Mama Dayak Jadi Pahlawan Sorgum di NTT

1407
Maria Loretha dalam aktifitasnya bersama petani sorgum di Kabupaten Flores Timur. Foto: Dok.Mama Tata

Oleh Laurens Leba Tukan

Budidaya sorgum (Sorghum spp) yang sejak lama “merayap”, belakangan mulai diminati kembali oleh para petani di Flores Timur, Lembata dan kabupaten lain di NTT. Mungkin sebatas apresiasi kagum saja, jika tokoh pendorongnya keturunan asli NTT. Namun fakta tak terbantahkan, pendorongnya justru seorang tokoh dari suku Dayak Kanayat’n – salah satu dari ratusan sub suku Dayak di Kalimantan.

Sang tokoh ini malah perempuan pula. Dia adalah Maria Loretha, kelahiran Ketapang, Kalimantan Barat, 53 tahun silam, persisnya pada 28 Mei 1969. Maka apresiasi sepantasnya bagi Mama Tata – sapaan lain untuk Maria Loretha – tak cukup sebatas “kagum”. Harus ditambahkan dengan “decak kagum”, bahkan layak dinobatkan sebagai “Pahlawan Sorgum” di NTT.

Maria Loretha yang sering juga disapa Mama Dayak atau Mama Sorgum, kini menetap di Adonara – satu dari dua pulau besar dalam wilayah Kabupaten Flores Timur (Flotim). Alamat persisnya di Desa Pajinian, Kecamatan Adonara Barat.

Alkisah, ketika Maria Loretha kuliah di Malang (Jatim) medio 1990-an, jatuh cinta dengan pemuda Flotim bernama Jeremias D Letor. Niat awalnya menata kehidupan di Malang. Namun badai resesi 1998, seakan sekalian memaksa Maria Loretha bersama suaminya pulang kampung. Pilihannya ternyata bukan ke Ketapang (Kalbar), tapi ke Adonara. Setiba di pulau itu, benak Maria Loretha langsung dijejali bayangan memantang, bagaimana harus menata hidup di daerah yang curah hujannya sangat terbatas dan gersang pula.

Maria Loretha pada hari-hari awal di Pajinian, Adonara, tanpa langkah pasti jenis usaha apa yang harus dikerjakan, setidaknya sekadar menopang kehidupan keluarga. Akhirnya datang suatu kesempatan berkenalan dengan Maria Helan. Sang tetangga itu  menandai percakapan awal mereka dengan suguhan sepiring nasi sorgum bercampur parutan kelapa. Karena cita-rasanya gurih dan lezat, Maria Loretha langsung bertanya perihal bahan pangan itu. Hal yang membuat dirinya takjub adalah penjelasan yang menyebutkan bahwa sorgum adalah jenis tanaman pangan khas lokal yang sudah dikenal sejak nenek moyang. Juga dijelaskan, sorgum adalah tanaman yang mampu bertahan hidup bahkan cocok dibudidayakan di daerah gersang dengan curah hujannya sangat terbatas seperti Adonara dan sekitarnya atau wilayah berkarakter sama di NTT.

Berbekal rasa lezat ditambah penjelasan sumir dari tetangga Maria Helan, jauh di lubuk hati Maria Loretha langsung membersit keinginan untuk berkebun sorgum. Namun tantangan awal yang langsung membayang adalah dari mana ia mendapatkan benih, dan apakah sang suami merestuinya. Maklum, Maria Loretha bukan sosok dari keluarga yang akrab dengan bertani lahan kering seprti kebanyakan petani di Adonara atau daerah lainnya di NTT.

Maria Loretha memberanikan diri. Ia mengungkapkan keinginannya berkebun sorgum, dan ternyata sang suami Jeremias Letor sepakat bahkan mendukung sepenuhnya. Maka setelah mendapat restu suami, Maria Loretha berkeliling ke berbagai kampung sekadar mencari sorgum yang dinilai layak menjadi benih. Usaha Mama Tata akhirnya membuahkan hasil. Ia mendapatkan benih sorgum buruannya dari seorang petani di Desa Nobo, Kecamatan Ilebura (Flotim). Itu berarti harus menyeberangi selat, karena wilayah Desa Nobo bukan di Adonara, tapi di daratan Flores (Flotim).

Maria Loretha dan suaminya Jeremias Letor kini dikaruniai empat orang anak yaitu Randy yang kini sudah bekerja, Brian juga sudah bekerja, serta Ipi dan Sisilia yang sedang kuliah di Perguruan Tinggi. Riwayat pendidikannya dimulai dari SD Usaba, Ketapang, Kalimantan Barat, SMP Mater Alma Ambarawa Jawa Tengah, SMA Fransiskus I Jakarta Pusat dan S1 Ilmu Hukum Universitas Merdeka Malang.

Mama Tata merupakan Pegiat dan Penggerak Sorgum Florata sejak tahun 2010 sampai sekarang. Kini ia dipercayakan menjadi Ketua Perhimpunan Petani Sorgum untuk Kedaulatan Pangan P2SKP NTT sejak 2014 sampai sekarang. Juga menjadi Meneger Program Yaspensel Keuskupan Larantuka dari 2014 sampai sekarang.

Sejak pertama kali jatuh cinta dengan suguhan sorgum yang dicampur parutan kelapa oleh tetangganya di Pajinian tahun 2007, Mama Tata tertarik untuk menanam sorgum. Ternyata semangat menanam tidak didukung dengan ketersediaan benih atau bibit. Ia berkeliling di kampung-kampung di Flotim, Manggarai, Sabu, Sumba sampai daratan Timor hanya untuk berburu benih sorgum.

“Tujuan saya hanya untuk mendapatkan bibit. Dalam perburuan tersebut di dalam tas saya ada benih kacang nasi, benih jewawut, ada kopi biji saya bungkus kecil-kecil. Juga ada gula pasir ukuran seperempat Kg, ada biskuit anak-anak dan ada rokok murah misalnya rokok Samudra di masa itu harganya hanya Rp 7000/bungkus. Tujuannya untuk bertukar benih  atau bonus bagi petani yang memberi benih,” sebut Mama Tata mengenang kisah awal berburu benih sorgum.

Yang mendorong Mama Tata mengembangkan sorgum karna seperti ada “suara” yang mendorong-dorong. “Pergilah, kamu harus kesana, kamu pergi dan harus dapat itu bibit, kamu harus bantu orang kecil, bantu mereka, dan kamu pasti bisa!” begitu suara yang selalu menghantuinya.

Disadarai oleh Mama Tata bahwa bahasa itu terlalu klise atau terlalu manis, tapi itulah kenyataan yang ia rasakan. “Saya seperti tertantang untuk mencari dan melestarikan benih-benih lokak kekayaan keanekaragaman hayati. Saya pertama kali mengembangkan sorgum di Kabupaten Manggarai Barat tahun 2010 di desa Siru, Kecamatan Lembor. Saya bawa bibit lokal mesak merah, longa, jali dan watablolo,” ujarnya.

Pada tahun 2011 akhir, ia menjalin kerja sama dengan Gapoktan di desa Tiwatobi, Watowiti atas dukungan Pastor Pembantu Riang Kemie,  Rm. Benyamin Daud yang sekarang  menjadi Direktur Yaspensel Keuskupan Larantuka. Selepas itu, pada tahun 2012, Mama Tata bergeser ke kelompok petani coklat di Ondorea Barat, Kecamatan Nangapenda, Kabupaten Ende. Di sana, ia mengajak para petani Ondorea Barat menanam sorgum lokal dan hermada watablolo, lolo pega dan jali.

Tidak berhenti di Ende. Tahun 2013, Mama Tata masuk ke Pulau Terselatan NKRI, Rote Nado atas undangan keluarga Aditya Manu. Di tahun yang sama, ia juga memenuhi undangan Pastor Paroki Kambajawa dan bekerjasama dengan keluarga Daniel di Hambuang Kecamatan Londalima Kabupaten Sumba Timur.

Khusus pengembangan sorgum di Flores Timur, dimulai pada tahun 2014 setelah Bapa Uskup Mgr. Frans Kopong Kung memerintahkan Mama Tata dan Rm. Benyamin Daud Pr, untuk mengembangkan sorgum di Likotuden, Desa Kawalelo Kecamatan Demon Pagong. Kegiatan menanam dimulai dengan  pengembangan benih sorgum yang dikerjasamakan dengan  UB Adobera Desa Ratulodong Kecamatan Tanjung Bunga.

Ketika panen perdana di bulan Oktober 2014, turut hadir saat itu Ibu Bupati Flotim, Theresia Hayon (isteri Bupati Flotim saat itu Yosni Herin) dan Wakil Bupati Flotim saat itu Valentinus Tukan. Dari desa inilah benih sorgum disebar luaskan ke Likotuden dan desa-desa lainnya di Kabuaten Flores Timur.

Di tahun yang sama 2014, Mama Tata bersama kelompok Epit Wangge di Kotabaru, Kabupaten Ende mulai serius mengembangkan sorgum. “Respon pertama masyarakat petani ketika saya mulai menggerakkan mereka untuk menanam sorgum, sebagian kaum bapak menolak dengan alasan bahwa kami tanam jagung saja tidak tumbuh, apalagi biji sekecil ini bisa tumbuh ka tidak ? Apalagi kebun kami sudah tanam padi dan jagung, kami mau tanam di mana lagi,” begitu kisahnya ketika pertama kali mengajak masyarakat menanam sorgum, meski ketika dicek ke lapangan, lahan nganggur sangat banyak.

Ia juga menemukan sekitar 80% masyarakat menyatakan lupa dan tidak kenal dengan sorgum atau hermada, sorgum watablolo, mesak, lolo, watasolot, dan sebutan lainnya. Bahkan, sebagian besar pula mempertanyakan harga. Berapa harga se kilo, pasarnya di mana, bibitnya dapat darimana dan berbagai pertanyaan lain.

Disebutkan Mama Tata, kendala di awal mula ketika mengembangkan sorgum di Flotim berkaitan erat dengan mindset yaitu pola pikir dan pola tanam. “Tidak mudah membalikkan fakta otak beras dan 1 kilo berapa. Cukup sulit merubah kebiasaan petani menanam serempak saat MT 1 (Musim Tanam 1). Semua jenis tanaman pangan ditanam dalam 1 kebun, sedangkan sorgum justru kami sarankan ditanam di MT 2 bulan Januari-Februari atau setelah petani panen jagung,” ujarnya.

Hingga kini bersama Yaspensel Keuskupan Larantuka Mama Tata sudah mendampingi 27 kelompok tani di Flores Timur dan Lembata. Jika ditambah dengan di luar Flotim dan Lembata yang didampingi sendiri sudah 9 kelompok yang tersebar di Manggarai, Bajawa, Nagekeo, Ende, Sikka, Rote, Sabu dan Sumba, tetapi sejak tahun 2016 saya hanya fokus Flotim, Lembata, Ende dan Manggarai.

Kapasitas produksi sorgum meningkat setiap tahun. Kendati berhadapan dengan cuaca/iklim yang menimbulkan efek jera seperti badai siclon seroja tahun 2021. Badai seroja membuat petani sorgum mengurangi luasan tanam pada tahun 2022. Untuk kondisi batu bertanah yang diadvokasi adalah lahan kering kritis, batu bertanah bukan lahan subur atau lahan basah. Juga jarak tanam akan menentukan hasil produksi/panenan. Hasil Analisa Usaha Tani Sorgum setiap hektar lahan batu bertanah mampu menghasilkan 1 Ton 200 Kg sorgum.

Dalam mengembangkan sorgum, tidak ada kendala pemasaran bagi kelompok tani binaan Yaspensel. Pasalnya, Yaspensel bertindak sebagai Oftaker yang menampung seluruh hasil petani binaan. “Diluar hasil panen kelompok lainnya kami tidak bertanggung-jawab, karena ini berkaitan erat dengan proses pasca panen untuk menjaga mutu dan kualitas sorgum sebagai nilai tawar bagi petani dan jaminan bagi konsumen sorgum,” ujarnya.

Koperasi Sorgum

Dibentuknya Koperasi Produksi Sorgum, berawal dari UBSP Sorgum yang dibentuk Mama Tata dengan Yspensel pada Februari 2016. Tujuannya untuk memudahkan para petani mendapat uang cash, dengan menyisihkan 10% dari setiap hasil penjualan. Se sen dua sen akhirnya mencapai ratusan juta dalam tempo yang cukup singkat yaitu 4 tahun. Atas dorongan kawan-kawan ahli koperasi di Pulau Jawa maka tahun 2020 Yaspensel bersama Dinas Koperasi Kabupaten Flores Timur membantu pendirian Koperasi Sorgum Herin Lela Likotuden. Ini dilakukan lebih kepada menyatukan kekuatan pemasaran 1 pintu sehingga tidak tercecer ke tangan gelap untuk kepentingan pribadi.

Kerjasama dengan pemerintah pusat melalui Kementrian Pertanian RI mulai terjalin baik sejak tahun 2017. Berawal dari kisah Mama Tata yang diangkat televisi nasional Metro TV dalam METRO 360 yang ditayangkan bulan September tahun 2016. “Saya dan romo Benyamin Daud, Pr dipanggil pak Mentri Pertanian. Maka terjadilah MoU pengembangan sorgum di Flores Timur dengan Likotuden sebagai pilot project utama. Kami dibantu peralatan alsintan lengkap,” katanya.

Dari Pemerintah Provinsi NTT, ia mengaku belum ada bantuan untuk masyarakat petani sorgum di Likotuden. Ia menduga, Pemprov NTT lebih terpesona dengan pemain sorgum dari Pulau Jawa. Namun, dukungan dari Pemda Flotim sangat dirasakan para petani sorgum. Dukungan itu diantaranya berupa benih untuk perluasan tanam tahun 2019, 2020, bantuan alsintan 1 mesin penyosoh,  dukungan wajib makan pangan lokal sorgum, kelor dan lain-lain melalui PERBUP FLOTIM 2019 untuk tingkatkan nutrisi gizi bayi balita, bumil, busu, remaja dan lansia.

Tentang kondisi peralatan bagi petani sorgum Likotuden yang kini sering rusak, dia menyarankan agar mesti peralatan tersebut dipelihara dengan baik. “Mesin-mesin rontok yang kami perjuangkan setengah mati. Mereka asal pakai dan malas merawat. Kondisi ini terjadi di seluruh Nusa Tenggara Timur. Saya sudah keliling ke desa-desa melihat hand traktor, traktor besar, mesin giling jagung, mesin rontok, dan mesin-mesin lainnya macet dan rusak hanya perkara 1 sekrup hilang petani kehilangan ide untuk memperbaikinya. Baru mulai menanam setahun dua tahun dengan hasil belum mencapai ton mengeluhnya macam-macam. Saya percaya pemerintah apalagi Presiden Jokowi sudah perintahkan masyarakat NTT  menanam sorgum, akan memperhatikan kebutuhan petani sorgum,” sebutnya.

Baginya, mesin rontok bukanlah kendala utama, tetapi bagaimana petani bersama-sama menunjukkan prestasi, sehingga mendapat perhatian banyak pihak.

Tanaman sorgum itu tahan banting dan kemampuan ratun (bertunas berkali-kali) sementara padi jagung sangat membutuhkan air yang cukup dan unsur hara yang bagus. Dari pokok yang sama sorgum dapat dipanen minimal 2x dalam setahun, karena kemampuan sorgum mengikat air di udara dan lapisan lilin pada daun mencegah penguapan air. Maka sorgum hebat sebagai tanaman masa depan ditengah iklim global yang terus berubah.

Sorgum itu enak, kandungan vitamin B, vitamin E, Kalsium, zat posfor, rendah gula, sangat baik untuk perkembangan bayi balita, mereka yang  menderita diabetes, jantung, struma, kanker usus, lupus, lambung dan terutama bagus sekali dimakan setiap hari untuk hidup lebih panjang.

Aneka jenis sorgum dan hermada dikembangkan Mama Tata. Baik lokal maupun varietas nasional. Tapi umumnya petani hanya menanam 1 atau 2 jenis sorgum sesuai dengan selera dan manfaatnya. “Jadi kami tidak paksa petani harus tanam 1 jenis saja. Tujuannya untuk memperkaya keanekaragaman hayati plasma nutfah tanaman pangan di Kabupaten Flores Timur,” katanya.

Sederet Penghargaan

Jerih lelah yang ditorehkan Mama Tata atau Mama Dayak yang bernama lengkap Maria Loretha ini, mengantarnya meraih sejumlah penghargaan, salah satunya Kehati Award. Penghargaan dari Yayasan Kehati yang fokus dalam bidang keanekaragaman hayati, termasuk pangan lokal. Kehati adalah Yayasan asuhan Emil Salim.

Selain itu, Mama Tatah juga pernah meraih Penghargaan dari Direktorat KSDAE Kementrian Lingkungan Hidup tahun 2021 berupa Anugerah Perintis Lingkungan Restorasi Pesisir, Sorgum, dan Cendana. Juga Penghargaan dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila tahun 2019 berupa Ikon Apresiasi Prestasi Pancasila bidang Social Entrepreneur.

Penghargaan juga diraihnya dari ASHOKA Award tahun 2019 berupa Asian Social Impact. Juga dari Kementrian Pertanian HPS RI tahun 2016 sebagai Pelopor, Penggerak Sorghum dan Petani Teladan.

Dari Kementrian Kubudayaan & Pendidikan RI tahun 2016, Mama Tata diberikan penghargaan sebagai Perempuan Pemerhati Lingkungan Pendidikan Anak Usia Dini. Dan penghargaan dari Caritas Internasionalis, Roma – Italy tahun 2015 sebagai Nominasi Perempuan Penggerak Pangan.

Mama Tata juga pernah meraih Tupperware “She Can!” Award pada tahun 2015 Bidang Pendidikan. Juga Anugrah Seputar Indonesia RCTI tahun 2015 Bidang Pengabdian Masyarakat

Penghargaan juga dariraihnya dari NOVA Award tahun 2014 sebagai Perempuan Inspiratif Lingkungan, ASHOKA AWARD tahun 2013  sebagai Innovators for The Public 2013, Global Washington DC. Juga KARTINI AWARD tahun 2012 sebagai Perempuan terinspiratif bidang lingkungan. Serta KEHATI AWARD 2012 dalam Bidang Prakarsa Lestari Keanekaragaman Hayati dan Academia NTT Award 2011, Bidang Sains dan Keteknikan “sorghum bergizi, sorghum berduit”. */)Pemred SelatanIndonesia.com

Center Align Buttons in Bootstrap