnamen, Pak Haji Ansor.”
Bagi Ansor, ini bukan sekadar pertandingan antar-kabupaten. ETMC, katanya, adalah soal harga diri. “Sepak bola NTT sudah waktunya jadi industri, bukan euforia sesaat,” ujarnya.
Ia tahu benar tantangannya. Kota Kupang punya kultur suporter yang militan. Stadion bisa membludak, tapi juga bisa gaduh. Pada edisi sebelumnya, insiden kecil di tribun mencoreng citra penyelenggaraan. Ia tak ingin itu terulang.
Membenahi dari Hulu ke Hilir
Ansor mengakui, pengalamannya menggelar turnamen Faperta Cup semasa mahasiswa mungkin terdengar kecil, tapi dari sanalah ia belajar: bahwa mengatur sepak bola berarti mengatur orang, emosi, logistik, hingga potensi kericuhan.
“Tantangan utama bukan bikin jadwal, tapi jaga ritme. Ini kerja batin juga,” ucapnya.
Liga 4 ETMC 2025 akan digelar Oktober mendatang. Panitia ditargetkan bukan hanya menjalankan, tapi meningkatkan kualitas. Wasit terbaik dipilih. Jadwal disusun agar tidak memforsir tim. Sponsor lokal mulai dilobi. Dan satu hal yang paling dijaga: keamanan.
“Penonton NTT harus diajak menjadi bagian dari tontonan yang dewasa,” ujar Ansor.
Disiplin Organisasi, Disiplin Turnamen
Asprov PSSI NTT mengubah pendekatan. Kali ini lebih tegas. Klub yang mangkir tanpa alasan akan diberi sanksi. “Kami ingin turnamen ini jadi barometer kedisiplinan organisasi,” kata Piter Fomenni, Wakil Sekretaris Asprov.
Selain itu, pembinaan jalan terus. Kompetisi sepak bola wanita dan sepak bola pantai digelar bersamaan. Bagian dari pembuktian bahwa ETMC bukan menara gading, tapi rumah bersama.
“Sepak bola bukan cuma milik laki-laki,” ujar Ansor. “Ia milik semua warga NTT yang punya semangat.”
Dari Memori El Tari ke Visi Baru
Di balik nama besar El Tari Memorial Cup, Ansor membaca makna simbolik. Turnamen ini bukan sekadar mengenang gubernur legendaris NTT itu, tapi meneruskan visinya: membentuk karakter lewat disiplin dan semangat kolektif.
“Kalau El Tari hidup hari ini, saya kira beliau ingin kita membawa sepak bola sebagai alat pembangunan karakter masyarakat,” kata Ansor.
Dengan tekad itu, ia mengajak seluruh stakeholder, pemerintah kota, suporter, sekolah sepak bola, sponsor, hingga aparat keamanan untuk bersatu. “ETMC bukan milik panitia. Ini milik kita semua.”
Setelah Oktober, sorotan akan pindah ke Malaka sebagai tuan rumah ETMC 2026. Tapi untuk sekarang, semua mata tertuju ke Kota Kupang. Stadion Oepoi akan kembali penuh. Drum suporter akan memukul irama. Dan di tengah semua itu, seorang Mohammad Ansor memanggul mandat yang lebih besar dari gelar Ketua Panitia. Ia memanggul harapan.*/Laurens Leba Tukan



Komentar