Anggota Fraksi Golkar DPR RI dari Dapil NTT 2, Dr. Umbu Rudi Kabunang Dorong Regulasi dan Pemberdayaan Produsen Tradisional
JAKARTA,SELATANINDONESIA.COM — Di banyak pelosok Nusa Tenggara Timur (NTT), aroma manis nira yang sedang disuling menjadi sopi atau moke adalah bagian dari keseharian. Di balik aktivitas sederhana itu tersimpan tradisi panjang masyarakat yang menanamkan nilai sosial, budaya, dan ekonomi pada minuman keras lokal.
Namun, di tengah kuatnya ikatan tradisi, praktik produksi minuman keras lokal di NTT hingga kini masih berada dalam wilayah abu-abu hukum. Belum ada payung hukum yang secara khusus mengatur produksi dan distribusinya, sehingga banyak warga tetap bekerja dengan risiko tinggi.
Kondisi itu mendorong Anggota Fraksi Golkar DPR RI Dapil NTT II, Dr. Umbu Rudi Kabunang, mengusulkan agar pemerintah daerah mengambil langkah konkret dengan melegalkan dan menata ulang industri miras lokal melalui regulasi khusus.
“Kita harus melihat ini dari sisi kultural dan ekonomi. Selama ini miras tradisional dianggap masalah, padahal di baliknya ada potensi ekonomi besar bagi masyarakat yang hidup di daerah kategori miskin seperti NTT,” ujar Umbu Rudi di Jakarta, Kamis (13/11/2025).
Tradisi yang Tak Lekang, Regulasi yang Tertinggal
Minuman keras tradisional seperti sopi di Timor, moke di Flores, dan peci di Sumba telah menjadi bagian dari upacara adat dan kegiatan sosial masyarakat selama ratusan tahun. Dalam setiap pesta panen, perkawinan, atau musyawarah adat, kehadiran minuman ini dianggap lambang kebersamaan.
Namun, ketiadaan aturan daerah yang mengatur produksi dan distribusi membuat tradisi ini kerap berbenturan dengan hukum. Penertiban oleh aparat kerap memicu ketegangan, sementara di sisi lain muncul peredaran miras oplosan yang berbahaya karena tidak memiliki standar produksi.
“Masalahnya bukan pada minumannya, tetapi pada sistem yang tidak mengatur. Akibatnya yang baik ikut terjerat, sementara yang berbahaya dibiarkan,” kata Umbu Rudi.
Mencontoh Bali, Mengatur dengan Bijak
Umbu Rudi menilai, NTT perlu meniru langkah Bali yang telah menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2020 tentang Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali. Aturan itu memberi ruang legal bagi arak tradisional untuk berkembang sebagai produk budaya dan ekonomi, dengan standar keamanan dan mutu yang jelas.
“NTT bisa membuat Perda serupa, tentu dengan penyesuaian lokal,” katanya. “Kita punya sopi Timor, moke Flores, dan peci Sumba. Semua bisa diatur dalam satu kerangka hukum yang jelas agar tidak lagi dianggap ilegal.”
Menurutnya, Perda tersebut dapat mengatur definisi dan jenis minuman tradisional yang diakui, mekanisme perizinan produksi, standar keamanan pangan, serta label dan indikasi geografis (IG) bagi produk khas daerah.
Pendekatan Pemberdayaan
Umbu Rudi menegaskan, jika dilihat dari hukum positif yang berlaku bahwa jika terjadi tindakan dari aparat penegakkan hukum khususnya kepolisian dalam penertiban ini, tidak bisa disalahkan. ”Memang ada pelanggaran, tetapi kebijakan dari aparat kepolisian ini juga tidak bisa disalahkan, namun pendekatan represif semata tidak akan menyelesaikan persoalan miras lokal,” katanya. Ia mengusulkan agar pemerintah fokus pada pemberdayaan produsen tradisional melalui pelatihan, bantuan modal, dan pembentukan koperasi.
“Kita bentuk koperasi atau BUMDes pengelola miras lokal. Pemerintah bantu dari sisi legalitas dan kualitas. Dengan begitu, produsen kecil tidak lagi dikejar, tetapi dibina,” ujarnya.
Langkah itu, lanjutnya, tidak hanya memperkuat ekonomi warga, tetapi juga melindungi konsumen dari minuman berbahaya.
“Jutaan pohon lontar tumbuh di NTT. Itu tanda kehidupan dan adat yang menyatu dengan alam. Kalau dikelola baik, bisa jadi sumber ekonomi yang bermartabat,” katanya menambahkan.
Keseimbangan antara Budaya, Moral, dan Ekonomi
Usulan legalisasi minuman keras lokal kerap memunculkan perdebatan. Kalangan gereja dan tokoh agama mengkhawatirkan dampak sosial, sementara masyarakat adat menilai larangan tanpa alternatif melanggar nilai budaya.
Umbu Rudi menyadari persoalan itu. Karena itu, ia menekankan perlunya dialog dan edukasi publik agar kebijakan yang lahir mencerminkan keseimbangan antara moral dan budaya.
“Tokoh agama dan adat perlu dilibatkan. Konsumsi bertanggung jawab bisa menjadi bagian dari pendidikan sosial,” katanya.
Ia menegaskan, tujuannya bukan mendorong masyarakat untuk minum, tetapi menciptakan tata kelola yang adil dan aman. “Kalau kita diam, justru yang berkembang adalah praktik oplosan dan penjualan ilegal yang membahayakan,” ujarnya.
Potensi Ekonomi dan Pariwisata
Selain untuk kepentingan budaya, Umbu Rudi melihat potensi ekonomi besar di balik legalisasi miras lokal. Jika diatur dengan baik, produk tradisional ini bisa menjadi komoditas unggulan dan daya tarik wisata baru di NTT.
Ia mencontohkan keberhasilan Bali menjadikan arak sebagai produk wisata. “NTT bisa juga. Kita punya banyak festival budaya. Kenapa tidak ada festival minuman tradisional yang mempromosikan sopi atau moke dengan izin resmi?” katanya.
Produk lokal dengan label legal dapat membuka lapangan kerja baru, menarik investasi kecil-menengah, serta memperkuat branding pariwisata daerah.
Dorongan bagi Pemerintah Daerah
Sebagai legislator pusat, Umbu Rudi menyatakan siap berkomunikasi dengan pimpinan daerah di NTT, baik eksekutif maupun legislatif, untuk memperjuangkan terbitnya regulasi daerah tentang minuman tradisional.
Ini momentum bagi pemerintah daerah untuk mengambil langkah. NTT tidak boleh terus berada di posisi tertinggal dalam pengelolaan potensi budayanya sendiri,” ujarnya.
Ia menambahkan, kebijakan legalisasi bertahap akan menguntungkan semua pihak—pelaku usaha terlindungi, konsumen aman, dan pemerintah memperoleh pendapatan dari pajak dan retribusi.
Menjaga Warisan, Membangun Peluang
Bagi Umbu Rudi Kabunang, isu miras lokal bukan sekadar tentang alkohol, melainkan tentang warisan budaya yang perlu dijaga dan diangkat martabatnya.
“Kalau kita lihat lebih jauh, sopi dan moke adalah bagian dari cerita hidup masyarakat NTT. Jangan sampai hilang karena tidak ada aturan yang melindungi,” ujarnya.
Ia menutup dengan seruan reflektif, “Mari kita lihat dari sisi peluang, bukan sekadar masalah. Dengan niat baik dan aturan yang jelas, tradisi bisa berjalan berdampingan dengan kemajuan.”*/Laurens Leba Tukan



Komentar