BORONG-SELATANINDONESIA.COM-Sebuah rumah berukuran 48 meter persegi di Lison, Desa Nanga Puun, Elar Selatan, Manggarai Timur, sebenarnya biasa saja. Tak ada yang istimewa. Yang tampak tak hanya rumah. Bangunan semi permanen itu lengkap dengan dapur dan bangunan WC standar. Selain bangunan yang tampak masih baru, di sekitarnya tumbuh hijauan sayuran yang memanfaatkan limbahan air pipa yang melintas melalui tepi jalan depan rumah. Pemandangan tanaman hijau itu tentu saja menjadi unik pada puncak kemarau dengan terik menyengat, saat ini.
Namun di balik keberadaan rumah milik Sebas Mbasu, itu tenyata menyimpan kisah debar. Apa pasal?
Keluarga Sebas Mbasu awalnya mendiami sebuah rumah di atas tamah milik iparnya di Tado – kampung tetangga. Menyusul pilkades sekitar enam bulan lalu, keluarga Sebas Mbasu diusir dan rumahnya yang di Tado itu dibongkar paksa. Pemicunya adalah beda pilihan politik pemilihan kades. Sebas Mbasu diketahui sebagai pendukung berat bahkan masuk tim sukses calon petahana, Marselus Raja, yang kemudian keluar sebagai pemenangnya. Sementara sang ipar (suami dari saudarinya Sebas Mbasu), mendukung kandidat lain.
Menghadapi risiko itu, Sebas Mbasu tidak punya pilihan lain. Ia bersama keluarganya harus pergi, namun tidak tahu harus ke mana. Satu satunya jalan adalah mengabarkan kisah getirnya kepada kades terpilih, Marselus Raja.
Mengetahui salah seorang pendukungnya menjadi korban gesekan pilkades, Sang Kades terpilih bersama warga pendukungnya segera berinisiatif. Mereka bergotong royong membangun rumah, yang kini dutempati keluarga Sebas Mbasu di Lison. “Rumah ini dikerjakan selama lima hari. Kami pun pastikan rumah dan tanahnya jadi milik keluarga Sebas Mbasu,” jelas Kades Nanga Pu’un, Marselus Raja.
Fransiskus Sarong, Caleg DPRD NTT dari Golkar dapil Manggarai Raya, Kamis (26/10/2023) berkesempatan mengunjungi rumah berembel “onak” pilkades itu. Di rumah itu, selain jumpa pemiliknya, Sebas Bau, juga bersama kades terpilih, Marselus Jawa dan warga lainnya.
“Sebagai anak muda, saya mendukung Pak Marselus bukan karena berharap agar jadi aparat desa. Itu tidak mungkin karena saya hanya tamat SD. Dukungan saya karena Pak Kades ini selama dua petiode sebelumnya sudah terbukti memajukan Nanga Pu’un yang tadinya sebagai desa tertinggal”, tutur Sebas Mbasu.
Saat dikunjungi Kamis siang itu, Marselus Raja bersama sejumlah warga sebenarnya sedang bergotong royong mendukung pengaspalan ruas jalan desa antarkampung di Lison, Nanga Pu’un. Sesuai kebijakan yang disepakatan bersama, keringat warga ternyata tidak gratis. Kegotongroyongan mereka tetap dihargai Rp 75.000 per hari per orang.
Frans Sarong berharap perbedaan pilihan atau dukungan terhadap kandidat tertentu menjadi penyemarak hajatan politik termasuk pilkades. “Jangan malah dipertajam hingga jadi pemicu yang meretakkan kebersamaan masyarakat,” begitu pesan Frans Sarong, yang juga Ketua Bapilu Golkar NTT.
“Semoga kerja bakti ‘bernutrisi’ itu menjadi media merekatkan kembali kebersamaan warga yang sempat retak akibat beda dukungan dalam.pilkades,” tambah Frans Sarong.*/) Laurens Leba Tukan