KUPANG,SELATANINDONESIA.COM – Semangat penyegaran dalam reposisi kepengurusan DPD I Partai Golkar Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) tidak hanya untuk posisi Sekretaris. Golkar NTT bahkan menyesali belakangan ini mulai dibelokkan ke isu beraroma rasis. Padahal, isu rasis dipastikan jauh dari karakter Golkar, termasuk Golkar NTT.
“Golkar adalah partai kebangsaan. Nasionalismenya harga mati. Sebagai contoh konteks NTT, Anwar Pua Geno yang bukan Kristen, saat masih sebagai kader Golkar, pernah menjadi Ketua DPRD NTT,” tegas Wakil Ketua Bidang Media dan Penggalangan Opini DPD I Golkar NTT, Frans Sarong di Kupang, Selasa (20/3/2024).
Penegasan itu disamapaikan Frans Sarong lantaran menumpang polemik penyegaran kepengurusan Golkar NTT yang belakangan terindikasi mulai dibelokkan ke isu beraroma rasis.
Disebutkan Frans Sarong, jagat politik NTT sedang seru. Berbagai media termasuk tiga media cetak di Kota Kupang: Pos Kupang, Victory News dan Timex, gencar memberitakan reposisi kepengurusan Golkar NTT. Elaborasi beritanya fokus terkait pergeseran posisi jabatan sekretaris Golkar NTT dari Inche Sayuna kepada Libby Sinlaeloe. Dengan elaborasi seperti itu terkesan seakan revisi kepengurusan tersebut tunggal, hanya fokus pada jabatan sekretaris.
“Faktanya tidak demikian. Pergeseran juga terjadi di sejumlah posisi lainnya. Sebut di antaranya Wakil Ketua Pemenangan Pemilu Wilayah Manggarai Raya, kini dipercayakan kepada Simprosa R Gandut menggantikan Maksi Adipatipati yang selanjutnya menjadi Wakil Bendahara,” sebut Frans Sarong.
Wartawan senior yang purna tugas dari Harian Kompas ini menyebut, khusus terkait pergeseran Inche Sayuna, berbagai berita dengan judul menggelegar. Sebut misalnya berita utama Victory News (VN) dengan judul: “Inche Sayuna Melawan”. Lalu berita utama Pos Kupang berjudul: “Inche Sayuna Mendadak Dicopot”.
“Tentu tidak ada yang salah. Di dunia kewartawanan, memang harus diupayakan agar judulnya seksi. Tuntutan itu semacam trik agar judul berdaya goda merayu pembaca.,” ujarnya.
Sebagaimana ramai diberitakan, Inche Sayuna merespons pergeseran dirinya dengan berbagai pernyataan yang dirasa perlu untuk diluruskan. Di antaranya: pergeseran dirinya sebagai keputusan yang sangat mendadak dan tergesa gesa; bagian dari skenario Melki Laka Lena menjegal Inche Sayuna kembali menjadi pimpinan DPRD NTT, dan lainnya. Dan karena itu Inche Sayuna mengadukan kasus ini ke Dewan Etik dan Mahkamah Partai Golkar di Jakarta.
Respons Golkar NTT.
Golkar NTT merasa perlu menanggapi sejumlah pernyataan Inche Sayuna hingga ruang publik – setidaknya di NTT – juga mendapat informasi pembanding biar jadi berimbang.
Pertama, terkait pengaduan Inche Sayuna ke Dewan Etik dan Mahkamah Partai. Ini langkah konstitusional hingga sepantasnya diaparesiasi. Dengan langkah seperti ini, maka proses pengambilan keputusan diharapkan berujung klir karena merupakan saringan keterangan dari dua pihak, tidak hanya dari Inche Sayuna, tapi juga dari Melki Laka Lena sebagai terlapor. Dimungkinkan pula berbagai pihak lain dari Golkar NTT, yang barangkali dibutuhkan untuk melengkapi keterangannya.
Kedua, terkait waktu penyegaran kepengurusan yang dinilai sangat mendadak dan tergesa gesa. Pernyataan ini perlu diklarifikasi. Sebenarnya telah ada niat melakukan penyegaran kepengurusan, ujung tahun 2023. Namun niat itu diurung agar tidak mengganggu konsentrasi menyongsong pemilu 2024.
Ketiga, atas tudingan yang menduga bahwa revisi kepengurusan itu sebagai skenario Melki Laka Lena menjegal Inche Sayuna kembali menduduki posisi pimpinan DPRD NTT periode 2024-2029.
“Tudingan itu sama sekali tidak benar karena memang tidak pernah ada skenario seperti digambarkan. Jika belakangan bergulir menjadi isu menuding Melki Laka Lena, barangkali semacam ekspresi kecemasan Inche Sayuna yang merasa terancam kehilangan jabatan sebagai wakil Ketua DPRD NTT periode 2024 – 2029,” jelas Frans Sarong.
Ia menambahkan, agar menjadi pemahaman bersama, setiap caleg terpilih dan terlantik, memiliki hak yang sama menduduki berbagai jabatan di legislatif, termasuk pimpinan DPRD. Penempatan mereka tentu dengan berbagai persyaratan pendukungnya. Pertanyaannya, apakah yang sekretaris mesti menjadi prioritas? Jejak di Golkar tidak mesti begitu. Salah satu contohnya di DPP Golkar. Sekjen DPP Golkar Lodewijk F Paulus yang juga anggota Fraksi Golkar di DPR RI, baru mendapat kepercayaan menjadi Wakil Ketua DPR RI, setelah pendahulunya, Aziz Syamsudin mengundurkan diri karena harus mengadapi proses hukum yang melibatkan dirinya.***Laurens Leba Tukan