SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Daerah
Beranda / Daerah / Anak Kos, Anak Stunting: Gubernur NTT Soroti Gaya Hidup Mahasiswa

Anak Kos, Anak Stunting: Gubernur NTT Soroti Gaya Hidup Mahasiswa

Gubenur NTT, Emanuel Melkiades Laka Lena ketika berdiskusi dengan Dekan FISIP Undana Dr. William Djani, M.Si, dan para dosen diantaranya Dr. Mas Amah, Dr. Rudi Rohi, dan Dr. I Putu Yoga. di Kantor Gubernur NTT, Rabu (25/6/2025). Foto: Adi Hau

KUPANG,SELATANINDONESIA.COM – Di balik deretan kampus di Kupang, tersembunyi sebuah realitas sunyi: kamar kos yang jadi saksi lahirnya persoalan gizi buruk di Nusa Tenggara Timur.

Dalam pertemuannya dengan jajaran Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Nusa Cendana (Undana), Rabu (25/6/2025), Gubernur NTT Emanuel Melkiades Laka Lena mengangkat isu yang tak biasa dalam perbincangan formal: pernikahan dini dan praktik kumpul kebo di kalangan mahasiswa sebagai akar tak kasatmata dari masalah stunting di provinsi ini.

“Kalau kita bicara stunting, jangan hanya lihat dari puskesmas atau dapur. Lihat juga dari kamar kos,” ujar Gubernur Melki di ruang kerjanya, dihadapan para akademisi FISIP Undana dan sejumlah pimpinan OPD. “Karena dari pergaulan bebas, mahasiswa hamil tanpa persiapan. Anak lahir tanpa gizi cukup, dan itulah awal dari stunting.”

Ucapan itu bukan tanpa dasar. NTT selama ini masih menjadi salah satu provinsi dengan angka stunting tertinggi di Indonesia, kendati tren penurunannya mulai terlihat. Namun menurut Melki, upaya pengentasan stunting tak akan tuntas jika tak menyentuh akar budaya dan gaya hidup generasi muda. Ia bahkan menggagas perlunya regulasi khusus, Peraturan Daerah tentang Kos-Kosan yang tak hanya mengatur standar hunian, tetapi juga membangun norma sosial dan pengawasan moral di lingkungan mahasiswa.

Pernyataan Gubernur itu memantik diskusi serius dengan Dekan FISIP Undana, Dr. William Djani, M.Si, dan para dosen seperti Dr. Mas Amah, Dr. Rudi Rohi, hingga Dr. I Putu Yoga. Mereka sepakat, bahwa kampus tak bisa lagi diam atas realitas ini.

Dari Garam Hingga Mart: Gereja dan Negara Bertemu di Meja Ekonomi Rakyat

“Pernikahan dini dan kumpul kebo bukan sekadar isu moral, tapi masalah sosial dan struktural,” kata William. “Perlu rekayasa sosial, advokasi, dan pemberdayaan komunitas mahasiswa agar kita bisa ubah norma yang terlanjur permisif ini.”

Ia menambahkan, perubahan norma sosial harus dikawal oleh pendidikan berbasis kesadaran hak-hak anak dan kesetaraan gender. “Mahasiswa kita bukan hanya agen perubahan di kelas, tapi juga di lingkungan tempat tinggal mereka,” ujarnya.

Dalam pertemuan itu, turut dibahas pula rencana Annual Conference & Congress Indonesian Association for Public Administration (IAPA) 2025 yang akan digelar di Undana, Oktober mendatang. Namun nuansa akademis seolah bergeser menjadi ruang intervensi sosial saat isu stunting dan gaya hidup mahasiswa menjadi topik sentral.

Gubernur Melki pun mengingatkan, bahwa kampus harus hadir bukan hanya sebagai menara gading keilmuan, tetapi juga sebagai rumah etika dan tanggung jawab sosial.

“Stunting itu bukan hanya urusan gizi, tapi soal kesiapan hidup. Dan mahasiswa kita harus jadi bagian dari solusi, bukan sumber masalah baru,” tutupnya.

Gizi di Garis Depan: Wagub NTT, Rektor Unhan, dan Komandan Gegana Satukan Barisan

NTT Maju, Jika Mahasiswanya Sehat dan Kamar Kos Tak Lagi Jadi Jerat Masa Depan.*/Radit/Laurens Leba Tukan

Center Align Buttons in Bootstrap

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Advertisement
× Advertisement