WAINGAPU,SELATANINDONESIA.COM — Di bawah langit cerah Karera, Kecamatan di selatan Sumba Timur, gema lagu rohani menggema di Gedung GKS Nggongi, Kamis (9/10/2025). Dari tempat sederhana itu, kesadaran baru tentang kemanusiaan digelorakan. Bukan sekadar dalam bentuk wacana, melainkan sebagai gerakan nyata yang berakar pada nilai-nilai hidup masyarakat Sumba: saling menghormati, menghargai, dan menjaga martabat sesama.
Kegiatan Implementasi Penguatan Pelaksanaan Penghormatan, Perlindungan, Pemenuhan, Penegakan, dan Pemajuan Hak Asasi Manusia (P5HAM) ini menjadi ruang perjumpaan antara nilai universal HAM dan kearifan lokal Sumba. Di antara para peserta, tampak tokoh masyarakat, pemuda, dan perwakilan komunitas adat duduk berdampingan, sebuah simbol inklusivitas yang menjadi ruh acara tersebut.
HAM dan Kearifan Lokal
Sekretaris Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Sumba Timur, Agustinus Umbu Mbaya Rawambaku, membuka sesi dengan mengingatkan bahwa penghormatan terhadap hak asasi manusia bukanlah konsep asing bagi masyarakat Sumba. “Dalam adat kita, ada falsafah menghargai sesama sebagai bagian dari kehidupan bersama. Itulah bentuk paling awal dari penghormatan HAM,” ujarnya.
Ia menjelaskan, P5HAM bukan hanya program formal pemerintah, tetapi juga sarana untuk menumbuhkan kembali semangat saling menghormati dalam kehidupan sosial yang kini semakin kompleks. Ia menegaskan, setiap warga berhak memperoleh hak hidup yang layak, pendidikan, kesehatan, dan keadilan sosial tanpa diskriminasi.
Umbu Rudi Kabunang dan Gerakan Kesadaran
Anggota Komisi XIII DPR RI, Dr. Umbu Kabunang Rudi Yanto Hunga, tampil sebagai salah satu penggerak utama dalam kegiatan ini. Dengan tutur yang tenang namun tegas, ia mengajak masyarakat melihat HAM bukan sekadar isu global, melainkan bagian dari tanggung jawab moral yang berakar dari tradisi Sumba sendiri.
“Sejak dahulu, orang Sumba diajarkan untuk menghormati tamu, menolong tetangga, dan melindungi yang lemah. P5HAM ingin menghidupkan kembali nilai-nilai itu agar menjadi kesadaran bersama dalam tata kelola pemerintahan dan kehidupan sehari-hari,” ujarnya.
Menurut Umbu Rudi, pelaksanaan P5HAM di daerah seperti Sumba Timur menjadi penting karena di sinilah nilai-nilai kemanusiaan masih hidup dalam praktik sosial dan adat. Ia menilai, pendidikan HAM harus menyentuh akar budaya agar mudah diterima masyarakat.
“Kalau kita ingin bicara tentang hak dan martabat, kita harus mulai dari hal-hal yang dekat dengan kehidupan masyarakat, seperti bagaimana memperlakukan tetua adat, menghormati perempuan, atau menjaga alam. Itulah inti HAM dalam konteks kita,” tambahnya.
Dari Diskusi ke Komitmen
Sekitar 150 peserta yang hadir menunjukkan antusiasme tinggi. Mereka tak hanya mendengar, tetapi juga berdiskusi, bertukar pandangan, bahkan menceritakan pengalaman sehari-hari tentang ketidakadilan yang mereka temui di desa. Diskusi berlangsung hangat, diwarnai tawa dan refleksi, tetapi juga tekad untuk berubah.
Di akhir kegiatan, peserta sepakat untuk membentuk jejaring “Desa Sadar HAM” di wilayah Karera. Komitmen itu mencakup peningkatan partisipasi warga dalam pengawasan pelayanan publik dan advokasi terhadap kelompok rentan, terutama perempuan dan anak.
Kegiatan ini juga berhasil mengidentifikasi sejumlah persoalan lokal seperti sengketa tanah adat, akses pendidikan bagi anak di daerah terpencil, hingga perlindungan lingkungan yang sering terabaikan dalam pembangunan.
Menanam Nilai dari Akar
Penutupan acara terasa hangat. Umbu Rudi kembali menegaskan pentingnya kesinambungan P5HAM di seluruh Nusa Tenggara Timur. Ia menyebut gerakan ini tidak boleh berhenti pada seminar atau seremoni belaka. “HAM bukan dokumen, tapi sikap hidup. Ia harus tumbuh dari keluarga, dari kampung, dari hati setiap orang,” ujarnya disambut tepuk tangan peserta.
Para penyelenggara menilai, pendekatan edukatif yang berpadu dengan nilai-nilai adat terbukti efektif menumbuhkan kesadaran baru. Dengan cara itu, masyarakat tidak merasa digurui, tetapi diajak untuk merefleksikan kebiasaan dan tradisi mereka sendiri sebagai sumber nilai kemanusiaan.
Dari Sumba untuk Indonesia
Sumba Timur, dengan budaya marapu yang menghormati keseimbangan alam dan relasi antarmanusia, menjadi ladang subur bagi semangat P5HAM. Nilai-nilai seperti kekerabatan, penghormatan, dan kebaikan hati menjadi fondasi alami untuk menanamkan kesadaran HAM yang kontekstual.
Dari tanah Nggongi, secercah cahaya kecil itu kini menyala. Ia mungkin belum terang, tapi cahayanya merambat perlahan menyentuh hati masyarakat yang mulai memahami bahwa menghormati manusia berarti menghormati kehidupan itu sendiri.
Dan dari Sumba, pesan kemanusiaan itu bergema: bahwa keadilan dan kesetaraan bukanlah konsep asing, melainkan warisan budaya yang terus hidup dalam keseharian warganya.*/Laurens Leba Tukan



Komentar