KUPANG,SELATANINDONESIA.COM – Wali Kota Kupang Jefri Riwu Kore diminta untuk tidak emosional dalam menanggapi pernyataan anggota DPRD apalagi sampai menggunakan diksi yang mestinya tidak pantas diucapkan oleh pejabat publik.
Permintaan itu disampaikan aktivis dan konsultan gender di Provinsi NTT Veronika Atta, SH. MHum ketika dimintai pendapatnya terkait perseteruan antara Wali Kota Kupang Jefri Riwu Kore dan Ketua Fraksi PKB DPRD Kota Kupang, Theodora Ewalde Taek dalam sidang II paripurna IV DPRD Kota Kupang, 18 Juni 2020 lalu.
“Menurut saya, para pejabat, tokoh publik, pihak yang berwenang atau siapa pun dia, mestinya tidak melontarkan diksi-diksi negativ. Lebih prihatin lagi, dalam forum resmi dan forum terhormat, patut diperhatikan diksi apa yang digunakan dalam berkomunikasi dan berargumentasi. Sehingga efektif, bermanfaat, dan menjadi pentas yang pantas pula ditonton publik,” sebut Tory Atta demikian sapaan akrab Veronika Atta, kepada SelatanIndonesia.com, Sabtu (20/6/2020).
Tory Atta memberikan apresiasi kepada Walde Taek sebagai seorang legislator perempuan yang berani untuk mengemukakan pendapat dan memperhatikan hak masyarakat kecil. “Namun catatan ke depan, agar pilihan diksi serta cara berkomunikasi dan mengajukan pendapat perlu diperhatikan lagi,” katanya.
Menurut Tory Atta, perseteruan antara Wali Kota dan walde Taek mestinya tidak perlu terjadi dan hal itu sebagai sebuah pembelajaran untuk berkomunikasi yang elok.
“Kita semua tau jika menyampaikan pesan atau merespon kepada seseorang perlu disampaikan dengan tidak menyerang pribadi. Pak Wali Kota maupun ibu Walde sebagai anggota dewan, sebaiknya membangun komunikasi politik yang baik dan saling mendengar. Bukan menimbulkan pertikaian bahkan menuju pada debat kusir. Tentu ini berdampak pada komunikasi selanjutnya maupun implementasi program pembangunan Kota Kupang terutama merespon kebutuhan masyarakat marjinal,” sebut Tory Atta.
Tory Atta menambahkan, diksi “pencitraan” dan “kurang ajar” sama-sama kurang elok dilontarkan. “Saya bukan ahli menafsirkan Bahasa Indonesia. Namun sepengetahuan saya, Pencitraan menunjukkan bahwa ada upaya untuk dinilai public atau tampilan yang berkesan baik oleh publik. Umumnya orang menanggapi pencitraan sebagai sebuah upaya seolah-olah baik di depan publik namun faktanya belum tentu demikian. Sedangkan diksi “kurang ajar” tentu konotasi langsung negative tentang sesorang yang dinilai tidak beretika,” jelas Tory Atta.
Dikatakan Tpry Atta, yang perlu dilakukan antara kedua pihak, adalah membangun komunikasi yang baik, tidak saling menyerang dan memfitnah. “Energi tidak perlu dihabiskan untuk sebuah perseteruan dan mempertahankan pendapat. Perbedaan pendapat itu biasa, namun cara menyampaikan pendapat dan cara merespon, itu perlu menjadi perhatian bersama. Bukan sebaliknya mengarah pada perdebatan kusir sampai memfitnah,” ujarnya.
Diberitakan sebelumnya, Warga Kota Kupang dan jagad media sosial dihebohkan dengan beredarnya vidio yang mempertontonkan perdebatan sengit antara Wali Kota Kupang, Jefri Riwu Kore dengan Ketua Fraksi PKB DPRD Kota Kupang, Theodora Ewalde Taek dalam sidang di Lembaga DPRD Kota Kupang.
Dengan nada tinggi, Wali Kota dan Walde Taek saling melontarkan pernyataan di Sidang II Paripura ke 4 DPRD Kota yang berlangsung 18 Juni 2020. Beragam opini dan komentar berumnculan. Ada yang mendukung sikap Walde Taek, ada pula yang menghujat balik bekas aktivis kampus jebolan Unwira Kupang itu.***Laurens Leba Tukan