GESER UNTUK LANJUT MEMBACA
Gubernur NTT
Beranda / Gubernur NTT / Gubernur Melki di Tengah Amarah Poco Leok: “Kalau Kami Berniat Jahat, Kami Tidak Akan Selamat Keluar dari Sini”

Gubernur Melki di Tengah Amarah Poco Leok: “Kalau Kami Berniat Jahat, Kami Tidak Akan Selamat Keluar dari Sini”

Gubernur NTT, Emanuel Melkiades Laka Lena ketika berdialog dengan warga Desa Lungar, Poco Leok, Manggarai, Rabu (16/7/2025). Foto: Dio

Disambut Aksi Tolak Geotermal, Gubernur NTT Emanuel Melkiades Laka Lena Menggelar Dialog Terbuka di Jantung Poco Leok. Di Desa Tetangga, Wewo, Sambutan Justru Hangat.

RUTENG,SELATANINDONESIA.COM — Suasana gerbang kampung Desa Lungar, Poco Leok, Manggarai, Rabu (16/7/2025) sore menjelang malam itu tidak seperti biasanya. Ratusan warga berdiri berbaris, mengangkat poster dan spanduk dengan satu tuntutan: tolak proyek panas bumi (geotermal). Di balik senja Flores, mereka menanti sosok yang selama ini hanya mereka kenal lewat layar: Gubernur NTT, Emanuel Melkiades Laka Lena.

Dengan iringan aparat keamanan, Gubernur Melki turun dari mobil dinasnya, tersenyum, dan langsung mendekati kerumunan massa. Tak ada pengeras suara resmi. Tapi kalimat yang keluar dari mulutnya menggelegar, memecah ketegangan:

“Kalau kami punya niat jahat terhadap Poco Leok, kami tidak akan selamat keluar dari sini.”

Pernyataan itu, meski terdengar dramatis, justru meredakan suasana. Warga mulai membuka ruang untuk dialog, yang akhirnya digelar di aula Gereja Katolik Stasi Lungar, tempat sakral yang menyimpan memori kepercayaan dan pertalian adat masyarakat.

Empat Legislator NTT Bawa Suara ke Mabes Polri, Demi Keadilan untuk Kompol Cosmas

“Kami merasa tidak didengar selama ini. Geotermal tidak membawa untung. Justru kami takut kampung kami rusak, adat kami dilindas,” ujar Mama Merry, warga Lungar, yang menjadi salah satu juru bicara penolakan proyek panas bumi di kawasan pegunungan yang masuk wilayah adat Poco Leok itu.

Gubernur Melki mendengarkan, tidak menyela. Ia menegaskan bahwa pemerintah tidak akan memaksakan proyek yang menimbulkan konflik sosial. Ia juga menjanjikan dialog lanjutan dan audit keterbukaan informasi mengenai proyek Ulumbu Unit V yang kini digarap oleh PT PLN (Persero) dengan dukungan dana Asia Development Bank.

“Geotermal itu tidak lebih hebat dari persaudaraan,” katanya. “Jauh sebelum barang ini ada, kita adalah satu keluarga besar. Kita jangan sampai rusak karena berbeda pandangan.”

Dua Wajah, Satu Geotermal

Beberapa kilometer dari sana, di Desa Wewo, lokasi PLTP Ulumbu yang sudah beroperasi selama 13 tahun, suasana yang berbeda menyambut Gubernur Melki. Tidak ada spanduk penolakan, hanya senyum dan jabat tangan.

Bupati Anton Doni Dorong Koperasi Merah Putih Flotim Menuju Digitalisasi

“Kami hidup berdampingan dengan proyek ini. Tidak ada gangguan. Hasil panen tetap bagus,” ujar Hendrikus Ampat, seorang petani cengkeh.

Vinsen, tokoh muda desa, justru mendorong perluasan manfaat proyek ini. “Kami ingin infrastruktur juga dibenahi. Jalan kami butuh perhatian. Kalau proyek bisa membawa kesejahteraan, kenapa tidak?” katanya.

Gubernur Melki merespons dengan pendekatan win-win. Menurutnya, pengalaman Wewo bisa menjadi referensi penyelesaian di Poco Leok. Namun ia tak menutup mata bahwa konteks sosial, sejarah, dan adat di Lungar sangat berbeda dan memerlukan kehati-hatian ekstra.

“Saya datang untuk mendengar semua posisi: yang menolak, yang mendukung, dan yang masih ragu. Kami akan cari titik temunya,” ujarnya.

Jalan Panjang Rekonsiliasi

Saat Palu Berdentum di Waibakul: Pertukangan Jadi Jalan Sejahtera

Proyek geotermal Ulumbu Unit V telah memicu polemik sejak diumumkan perluasannya ke wilayah adat Poco Leok. Sejumlah organisasi masyarakat sipil dan tokoh adat mengkhawatirkan dampak ekologis dan ancaman terhadap struktur budaya masyarakat Manggarai.

Kehadiran Gubernur Melki dalam pusaran polemik ini menandai babak baru: dari dominasi pendekatan teknokratis menuju pendekatan partisipatif dan antropologis. Ia tidak datang membawa janji teknis, tapi mengawali dengan pengakuan: bahwa pemerintah bisa saja salah langkah, dan masyarakat berhak untuk tidak setuju.

Namun satu hal yang pasti, dialog pertama ini bukan akhir. Gubernur Melki menegaskan, akan kembali datang. Bukan hanya sebagai pejabat, tetapi sebagai saudara dalam rumah adat besar bernama Nusa Tenggara Timur.

“Kalau proyek ini harus jalan, maka dia harus memberi berkat. Kalau tidak, ya harus kita hentikan. Tapi keputusan itu tidak boleh melukai siapa pun,” pungkasnya.*/Baldus Sae/Laurens Leba Tukan

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Advertisement
× Advertisement