Menggugat Intoleransi, Mengawal Pancasila. Anggota DPR RI, Dr. Umbu Rudi Kabunang Apresiasi Langkah Cepat Polisi dan Desak Proses Hukum Pelaku Perusakan Rumah Doa di Padang hingga Tuntas
JAKARTA,SELATANINDONESIA.COM — Sore itu, ketika kabar penangkapan sembilan pelaku perusakan rumah ibadah Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) di Koto Tangah, Padang, Sumatera Barat tersebar luas, satu suara nyaring datang dari Senayan: Dr. Umbu Rudi Kabunang.
Anggota DPR RI dari Fraksi Golkar itu tak sekadar mengapresiasi langkah cepat jajaran Polda Sumatera Barat dan Polresta Padang. Ia menyebutnya sebagai “bentuk nyata negara hadir”. Namun lebih dari itu, Umbu Rudi mendesak agar proses hukum terhadap para pelaku tidak berhenti di meja rilis konferensi pers.
“Ini bukan sekadar penangkapan. Ini adalah pertaruhan negara dalam menjaga konstitusi dan nilai-nilai Pancasila. Proses hukum harus berlanjut sampai ke pengadilan dan menghasilkan putusan yang memberi efek jera,” ujar Umbu Rudi dalam pernyataannya, Selasa (29/7/2025).
Pernyataan itu bukan basa-basi. Legislator asal NTT itu telah lama vokal dalam isu-isu toleransi beragama dan perlindungan kelompok minoritas. Baginya, perusakan rumah ibadah bukan hanya tindakan kriminal, tapi bentuk pengkhianatan terhadap roh konstitusi Indonesia.
“Ini pelanggaran terhadap Pasal 29 UUD 1945, juga pengingkaran terhadap Pancasila sebagai dasar hidup bersama. Ini harus menjadi alarm bagi kita semua,” tegasnya.
Langkah cepat aparat, sebagaimana dijelaskan Wakapolda Sumbar Brigjen Solihin, memang patut diapresiasi. Penangkapan terhadap sembilan orang dilakukan usai penyelidikan dan olah TKP. Namun Umbu Rudi melihat pekerjaan belum selesai. Ia menyerukan pentingnya keterlibatan publik dalam mengawal proses hukum dan menyarankan langkah lebih sistematis untuk pencegahan ke depan.
“Negara tak boleh hanya reaktif. Fungsi intelijen harus dimaksimalkan, terutama oleh Babinkamtibmas, untuk mendeteksi gejala intoleransi sebelum membesar menjadi pidana,” ujar Umbu Rudi.
Tak hanya aparat, ia juga menyorot pentingnya evaluasi serius dari pemerintah terhadap penyebab munculnya tindakan intoleransi yang terus berulang di berbagai daerah. “Apakah akarnya ekonomi? Pendidikan? Politik lokal? Ini butuh kajian lintas sektor. Negara harus hadir bukan hanya saat gereja dirusak, tapi jauh sebelum itu, di ruang kelas, di kampung-kampung, di lini terdepan kehidupan warga,” katanya.
Ia menutup pernyataannya dengan refleksi tajam: “Pancasila jangan hanya hidup di baliho dan pidato upacara. Ia harus hidup di tindakan. Dan negara, lewat aparatnya, wajib jadi penjaga nilai itu.”*/Laurens Leba Tukan



Komentar