Harga BBM, Inflasi dan Garis Kemiskinan

270
Frits O. Fanggidae

Oleh Frits O Fanggidae – Dosen FE UKAW Kupang

Topik yang menjadi perhatian utama seputar penyesuaian harga BBM Subsidi saat ini adalah Inflasi dan kemiskinan. Isu panas dibalik topik ini sejatinya adalah pendapatan. Inflasi yang terjadi akibat kenaikan harga-harga secara umum, baik dipicu BBM atau komoditas strategis lainnya, dari sisi permintaan (konsumen) akan menekan daya beli kelompok masyarakat berpendapatan rendah, apalagi yang tanpa pendapatan (upah), yang jumlahnya relatif besar. Akan tetapi jangan dilupakan bahwa kenaikan harga-harga umum (inflasi), ibarat pisau bermata dua. Satu sisi merugikan konsumen, pada sisi lain, inflasi pada batas tertentu, dari sisi penawaran menarik bagi produsen, karena terdapat insentif harga. Karena itu, secara keseluruhan, perekonomian memerlukan inflasi sampai batas tertentu. Dalam patokan pemerintah, inflasi yang dapat ditoleransi dan dianggap memberi insentif harga bagi produsen bila berada pada kisaran 3% (plus-minus 1%).

Kemiskinan akan bertambah bila kenaikan harga tidak diikuti dengan kenaikan pendapatan, sehingga belanja per kapita per bulan dibawah garis kemiskinan. Karena itu inti persoalannya, bila terjadi inflasi, apalagi dia atas batas toleransi, pendapatan harus naik secara simultan di atas garis kemiskinan, agar tidak terjadi penambahan jumlah penduduk miskin.

Secara metodologis, BPS mengukur penduduk miskin berdasarkan batas garis kemiskinan, yaitu jumlah pengeluaran minimum untuk konsumsi pangan dan non pangan per kapita per bulan. Pada tahun 2022, BPS menetapkan batas garis kemiskinan keluarga di NTT sebesar Rp. 2.748.274 per bulan. Dengan beban tanggungan keluarga sebesar 5,9 orang, maka batas garis kemiskinan per kapita per bulan sebesar Rp. 461.120. Besaran garis kemiskinan akan bergerak naik seiring inflasi. Bila terjadi inflasi 5%, maka garis kemiskinan akan naik 5% pula. Bila pendapatan tidak naik, atau naik kurang dari 5%, maka secara agregat, jumlah penduduk miskin akan bertambah.

Faktor pendapatan sangat berperan penting. Apakah Bantuan Langsung Tunai (BLT) dapat meningkatkan pendapatan? Jawabannya Ya, bila jumlah BLT yang diberikan, secara proporsional lebih besar dari proporsi kenaikan harga-harga secara umum. Bila proporsi BLT lebih rendah, muncul persoalan kecukupan pendapatan untuk memenuhi garis kemiskinan yang sudah meningkat seiring inflasi. Jumlah penduduk miskin akan bertambah. Sampai kapan BLT akan diberikan? Dalam kaitan ini tentu Pemerintah memiliki keterbatasan pembiayaan melalui APBN. Karena itu BLT hanya bisa menjadi bantalan bagi kelompok penduduk berpendapatan rendah dalam jangka pendek.

Dalam jangka menengah dan panjang, peningkatan pendapatan secara permanen menjadi sangat penting. Salah satu alternatif yang mudah ditempuh pemerintah adalah menciptakan proyek padat karya. Mekanisme anggaran untuk proyek padat karya pada pemerintah bisa cepat menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, tetapi tetap terdapat batasan. Namun demikian padat karya tetap diperlukan.

Selain itu, program pengembangan ekonomi yang dilakukan pemerintah melalui pembiayaan APBD, mestinya berperan penting dalam menciptakan peningkatan pendapatan bagi kelompok penduduk berpendapatan rendah, bahkan tanpa pendapatan. Persoalaanya pendekatan penetapan sasaran secara kolektif yang selama ini digunakan, tidak lagi memadai. Pendekatan harus bersifat personal (by name, by address). Siapa penduduk berpendapatan dibawah garis kemiskinan atau tanpa pendapatan, harus dikenali: siapa namanya, tinggal dimana dan apa yang paling dibutuhkan untuk meningkatkan pendapatannya. Hal ini penting agar perlakuan terhadap mereka dilakukan secara tepat. Itu berarti Pemerintah daerah memerlukan data yang akurat dan program yang tepat. Ini harus mendapat perhatian penting, agar Pemerintah Daerah dapat menekan jumlah penduduk miskin.

Peningkatan pendapatan secara permanen bagi kelompok penduduk berpendapatan rendah akan efektif bila didukung pelaku usaha pada sektor swasta (dunia usaha). Salah satu bagian dari pelaku usaha tersebut adalah pelaku usaha skala mikro dan kecil. Pelaku usaha ini sangat rentan terhadap fluktuasi ekonomi semisal kenaikan harga-harga umum (inflasi). Dari sisi permintaan, daya beli mereka menurun karena kenaikan harga, pada sisi penawaran, kemampuan produksi mereka berkurang karena bunga pinjaman yang bergerak naik. Karena itu, solusi bagi mereka harus berpangkal pada usaha produktif yang mereka jalankan, agar pendapatannya meningkat secara permanen. Dalam kaitan ini, kepada mereka, sejatinya  Pemerintah telah menyediakan fasilitas pembiayaan usaha, melalui subsidi bunga jika mereka menggunakan fasilitas KUR untuk membiayai usaha mereka.

Pada tahun 2022, melalui APBN, disediakan pembiayaan ultra mikro, mikro dan kecil melalui KUR di NTT sekitar Rp. 3,2 trilyun rupiah. Persoalannya, pemanfaatan belum optimal, dan secara spasial penyebarannya belum mereka. Terdapat persoalan akses yang terbatas dari pelaku ultra mikro, mikro dan kecil terhadap sumber pembiayaan ini. Pada titik ini, sangat diperlukan sinergi dengan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Penting untuk dilakukan Pemerintah Daerah adalah menjadi jembatan antara pengeola APBN di Provinsi (Kanwil Perbendaharaan Negara) dengan pelaku usaha ultra mikro, mikro dan kecil sebagai client.

Pemerintah Daerah perlu menyiapkan client secara baik dari sisi usaha dan kesiapannya untuk memanfaatkan fasilitas pembiayaan usaha melalui APBN tersebut, dan menghubungkannya dengan pengelola APBN. Karena itu, secara spesifik, usaha/tindakan Pemerintah Daerah dalam menyiapkan client tersebut harus tercantum program dan anggaran Pemerintah Daerah. Praktik yang terjadi sejauh ini adalah Pemerintah Daerah fokus pada tindakan mereka dengan memanfaatkan APBD dan lupa menyiapkan client untuk memanfaatkan APBN yang jumlahnya relatif besar tersebut.*/)

 

Center Align Buttons in Bootstrap