Tim Hukum Prabowo-Gibran Optimis MK Tolak Permohonan Lawan

121
Pasangan capres dan cawapres Ganjar Pranowo (kiri) dan Mahfud MD (kanan) saat menyapa kuasa hukum pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Yusril Ihza Mahendra (tengah), menjelang sidang pendahuluan perkara PHPU Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (27/3/2024). Foto: KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

JAKARTA,SELATANINDONESIA.COM – Ketua Tim Pembela Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Yusril Ihza Mahendra, optimistis permohonan sengketa hasil Pemilihan Presiden 2024 yang diajukan kubu Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD akan ditolak Mahkamah Konstitusi (MK). Pasalnya, dalam sejarah, belum pernah sekalipun Mahkamah Konstitusi membatalkan seluruh hasil pemilu dan memerintahkan pemungutan suara ulang.

”Sudah berapa kali MK memeriksa dan memutus perkara PHPU (perselisihan hasil pemilihan umum), belum pernah sekalipun MK membatalkan seluruhnya dan melakukan pilpres untuk kedua kalinya,” ujar Yusril dilansir dari Kompas.id, Rabu (27/3/2024).

Menurut dia, permohonan sengketa hasil pilpres, baik yang diajukan oleh tim hukum Anies-Muhaimin (Amin) maupun tim Ganjar-Mahfud, lebih banyak narasi dengan sedikit bukti. Selain itu, bukti yang diajukan bersifat kualitatif yang pada ujungnya meminta MK agar mendiskualifikasi pasangan Prabowo-Gibran. Apalagi, pemohon juga meminta agar dilakukan pemilihan ulang yang hanya melibatkan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud.

Yusril menolak contoh-contoh yang dikemukakan tim hukum kedua pemohon perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) tersebut. Contoh yang diungkapkan adalah putusan MK mendiskualifikasi sejumlah calon kepala daerah karena dinilai tidak memenuhi syarat. Putusan diskualifikasi itu ditetapkan diantaranya saat MK mengadili perselisihan hasil Pilkada Boven Digoel, Pilkada Sabu Raijua, Pilkada Lampung Selatan, dan lainnya

Mantan Menteri Hukum dan HAM itu berdalih pilkada dan pemilu merupakan dua rezim yang berbeda.

Anggota Tim Pembela Prabowo-Gibran lainnya, Otto Hasibuan, menilai tim hukum Ganjar-Mahfud terlihat memaksakan apa yang dipersoalkan, seperti pencairan bantuan sosial dan lainnya, menjadi kewenangan MK. Mereka meminta MK agar membuat terobosan dan mengambil alih penanganan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang sebenarnya merupakan kewenangan Bawaslu. Padahal, jika mengacu pada Pasal 475 UU Pemilu, kewenangan MK adalah sengketa hasil pemilu.

”Ini keliru karena terobosan bisa diambil kalau tidak ada aturan yang berlaku seperti kasus TSM tahun 2014. Enggak ada aturan soal TSM sehingga MK mengambil terobosan, menciptakan adanya pelanggaran TSM. Nah, sekarang TSM sudah diatur di dalam UU Pemilu. Jadi, tidak ada ruang lagi bagi MK untuk mengambil suatu terobosan yang bertentangan dengan UU yang ada,” kata Otto.

Dalam permohonannya, baik tim hukum Amin maupun Ganjar-Mahfud meminta MK untuk membatalkan Surat Ketetapan KPU Nomor 360 Tahun 2024 yang menetapkan pasangan Prabowo-Gibran sebagai pemenang pemilu. Kedua tim hukum beranggapan perolehan suara Prabowo-Gibran yang melebihi 50 persen tersebut diperoleh dengan cara tidak sah

Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono mengatakan, dari persidangan perdana dengan agenda pembacaan permohonan yang diajukan tim hukum pasangan nomor urut 1 dan 3, belum ada gambaran mengenai apakah persoalan yang diajukan tersebut disertai alat bukti yang mampu meyakinkan hakim ataukah tidak. Menurut dia, terlalu awal untuk menilai bahwa MK tidak boleh begini atau tidak boleh begitu.

”Hakim itu punya kebebasan, kemandirian sepanjang dia berpegangan pada hukum dan keadilan. Jadi, mari fokus saja pada pemeriksaan persidangan, baik pemohon maupun termohon, ketimbang adu narasi di luar persidangan,” kata Bayu yang juga guru besar hukum tata negara.

Ia menambahkan, pihak terkait (dalam hal ini pasangan capres-cawapres nomor urut 3) tidak perlu mengungkapkan bahwa para pemohon tak memiliki alat bukti. ”Tak perlu mengatakan ini narasi atau omon-omon dan lain-lain,” ujar Bayu.

Hanya saja, Bayu menilai, para pemohon perlu kerja keras untuk menyajikan alat-alat bukti yang memadai. ”Pakemnya siding sengketa pilpres itu dianggap (proses) di Bawaslu selesai, DKPP selesai, di tiap tahapan selesai. Dia hanya bicara penghitungan. Jadi, kalau mendalilkan di luar itu, anda harus mendukung pembuktian itu dengan sempurna, dengan kuat sehingga hakim tak semata mendasarkan pada pakem,” tuturnya. */)Kompas.id

Center Align Buttons in Bootstrap