BPIP dan Anggota DPR RI Umbu Rudi Kabunang berkomitmen, Sumba Timur dan NTT harus jadi barisan depan penjaga ideologi bangsa.
WAINGAPU,SELATANINDONESIA.COM – Terik matahari siang itu, Rabu (6/8/2025) tak membuat enam gadis Sumba Timur kehilangan irama. Di pelataran Kantor DPD II Partai Golkar Sumba Timur, mereka menari gemulai dalam lenggak-lenggok tarian Paaka, sebuah tarian sakral penyambut pahlawan perang, yang kini dipersembahkan bagi tamu negara: Anggota Komisi XIII DPR RI Dr. Umbu Rudi Kabunang dan Kepala Biro Pengawasan Internal Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Purno Utomo.
Diiringi suara gong dan kenangan budaya, para gadis dari Sanggar Ori Angu Lambanapu itu mempersembahkan juga tarian kolosal yang merangkum mozaik tari tradisional Sumba Timur. “Tarian ini adalah bentuk hormat kami kepada para tamu yang datang membawa nilai,” ujar Stevani, pemimpin sanggar, sambil tersenyum.
Nilai yang dimaksud adalah Pancasila.
Kehadiran Umbu Rudi dan Purno Utomo siang itu bukan sekadar safari kelembagaan. Mereka datang membawa misi ideologis: menanam kembali akar-akar Pancasila dalam kehidupan masyarakat, melalui program Penguatan Relawan Gerakan Kebajikan Pancasila. Hampir 400 warga dari berbagai profesi dan usia memenuhi halaman kantor partai berlambang pohon beringin itu. Banyak yang mengaku kecewa karena tak diundang.
“Saya mohon maaf kepada para keluarga saya di Waingapu dan Sumba TImur yang belum diundang hadir. Ini karena keterbatasan kuota dari BPIP,” kata Umbu Rudi dari atas mimbar. “Tapi saya minta ke depan, peserta ditambah jadi 1.000 hingga 2.000 orang. Sumba Timur harus menjadi laboratorium kebangsaan.”
Umbu Rudi menyoroti fenomena globalisasi dan arus informasi yang tak lagi mengenal batas. Perang di Timur Tengah, konflik ekonomi-politik di Eropa, ujar Umbu Rudi, bisa mempengaruhi pola pikir masyarakat Indonesia. “Kita harus jaga rumah kita: Indonesia, NTT, Sumba Timur, RT kita, bahkan keluarga kita. Supaya tidak terpapar ideologi lain yang merusak akar kebangsaan kita.”
Ia menyebut BPIP sebagai “garda ideologis Republik” dan mengaku tengah memperjuangkan penguatan kewenangan lembaga itu di parlemen. “Kami sedang mengawal RUU BPIP agar lembaga ini punya taring dan daya jangkau sampai ke daerah.”
Pernyataan itu diaminkan oleh Purno Utomo. Dalam nada tenang, birokrat senior BPIP itu menyampaikan rasa takjubnya atas kehidupan toleransi dan praktik kebajikan Pancasila di Waingapu. “Saya melihat sendiri bagaimana orang muda, orang tua, semua hidup dalam nilai-nilai itu. Ini yang membuat kami yakin: kerja pembinaan ideologi harus sampai ke desa,” katanya.
Ia menyampaikan sejarah panjang lahirnya Pancasila—dari pidato 1 Juni Bung Karno, hingga deretan lambang dan makna lima sila yang kini mulai dilupakan generasi muda. “Kita dulu punya P4, BP7, Pendidikan Moral Pancasila. Tapi sejak 1998 semua itu hilang. Sekarang banyak anak muda bahkan lupa mengucapkan Pancasila.”
Menurut Purno, kebangkitan kembali nilai-nilai dasar negara adalah keniscayaan. “Jangan sampai kita hanya jadi penonton ideologi lain yang masuk dan memecah kita. Karena yang bisa menyatukan kita bukan uang, bukan kekuasaan, tapi ideologi: Pancasila.”
Ia juga melempar kuis ringan kepada peserta. “Masih ingat lambang sila pertama?” tanyanya. Seorang siswa menjawab, “Bintang!” Disambut tepuk tangan.
Selain Umbu Rudi dan Purno, tampil pula Pdt. Abraham Litinau—tokoh agama dan budaya Sumba, serta dua tokoh muda: Herman Hilungara dan Umbu Aryad. Pdt. Abraham menekankan pentingnya membumikan Pancasila dalam dialog antariman dan budaya lokal. Sementara Herman mengingatkan generasi muda agar tidak larut dalam gaya hidup “semau gue” yang tercerabut dari akar kebangsaan.
“Anak muda sekarang lebih kenal selebgram daripada pahlawan nasional,” ujar Herman. “Maka perlu ada gerakan kebajikan yang membumikan kembali Pancasila dalam bahasa anak muda.”
Umbu Aryad menambahkan pentingnya regulasi lokal yang tidak bertentangan dengan semangat Pancasila. Ia mendorong DPRD dan pemerintah daerah menyusun peraturan yang menjunjung keadilan sosial, kesetaraan gender, dan keberagaman.
Sore itu, matahari belum juga tenggelam saat para peserta mulai bubar. Namun semangat di dada mereka seperti baru menyala. Bukan karena tarian, bukan karena kuis, tetapi karena satu kesadaran lama yang dibangunkan kembali: Pancasila bukan sekadar teks, tapi cara hidup bersama.
“Sumba Timur harus jadi barisan depan penjaga ideologi bangsa,” ujar Umbu Rudi. Di sisi lain panggung, Purno Utomo mengangguk pelan. Ia tahu, perjuangan ini masih panjang. Tapi dari Waingapu, semuanya bisa dimulai kembali.*/Laurens



Komentar