JAKARTA,SELATANINDONESIA.COM – AGFD, seorang remaja asal Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, yang diculik dan dikeroyok dua kali pada 25 April 2022 dan 29 Agustus 2022, hingga hari ini masih mengalami trauma dan darah mengalir dari lubang telinganya. AGFD yang merupakan adik kandung dari Pengacara HAM, Gregorius R Daeng, hingga kini kondisinya masih memprihatinkan.
Dalam keterangan tertulis yang diterima SelatanIndonesia.com, Selasa (25/10/2022), Gerakan Advokasi Anti Penculikan Anak (GALAK) menyebut, Bupati Nagekeo sama sekali tidak memberikan atensi. “Padahal warganya sendiri hidup dalam ancaman dan ketakutan yang diciptakan para pelaku misterius,” sebut Juru Bicara Tim GALAK, Muhammad Mualimin.
Disebutkan, kasus penculikan dan pengeroyokan ini diadvokasi beberapa Advokat dan Aktivis yang merupakan rekan Gregorius R Daeng yang tergabung dalam Gerakan Advokasi Anti Penculikan Anak (GALAK). Dikatakan, korban dan keluarga hingga detik ini masih belum merasa aman hidup di tanah kelahiran sendiri.
”Jujur saja, AGFD dan keluarga merasa tidak aman hidup di Bumi Nagekeo. Ini berarti bupati gagal menciptakan rasa aman dan nyaman untuk warganya. AGFD kondisinya menyedihkan, 6 bulan usai diculik masih mengalami sakit kepala, sesak nafas, dan darah mengalir dari lubang telinga,” kata Mualimin.
Selain minimnya perhatian dari Bupati Nagekeo, pihaknya juga merasa geram dan marah karena isi Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) yang diberikan oleh penyidik Satreskrim Polres Nagekeo kepada korban (AGFD) dan keluarga tidak memberikan informasi perkembangan apapun terkait hasil penyelidikan.
”Apa yang dilakukan penyidik kok 6 bulan berlalu tanpa perkembangan. Kapan naik sidik? Sudah jelas ada tindak pidana, bukti kuat, pengakuan korban dan keluarga valid, kenapa status kasus belum penyidikan? Kalau pelaku tidak segera ditemukan maka kami anggap Polres Nagekeo tidak sanggup menangani, dan kami rasa sudah waktunya diambil alih Polda NTT,” ujar alumnus Magister Hukum Universitas Nasional (UNAS) Jakarta ini.
Senada dengan hal itu, Anggota Tim GALAK Bonny Andalanta Tarigan menjelaskan, berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 06 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana. Pasal 10 ayat (5), berbunyi Setiap perkembangan penanganan perkara pada kegiatan penyidikan tindak pidana harus diterbitkan SP2HP.
SP2HP tersebut, ucap Advokat jebolan LBH Jakarta ini, sekurang-kurangnya memuat tentang pokok perkara, tindakan penyidikan yang telah dilaksanakan dan hasilnya, masalah/kendala yang dihadapi dalam penyidikan, rencana tindakan selanjutnya, dan himbauan atau penegasan kepada pelapor tentang hak dan kewajibannya demi kelancaran dan keberhasilan penyidikan.
”Ini kode SP2HP-nya adalah A2. Ini kan, berarti penyidik ingin menjelaskan kepada korban bahwa Perkembangan Hasil Penyelidikan belum dapat ditindaklanjuti ke Penyidikan alias jalan di tempat. Apa ini maksudnya? Kurang kuat apa bukti, pengakuan korban, dan saksi untuk menaikkan kasus ke tingkat penyidikan? Ini penyidik yang benar saja dong. Dimana keberpihakan polisi pada korban?” tegasnya.
Terkait lambannya kerja satreskrim Polres Nagekeo, kata Bonny, pihaknya mulai hilang kepercayaan dengan kinerja Polres Nagekeo yang terkesan tidak gesit dan cermat menangani kasus ini sehingga pelaku masih bebas berkeliaran.
”Trauma psikis ini tidak hanya dialami korban AGFD, tapi sekeluarga juga ikut tertekan, mereka ngeri mau keluar rumah takut dicelakai. Bagaimana korban dapat pulih mentalnya kalau penculik masih bebas berkeliaran. Ini Polres Nagekeo becus menangkap pelaku tidak, ya? Kalau tidak sanggup bilang saja. Jangan biarkan korban menunggu dalam ketakutan,” pungkasnya.***Laurens Leba Tukan