Di Ruteng, perdebatan soal panas bumi kembali mencuat. Antara janji energi bersih dan kekhawatiran akan tanah ulayat, Gereja, pemerintah, dan masyarakat mencari jalan tengah.
KUPANG,SELATANINDONESIA.COM – Aula Universitas Katolik Indonesia St. Paulus Ruteng, Kamis siang (21/8/2025), mendadak riuh tepuk tangan. Di layar besar, wajah Gubernur Nusa Tenggara Timur, Emanuel Melkiades Laka Lena, muncul lewat sambungan daring. Suaranya tegas, tapi lirih di ujung kalimat: “Kalau memang tidak bisa dikembangkan, kita tidak bisa paksakan. Intinya kita harus cari solusi terbaik tanpa harus berantam.”
Forum bertajuk “Ada Apa dengan Geothermal: Peluang dan Tantangan Energi Panas Bumi di Flores” itu mempertemukan pejabat, akademisi, rohaniwan, hingga polisi. Dari kursi pembicara hadir Bupati Manggarai Herybertus Geradus Laju Nabit, Executive Vice President Panas Bumi PLN John Y.S. Rembot, Direktur JPIC SVD Pastor Simon Tukan, Kapolres Manggarai AKBP Hendri Syaputra, serta sejumlah pakar energi terbarukan.
Isu panas bumi Poco Leok kembali jadi bara. Di satu sisi, Flores dikenal sebagai “sabuk emas panas bumi” dengan cadangan energi 1.149 MW—bagian dari potensi energi terbarukan NTT yang melimpah: surya 60,13 GWp, angin 10.188 MW, hidro 369,5 MW, dan bioenergi 746,8 MW. Namun di sisi lain, proyek geothermal berulang kali tersandung penolakan masyarakat.
Di Persimpangan Dialog
Bupati Nabit mengibaratkan isu ini sebagai sesuatu yang unprecedented di Manggarai. “Dulu kita sepakat soal lingkungan, sepakat hak-hak masyarakat dijaga. Dalam perjalanan, muncul perbedaan tafsir,” katanya.
Baginya, polemik ini bukan soal benar atau salah, melainkan perbedaan cara pandang. “Mediasi adalah jalan tengah. Proses yang sedang digagas Komnas HAM, meski terasa seperti dihakimi pada awalnya, penting untuk kebaikan bersama.”
Bupati menggarisbawahi bahwa masalah paling rumit terletak pada status tanah ulayat. Dahulu, tanah yang diwariskan dianggap sudah menjadi milik keluarga. Kini, tafsir ulang muncul, memicu tarik-menarik hak. “Norma tanahnya mulai didiskusikan kembali,” ujarnya.
Suara Gereja: Ekologi dan Hak Asasi
Dari sisi Gereja, Pater Simon Tukan dari JPIC SVD menegaskan proyek geothermal berpotensi mengoyak hak masyarakat adat. Ia mengingatkan pesan Paus Fransiskus dalam Laudato Si: bumi adalah rumah bersama. “Memanfaatkan alam sambil menyisakan kesengsaraan bukanlah bentuk tanggung jawab terhadap rahmat,” katanya dikutip dari OBORTIMUR.COM.
Pater Simon mengkritisi tata kelola proyek yang dinilai tak transparan serta keterlibatan aparat keamanan yang berlebihan. Bagi Gereja, persoalan geothermal bukan sekadar teknis energi, melainkan isu kemanusiaan dan keberlanjutan hidup.
Jalan Kearifan Lokal
Dari sudut pandang akademisi, Maksimilianus Jemali mengajak melihat geothermal dalam kerangka lebih luas: menjaga jaring kehidupan. Ia menekankan nilai-nilai Manggarai, lonto leok (musyawarah), peran tu’a golo (tokoh adat), hingga konsep hambor (rekonsiliasi) sebagai fondasi pembangunan. “Semua pembangunan, termasuk geothermal, harus diarahkan pada terciptanya harmoni,” ujarnya.
Antara Janji dan Ancaman
Pemerintah berargumen, proyek ini lahir dari niat baik: menyediakan listrik sebagai prasyarat pembangunan ekonomi, pendidikan, hingga pertanian. Namun, ancaman sosial-ekologis tetap membayangi. Bupati Nabit pun tak menutup mata: “Di balik manfaat, ada juga faktor-faktor negatif yang mungkin terjadi.”
Gubernur Melki Laka Lena menegaskan hal serupa. Energi panas bumi memang ramah lingkungan, tapi tak boleh mengorbankan kohesi sosial. Karena itu, ia menyiapkan rencana pendirian sekolah vokasi energi baru terbarukan, agar anak muda NTT menjadi pelaku utama transisi energi.
Titik Temu yang Masih Dicari
Forum di Ruteng itu berakhir tanpa kesimpulan bulat. Pro dan kontra tetap ada, tapi pintu percakapan terbuka. Di tengah silang pendapat, satu hal tampak jelas: geothermal di Flores bukan hanya urusan listrik, melainkan juga soal tanah ulayat, hak adat, suara Gereja, hingga harmoni sosial.
Flores masih mencari jalan. Antara menjaga bumi, memenuhi kebutuhan energi, dan mempertahankan martabat masyarakat adat. Sebuah jalan panjang, yang mungkin hanya bisa ditempuh lewat dialog yang jujur dan mediasi yang adil.*/Baldus Sae/Laurens Leba Tukan
Komentar