Oleh Mira Natalia Pellu
Media sosial telah merevolusi lanskap komunikasi politik di Indonesia, menjadikannya arena baru tempat partai-partai politik berkompetisi dalam membangun citra dan menarik simpati publik, terutama generasi muda. Dari kampanye kreatif di TikTok hingga perang opini melalui tagar di platform X, inovasi digital tampaknya membuka ruang partisipasi yang lebih luas dan menjanjikan efisiensi dalam menjangkau pemilih.
Namun, di balik euforia popularitas daring dan angka pengikut yang menanjak, mengemuka pertanyaan krusial: sejauh mana transformasi digital ini benar-benar memperkuat demokrasi substantif? Apakah keterlibatan di ruang virtual mampu terkonversi menjadi suara nyata dalam pemilu, ataukah sekadar menghasilkan ilusi keterhubungan tanpa dampak elektoral yang signifikan?
Dalam konteks ini, pemanfaatan teknologi digital oleh partai politik menghadirkan ambivalensi: di satu sisi membuka peluang strategis untuk menyampaikan pesan politik secara masif, namun di sisi lain menghadapkan aktor politik pada tantangan serius seperti banjir disinformasi, kesenjangan akses antarwilayah dan generasi, serta belum terujinya efektivitas kampanye daring dalam menggerakkan pemilih di bilik suara.
Teori Difusi Inovasi dalam Politik
Teori difusi inovasi yang dipopulerkan Everett M. Rogers pada 1960-an yang menjelaskan bahwa adopsi teknologi baru terjadi secara bertahap dalam masyarakat. Selalu ada kelompok pelopor (innovators dan early adopters) yang cepat mengadopsi inovasi sejak awal, disusul mayoritas yang lebih lambat (late majority bahkan kelompok paling lamban atau laggards) yang menunggu hingga inovasi terbukti bermanfaat atau populer.
Dalam konteks politik Indonesia, inovasi berupa penggunaan media digital sebagai sarana kampanye mulai diadopsi segelintir politisi visioner sejak era Pemilu 2014. Saat itu beberapa tokoh dan partai baru aktif di Facebook dan Twitter ketika banyak pesaing masih mengabaikannya. Lambat laun partai-partai arus utama pun mengikuti jejak tersebut. Menjelang Pemilu 2024, hampir semua partai politik telah terjun ke dunia maya media sosial tak lagi pilihan opsional, melainkan keharusan dalam komunikasi politik modern. Meski demikian, pola adopsinya tidak seragam: ada partai yang cepat dan agresif memanfaatkan platform digital, namun ada pula yang relatif lamban atau sekadar ikut tren, sesuai prediksi teori Rogers.
Media Digital di Pemilu 2019-2024
Pemilu 2019 menjadi titik balik pemanfaatan media sosial secara serius oleh aktor politik nasional. Pada kontestasi itu, kedua kubu capres-cawapres (Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandiaga) sama-sama mengerahkan tim siber dan strategi digital untuk memengaruhi opini publik. Percakapan politik di Facebook, Twitter, WhatsApp hingga YouTube meningkat pesat disertai maraknya tagar dukungan maupun serangan antarpendukung. Partai-partai pendukung masing-masing kubu juga aktif melakukan branding di medsos, mempromosikan program dan citra koalisi. Kampanye digital terbukti efektif meningkatkan keterlibatan pemilih, bahkan memungkinkan partai baru tampil lebih kompetitif bersanding dengan partai lama.
Salah satu contoh menonjol adalah Partai Solidaritas Indonesia (PSI), partai baru berisi politisi muda yang pada Pemilu 2019 menjadikan media sosial sebagai medan tempur utamanya. Hasilnya, popularitas digital PSI meroket. Dari segi jumlah pengikut daring, PSI berhasil melampaui sebagian besar partai mapan. Pengikut akun resmi PSI di Instagram (sekitar 230 ribu) dan Twitter (136 ribu) nyaris menyamai PDI Perjuangan, hanya kalah dari dua partai terbesar (PDI-P dan Gerindra). Sebaliknya, partai-partai besar lain seperti Golkar, NasDem, dan PKB tertinggal jauh di belakang PSI dalam hal jumlah followers. Strategi konten PSI yang segar dan dekat dengan kalangan milenial misalnya, dengan menonjolkan figur muda dan gaya komunikasi santai yang menjadikannya jawara di jagat maya ketika itu.
Namun, kemenangan di media sosial tidak otomatis berbuah kemenangan elektoral. Buktinya, PSI yang “menang di medsos” ternyata kalah di bilik suara. Meski populer secara daring, perolehan suara nasional PSI pada Pemilu 2019 hanya 1,89% jauh di bawah ambang batas parlementer 4%. Partai ini gagal melenggang ke DPR RI, menjadi pengingat bahwa buzz di dunia maya perlu diimbangi kerja nyata di lapangan. Fenomena PSI menunjukkan bahwa adopsi inovasi komunikasi memang memberi keuntungan berupa peningkatan brand awareness di kalangan pemilih muda, tetapi efektivitas akhirnya bergantung pada konversi dukungan menjadi suara. Media sosial hanyalah alat menjangkau pemilih; ia bukan satu-satunya penentu kesuksesan elektoral.
Memasuki Pemilu 2024, lanskap kampanye digital kian berkembang. Platform TikTok mulai dilirik sebagai arena kampanye kreatif untuk menyasar Gen Z. Hampir semua partai politik peserta pemilu kini memiliki akun TikTok resmi. Hingga awal 2023, tercatat 16 partai peserta pemilu aktif di TikTok, dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi pemuncak jumlah pengikut (lebih dari 50 ribu), disusul Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Golkar dengan puluhan ribu pengikut. Tak sekadar hadir, sejumlah partai cukup konsisten mengunggah konten di TikTok; PDI Perjuangan, Perindo, dan Golkar tercatat paling rutin memproduksi video pendek kampanye. Dari sisi keterlibatan audiens, PKS menonjol sebagai partai dengan perolehan like terbanyak di platform tersebut (disusul Golkar dan Partai Bulan Bintang). Data ini mengindikasikan bahwa partai-partai berideologi beragam nasionalis maupun religius semuanya berlomba berinovasi di ranah digital demi merebut ceruk pemilih muda yang kian dominan.
Keberhasilan dan Tantangan Inovasi Digital
Penggunaan media sosial sebagai strategi komunikasi politik jelas membawa sejumlah keberhasilan bagi partai yang mampu memanfaatkannya. Pertama, medium digital memungkinkan jangkauan luas dengan biaya relatif rendah. Pesan kampanye dapat disebarkan ke jutaan pengguna internet tanpa perlu menggelar mobilisasi massa fisik yang mahal. Kedua, interaksi dua arah di media sosial membuka peluang bagi partai dan politisi untuk berkomunikasi langsung dengan pemilih, membangun kedekatan, serta merespons isu secara cepat. Sebuah kajian yang diterbitkan di situs resmi Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia tahun 2023, menegaskan bahwa kandidat atau partai politik yang aktif memperbarui konten di media sosial cenderung lebih mampu menarik perhatian generasi muda dibandingkan mereka yang pasif dalam kanal digital. Interaksi yang konsisten di ruang virtual dinilai meningkatkan persepsi kedekatan dan responsivitas, dua faktor penting yang memengaruhi preferensi pemilih muda dalam kontestasi politik saat ini.
Selain itu, inovasi digital memberi ruang kreativitas dalam penyampaian pesan. Konten visual yang atraktif, infografik, hingga video kampanye yang viral dapat meningkatkan daya tarik pesan politik. Di Pemilu 2019 dan jelang 2024, publik menyaksikan banjir konten kreatif: mulai meme politik menggelitik, vlog interaktif para calon, hingga siaran langsung dialog di media sosial. Partai yang gesit berinovasi di ranah ini mampu mencuri perhatian dan mendefinisikan narasi kampanye sesuai agenda mereka. Kendati menjanjikan, adopsi media baru tidak bebas dari tantangan dan risiko. Salah satu tantangan utama adalah menjaga kredibilitas dan konsistensi pesan di tengah arus informasi cepat. Media sosial ibarat pedang bermata dua: selain menyebarkan pesan positif, platform digital juga dapat mempercepat polarisasi opini publik dan memfasilitasi penyebaran hoaks serta propaganda politik. Partai politik kini harus berhadapan dengan maraknya misinformasi yang dapat menyesatkan pemilih atau merusak citra jika tidak dikelola dengan baik. Kasus serangan buzzer dan perang tagar negatif kerap membayangi kampanye digital, berpotensi menggerus kepercayaan publik. Di sinilah dibutuhkan inovasi bukan hanya dalam penggunaan platform, tetapi juga dalam etika berkomunikasi serta mekanisme penyaringan konten.
Tantangan lain adalah kesenjangan kemampuan internal. Tidak semua partai memiliki sumber daya manusia dan dana memadai untuk menjalankan kampanye digital optimal. Partai besar berkocek tebal bisa saja menyewa konsultan media sosial, tim kreatif konten, hingga memanfaatkan big data dan analitik untuk menyasar pemilih tertentu. Sebaliknya, partai kecil dengan dana terbatas harus berjuang lebih kreatif agar suaranya muncul di tengah keramaian dunia maya. Kurva belajar juga menjadi faktor: kader-kader senior yang gagap teknologi perlu beradaptasi dengan pola komunikasi baru, sementara kader muda di struktur partai harus mampu menjembatani strategi digital agar tetap selaras dengan nilai dan pesan inti partai.
Kesenjangan Digital dalam Politik
Adopsi inovasi teknologi kerap menimbulkan kesenjangan, demikian pula dalam konteks politik digital di Indonesia. Tidak semua partai maupun kelompok pemilih merasakan manfaat yang sama dari revolusi media ini. Pertama, terdapat kesenjangan antar-partai: pihak yang cepat beradaptasi (umumnya didukung figur-figur muda melek internet) menikmati keuntungan lebih dulu, sedangkan partai yang terlambat menggarap media sosial sempat tertinggal dalam persaingan merebut opini publik. Sebagai contoh, pada tahun-tahun awal era medsos, partai seperti PKS dan PSI yang agresif di ranah digital berhasil membangun citra modern dan menarik simpati pemilih milenial, meninggalkan kesan kuno pada partai tradisional seperti Golkar atau PPP yang waktu itu belum aktif. Meskipun belakangan semua partai besar turut meramaikan dunia maya, kesenjangan “warisan” tersebut masih terasa dalam gaya komunikasi dan jumlah pengikut masing-masing. Data aktivitas di platform X (Twitter) tahun 2022-2023 menunjukkan kontras mencolok: akun resmi PDI-P mampu mencuit lebih dari 30 ribu kali dalam setahun, sedangkan beberapa partai lain hanya mampu ribuan kali. Hal ini mengindikasikan komitmen terhadap kampanye digital yang berbeda-beda di tiap partai.
Kedua, ada kesenjangan di antara segmen pemilih. Generasi muda perkotaan yang tumbuh bersama internet jelas paling diuntungkan oleh gencarnya kampanye via medsos. Mereka mendapatkan informasi politik dari layar ponsel, berinteraksi langsung dengan konten partai, dan terpapar berbagai perspektif secara instan. Sebaliknya, pemilih berusia lanjut atau masyarakat di wilayah dengan akses internet terbatas cenderung kurang terjangkau oleh strategi digital. Bagi banyak pemilih lansia, televisi dan media massa konvensional masih menjadi sumber informasi utama ketimbang Facebook atau TikTok. Hal ini menciptakan dilema bagi partai: berinovasi di ranah digital memang penting untuk merangkul pemilih muda, namun partai tak bisa meninggalkan pendekatan tradisional yang lebih akrab bagi pemilih “offline”. Ketimpangan digital berpotensi menciptakan jurang komunikasi antara partai dan sebagian konstituennya. Partai yang terlalu fokus pada kampanye online tanpa keseimbangan di lapangan bisa kehilangan segmen pemilih yang tidak aktif di dunia maya. Sebaliknya, partai yang mengabaikan media sosial berisiko dicap ketinggalan zaman dan gagal menarik pemilih pemula.
Pada akhirnya, media digital telah menjadi arus utama komunikasi politik dewasa ini, sehingga partai politik mau tak mau harus mengikuti perkembangan tersebut. Tantangan ke depan adalah memastikan difusi inovasi ini berlangsung secara inklusif dan berimbang. Artinya, semua partai baik besar maupun kecil, perlu mendapat akses setara dalam memanfaatkan teknologi, dan semua kelompok pemilih dapat dijangkau tanpa terkecuali. Inovasi seharusnya menjadi alat untuk memperkuat demokrasi, bukan malah memperlebar kesenjangan. Era kampanye digital telah mengubah wajah politik Indonesia menjadi lebih interaktif, cepat, dan kreatif. Para pelopor dalam pemanfaatan media sosial menuai manfaat terlebih dahulu, disusul gelombang mayoritas yang tak ingin tertinggal zaman. Keberhasilan dan kegagalan berbagai partai menerapkan strategi digital memberi pelajaran berharga: inovasi komunikasi politik akan efektif bila diterapkan secara cerdas dan bijak. Partai perlu memahami karakter audiensnya, baik generasi muda yang melek teknologi maupun kalangan yang masih mengandalkan tatap muka agar strategi komunikasi dapat menjangkau luas. Media boleh berganti, namun tujuan akhirnya sama: menyampaikan gagasan politik dan meraih dukungan rakyat. Inovasi digital hanyalah sarana; esensinya tetap terletak pada komitmen partai untuk membumikan pesan dan membangun kepercayaan publik dalam jangka panjang. Dengan demikian, pemanfaatan media digital diharapkan benar-benar berbuah pada penguatan demokrasi, bukan sekadar tren sesaat di musim kampanye. (*) Penulis adalah Spesialis Pemantauan Media sekaligus Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Komentar