Dari tragedi kematian seorang prajurit muda hingga gelombang advokasi yang menuntut keadilan.
KUPANG,SELETANINDONESIA.COM – Petang itu, langit di Asrama Tentara Kuanino, Kota Kupang mulai memerah. Di halaman rumah sederhana, aroma bunga tabur masih pekat dari pemakaman beberapa jam sebelumnya. Di ruang tamu, foto besar Prada Lucky Chepril Saputra Namo berseragam loreng, tersenyum muda, menyambut setiap tamu. Di kursi plastik, pasangan Serma Kristian Namo dan Sepriana Paulina Mirpey duduk dengan wajah lelah, namun tatapan mereka mantap.
Mereka menerima Gubernur NTT Emanuel Melkiades Laka Lena dan istrinya, Asty Laka Lena. Keduanya datang langsung dari agenda pemerintahan untuk menyampaikan belasungkawa. Gubernur Melki duduk berhadapan dengan Kristian diantara ranjang duka yang sebelumnya menjadi tempat jasad Prada Lucky dibaringkan. Gubernur Melki lalu berbicara dengan nada pelan namun tegas. “Kami akan kawal. Tidak boleh ada lagi kekerasan seperti ini. Keluarga harus dapat keadilan seadil-adilnya,” ucapnya.
Awal Tragedi
Prada Lucky, 23 tahun, lulusan SMA di Kupang, baru beberapa bulan bertugas sebagai prajurit TNI AD. Di satuan barunya, ia dikenal pendiam namun disiplin. Namun pada awal Agustus 2025, kabar mengejutkan datang: Lucky ditemukan dalam kondisi kritis, diduga akibat penganiayaan oleh rekan satu kesatuannya. Nyawanya tak tertolong. Jenazah almarhum telah dimakamkan di TPU Mapoli, Kelurahan Airnona, Kecamatan Kota Raja, Kupang, pada Sabtu (9/8/2025). Prosesi pemakaman diwarnai isak tangis keluarga dan rekan prajurit.
Pihak keluarga mengaku menerima informasi yang simpang siur. “Kami ingin tahu kebenaran, jangan sampai kematian Lucky ini disembunyikan di balik alasan pembinaan,” kata Kristian, ayah Lucky. Mereka segera memutuskan untuk menempuh jalur hukum.
Advokasi yang Menguat
Dukungan terhadap keluarga tidak datang hanya dari pemerintah daerah. Dari Senayan, Anggota Komisi XIII DPR RI asal Sumba, Umbu Rudi Kabunang, angkat suara lantang. “Kekerasan yang berakibat hilangnya nyawa prajurit muda adalah pelanggaran hak asasi manusia. Panglima TNI harus menindak tegas para pelaku,” ujarnya di Jakarta.
Umbu Rudi, yang dikenal vokal mengkritik kekerasan dalam institusi militer, juga menegaskan bahwa kasus Lucky harus menjadi momentum pembenahan sistem pembinaan di TNI. “Kalau dibiarkan, ini akan jadi lingkaran setan kekerasan yang terus memakan korban,” katanya. Ia berjanji memanfaatkan posisinya di DPR untuk mengawasi jalannya proses hukum.
Langkah Hukum dan Tekanan Publik
Penyidikan internal TNI AD bergerak cepat. Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat, Brigjen TNI Wahyu Yudhayana, mengumumkan penetapan empat tersangka dan pemeriksaan lanjutan terhadap enam belas prajurit lainnya. Namun, bagi keluarga, langkah itu baru awal. Mereka ingin jaminan proses hukum yang transparan hingga persidangan.
Gubernur Melki Laka Lena menyatakan telah berkoordinasi dengan pimpinan TNI AD di NTT, Bali, dan Jakarta. “Kami akan ikut mengawal, bukan untuk mencampuri proses, tapi memastikan tidak ada yang coba menghalangi kebenaran,” katanya.
Dari Kuanino ke Jakarta
Rencana keluarga berikutnya adalah membawa suara ini ke Jakarta. Kristian dan Sepriana akan didampingi tim advokasi, termasuk jejaring pegiat HAM, untuk bertemu Komnas HAM dan Komnas Perempuan. “Lucky sudah tiada, tapi kami tidak mau ada Lucky-Lucky lain,” kata Sepriana, matanya berkaca-kaca.
Di halaman rumah, setelah doa bersama, Gubernur Melki dan Asty berpamitan. Mereka meninggalkan pesan yang mengikat janji: keadilan bukan sekadar kata-kata belasungkawa, melainkan tindakan yang menghapus kekerasan dari tubuh TNI.
Kasus Prada Lucky kini menjadi sorotan nasional. Lebih dari sekadar perkara pidana, tragedi ini menyingkap wajah gelap kekerasan struktural di lembaga yang seharusnya menjadi benteng pertahanan negara.*/Igo/Laurens Leba Tukan



Komentar