GESER UNTUK LANJUT MEMBACA
Gubernur NTT
Beranda / Gubernur NTT / Menjaga Panas di Perut Flores, Merawat Harmoni Antar Sesama

Menjaga Panas di Perut Flores, Merawat Harmoni Antar Sesama

Gubernur NTT, Emanuel Melkiades Laka Lena dalam Forum Dialog Nusantara, Jumat sore di Jakarta, (18/7/2025). Foto: Edy Naga

 Gubernur NTT Emanuel Melkiades Laka Lena menyigi akar konflik sosial di balik proyek energi terbarukan. Geothermal bukan soal teknis semata, tapi luka di antara sesama.

JAKARTA ,SELATANINDONESIA.COM – Ketika panas bumi Poco Leok menyulut amarah dan Mataloko jadi medan tarik-menarik antara janji negara dan jeritan warga, Gubernur Nusa Tenggara Timur Emanuel Melkiades Laka Lena memilih jalan paling terjal: mendengar langsung. Ia mendatangi sendiri lokasi-lokasi yang dipenuhi pro-kontra itu. Bukan sebagai penguasa yang hendak menenangkan, tetapi sebagai manusia yang ingin mendengarkan.

“Saya percaya, kalau kita belum bongkar mitos, maka mitos dianggap benar. Dan itu kemiskinan,” ujarnya lirih dalam Forum Dialog Nusantara, Jumat sore di Jakarta, (18/7/2025).

Gubernur Melki berbicara bukan dari balik tumpukan data, melainkan dari ruang-ruang luka yang ia jumpai sendiri. Di forum bertema Reindustrialisasi dan Ketahanan Energi Menuju Indonesia Emas itu, ia menekankan bahwa transformasi energi bukan hanya perkara teknokratik atau target pembangunan nasional. “Hari ini semua orang bicara pro-kontra. Tapi yang luka bukan soal geothermal. Yang luka adalah kebersamaan, persaudaraan, keluarga.”

Potensi Besar, Risiko Tak Kecil

Lipa Songke di Zaman Digital: Antara Adat, Pasar, dan Gengsi

Provinsi yang ia pimpin memang punya kekayaan energi terbarukan yang luar biasa: 60 ribu megawatt dari surya, 10 ribu dari angin, 1.149 dari panas bumi, dan ratusan lainnya dari air dan bioenergi. Tapi potensi tanpa infrastruktur, menurutnya, hanya akan jadi deretan angka dalam paparan kementerian.

“Kita sudah konek Timor dan Flores lewat transmisi, tapi Sumba dan kepulauan lain masih tersendiri. Di Flores, kalau satu pembangkit istirahat, padam semua,” katanya.

Ia menyentil kenyataan bahwa sebagian daerah di NTT masih mengandalkan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) berusia empat dekade. “Kalau wisatawan tahu, mereka bilang ini daerah primitif,” ucapnya lugas.

Konflik Energi dan Luka Sosial

Gubernur Melki tak menutup mata terhadap konflik yang menyelimuti proyek geothermal. Isu korupsi, suap, dan kriminalisasi kerap menjadi kabut yang menutupi substansi diskusi publik.

Dari Mauramba, Umbu Rudi Kabunang Menanam P5HAM di Hati Pemuda

“Angin, air, surya itu aman. Tapi panas bumi? Paling banyak fitnah,” ujarnya. Ia menyebut kasus dirinya sendiri: dilarang masuk ke Poco Leok oleh kelompok penolak proyek. Tapi ia tetap datang, dan warga pun akhirnya membuka pintu. “Dialog itu masih mungkin,” katanya penuh keyakinan.

Ia meyakini bahwa banyak konflik energi muncul bukan karena substansi penolakan terhadap energi bersih, melainkan karena komunikasi yang timpang, informasi yang sepotong, dan keterlibatan publik yang dangkal. “Pemerintah harus turun, harus merajut kembali tenun yang koyak,” ujarnya.

Jalan Tengah dan Dialog yang Tertunda

Meski menyatakan bahwa geothermal adalah salah satu opsi penting dalam bauran energi, Gubernur Melki tak bersikeras. Ia membuka kemungkinan untuk memindahkan proyek, jika memang tak bisa ditawarkan tanpa melukai harmoni sosial. “Kalau lanjut, ya bersama-sama. Kalau tidak, kita cari yang baru. Tapi jangan rusak harmoni.”

Baginya, transformasi energi di NTT bukan hanya soal listrik atau investasi. Ini adalah penebusan sejarah panjang keterbelakangan. Ini juga adalah upaya menjahit kembali kepercayaan antara negara dan rakyatnya.

Gubernur Melki Laka Lena: IPACS Jadi Momentum NTT Menatap Dunia

“Yang hancur bukan proyek, tapi keluarga. Kita mesti duduk dulu, bicara dulu, baru putuskan,” ujarnya. Kalimat itu meluruhkan semua jargon teknis yang selama ini membingkai diskusi soal energi.

Dalam satu tarikan nafas, Gubernur Melki mengingatkan: transformasi energi bukan pilihan. Itu kebutuhan. Tapi kebutuhan itu tak bisa ditebus dengan meminggirkan manusia. Karena di balik setiap megawatt, ada satu kampung yang berharap: jangan padamkan hidup mereka hanya demi menyalakan listrik.*/Igo/Laurens Leba Tukan

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Advertisement
× Advertisement