Pencalonan Gubernur dan Melunturnya Primordialisme

455
Pius Rengka

Oleh Pius Rengka

Rakyat Kota Kupang, tinggal di Jl. Antarnusa, Liliba

Hingga tulisan ini dibuat, Senin, 27 Mei 2024, enam kandidat gubernur bertengger menghiasi halaman media sosial dan media online. Ansy Lema (PDIP), Melki Laka Lena (Golkar), Orias Moedak,  Simon Kamlasi, Johny Asadoma dan Frans Go.

Ansy Lema dan Melki Laka Lena dari Partai Politik, juga anggota DPR RI terpilih. Johny Asadoma pensiunan polisi, Simon Kamlasi militer aktif, sedangkan Orias Moedak dan Frans Go adalah profesional bisnis. Dengan kata lain, dua kandidat dari komunitas politik, dua dari komunitas negara, dua lainnya masyarakat bisnis.

Konfigurasi politik ini menarik dicermati dalam konteks sejarah politik elektoral NTT karena politik elektoral di NTT kerap diwarnai politik primordialisme. Politik primordialisme, tentu saja, bukan melulu gejala khas NTT. Tetapi, politik primordialisme dapat dilacak di berbagai negara dengan masyarakat heterogen, ketika isu-isu etnis dan agama seringkali menjadi pusat perhatian politik.

Di Indonesia, politik primordial tampak jelas ketika identitas etnis dan agama membuncah mempengaruhi pemilihan dan dinamika politik Jakarta, saat tarung  perebutan Gubernur DKI, Ahok versus Anies Baswedan. Kasus ini sangat membekas karena mempertontonkan isu SARA sedemikian telanjang, jalang dan banal.

Secara keseluruhan, politik primordialisme menunjukkan cara identitas-identitas dasar yang terbentuk dari ikatan primordial berperan signifikan dalam kehidupan politik suatu negara atau masyarakat. Politik primordial merujuk pada identitas kelompok seperti etnisitas, agama, ras, bahasa, atau asal-usul kebudayaan.

Istilah primordialisme ini berasal dari kata “primordial”.  Artinya “pertama” atau “awal,” yang menekankan ikatan ini sebagai bagian dari identitas dasar seseorang sejak awal kehidupan mereka. Politik primordialisme mengacu pada fenomena tatkala ikatan-ikatan ini mempengaruhi perilaku politik, keputusan pemilihan, aliansi politik, dan loyalitas kelompok.

Karakteristik utama politik primordialisme adalah identitas kelompok yang kuat ketika anggota kelompok merasa memiliki ikatan berdasarkan identitas etnis, agama, atau bahasa, yang dapat menciptakan perasaan solidaritas yang mendalam. Para politisi dan pemimpin memanfaatkan identitas primordial untuk memobilisasi dukungan. Mereka menekankan perbedaan etnis, agama, atau budaya untuk membangun basis pendukung yang loyal.

Lantaran itu, politik primordialisme seringkali membawa potensi konflik, terutama saat  bersaing untuk merebut sumber daya ekonomi dan kekuasaan. Konflik etnis atau agama muncul ketika satu kelompok merasa didiskriminasi atau dirugikan oleh kelompok lain. Hal itu pun merembes ke lorong pembuatan kebijakan publik bahkan sampai cara penempatan staf di birokrasi profesional negara. Kasus Huttu dan Tutsi di Afrika telah menjadi contoh paling kasar dalam sejarah perdadaban politik di dunia.

Edward Shils (1957) membahas bagaimana ikatan primordial memainkan peran penting dalam membentuk struktur sosial dan dinamika politik. Ia menekankan bahwa ikatan-ikatan ini seringkali menjadi dasar bagi loyalitas politik dan sosial.

Sekelumit sejarah:

Namun, kita sama menyaksikan sekelumit sejarah. Sejak tahun 2018 pemilihan Gubernur dan legislatif, isu primordialisme di NTT nyaris tidak berlaku.

Saat itu, kompetisi calon Gubernur Esthon Funay berpasangan dengan Christian Rotok, Marianus Sae berpasangan dengan Emmy Nomleni, Benny Kabur Harman duet dengan Benny Litelnoni dan Viktor Bungtilu Laiskodat berpasangang dengan Josef Nae Soi, berlangsung dramatis. Hasilnya, Viktor Jos menang telak ketika konfigurasi kompetisi politik tiga Protestan dan satu Katolik, atau tiga Timor versus satu Flores menyusul Marianus Sae dibekuk KPK. Yang terjadi justru sejenis “anomali” dari tradisi politik elektoral konvensional di NTT.

Kala itu, kelompok tradisional politik Katolik sangat yakin Benny Kabur Harman akan keluar sebagai pemenang karena seturut hukum besi priomordialisme, hanya Benny Kabur Harman calon Katolik, dan dari Flores. Seturut hukum priomordialisme itu, kekuatan pemilih Katolik jauh lebih besar dibanding Protestan dan Islam.

Jika Katolik Timor, Sumba, Flores dan Islam Flores menumpuk memilih Benny Harman, maka tidak ada alasan masuk akal Benny Kabur Harman kalah. Tetapi, apa yang terjadi, persis sebaliknya. Benny Harman justru memegang rekor nomor ekor, dan Viktor Jos yang datang belakangan tiga bulan menjelang pendaftaran justru menang telak dengan raihan suara paling besar, padahal dia urutan ekor saat penomorurutan.

Lebih menarik (anomali) lagi ialah ketika perolehan suara Benny Kabur Harman kalah jauh dari Emmy Nomleny meski calon gubernur Marianus Sae, sedang meringkuk dalam jeruji besi. Nah, fakta ini mau ditafsir bagaimana.

Fakta ini menunjukkan dengan jelas, bahwa variabel agama dan etnis tidak lagi dominan atau dengan kata lain dua faktor itu telah meredup. Yang berfungsi ialah ketokohan personal. Rakyat pemilih menepikan isu etnik dan agama, tetapi (mungkin) mengedepankan ketokohan dan kohesivitas  sosial para kandidat.

Hal serupa pun terjadi pada pemilihan legislatif. Di Flores sebelum  tahun 2018, anggota legislatif (DPR RI) terpilih pastilah politisi Katolik. Tetapi, belakangan, yang terpilih justru tidak hanya tokoh Katolik, tetapi juga tokoh Protestan dan Islam.

Begitupun di Timor, Rote, Sabu dan Sumba.  Dua anggota DPR RI terpilih tahun 2019-2024, Ansy Lema dan Melki Laka Lena.  Dua politisi muda Katolik itu berasal dari Flores bahkan dari daerah yang sama Ende, Lio. Pada Pemilu sebelumnya, rakyat Timor dan Sumba lebih memilih politisi Tionghoa dari Jawa, seperti Setya Novanto dan politisi Tionghoa Ende, Herman Herry.

Pada Pemilu legislatif tahun 2024, gejala ini menegaskan pudarnya priomordialisme ketika rakyat Timor, Sumba, Sabu, Rote, memilih Gavriel Putranto Novanto, anak politisi Golkar Setya Novanta. Bahkan saat bersamaan dukungan terhadap Ansy Lema dan Melki Laka Lena menguat dan mengakar di Timor, Sumba, Sabu dan Rote yang terbukti dari jumlah perolehan suara Pemilu legislatif 14 Februari 2024.

Fakta-fakta ini memperlihatkan dengan jelas bahwa isu primordial berbasis etnik lokal dan agama sudah pudar bahkan mati harga. Era baru dengan kultur politik baru, tampaknya  berpusat pada ketokohan dan kohesivitas tokoh terhadap masyarakat pemilih.

Maka pada Pemilihan Gubernur tahun 2024 ini, saya memprediksi hitungan pemenangan berbasis kalkulasi primordial, pastilah meleset, sebab isu primordial kian tergusur ke tepian. Disarankan agar para kandidat yang disebutkan di depan, selain mempromosikan program dan rencana kerja mereka masing-masing untuk dibagaimanakanlah NTT ini, tetapi juga harus rajin turdes (turun ke desa) atau turkam (turun ke kampung), menawarkan gagasan dan rencana kerja yang sensitif dengan kepentingan mereka dengan bahasa yang konkrit.

Mengutip Anthony Downs (1957), ideologi (pen. apalagi unsur primordial) tidak terlalu penting dalam urusan pemilihan, tetapi yang penting adalah posisi pemilih itu sendiri. Karena para pemilih sebagai konsumen sehingga politisi (calon) harus sanggup menyesuaikan diri dengan kemauan konsumen politik. Yang patut diperhatikan hanya tiga unsur ini yaitu civic disangagement, swinging voters dan split voting. (***)

Center Align Buttons in Bootstrap