Oleh : Melchias Markus Mekeng *)
Pada hari Sabtu, 3 September 2022, tepat pukul 13.30 WIB, Presiden Ir. Joko Widodo di Istana, Jakarta, mengumumkan kenaikan harga BBM ditemani Menteri ESDM, Menteri Keuangan, Menteri Sosial dan Sekretaris Negara.
Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM selalu menjadi isu krusial dalam sejarah kebijakan energi di tanah air sejak pertama kalinya dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto (tahun 1970-an), dengan tujuan untuk mendukung rakyat miskin dalam menjangkau BBM murah. Yang kemudian persoalan subsidi BBM menjadi bom waktu yang cukup mematikan ketika pada Mei 1998, Presiden Soeharto meningkatkan harga jual BBM secara signifikan untuk menahan laju Inflasi yang meningkat pesat akibat krisis ekonomi tahun 1998, dimana harga minyak tanah naik menjadi 25%, solar 60%, dan bensin 70%.
Sampai saat ini pemerintah Indonesia harus mengalokasikan subsidi berjumlah besar dalam APBN. Untuk tahun 2022 saja realisasi APBN untuk anggaran subsidi dan kompensasi energi membengkak menjadi Rp 502 triliun, di tengah keterbatasan ruang fiskal. Walaupun banyak pihak tentu memahami beban APBN yang kian mengguras ruang fiskal memaksa pemerintah untuk menaikan harga BBM. Namun disaat bersamaan masyarakat yang baru pulih dari tekanan ekonomi yang sangat dasyat akibat krisis kesehatan (pandemi Covid-19) dan masih dalam bayang-bayang ancaman lonjakan inflasi yang kian meningkat semestinya juga menjadi hal yang sangat penting bagi pemerintah dalam mengambil keputusan menaikan harga BBM. Maka reaksi penolakan publik atas kebijakan kenaikan harga BBM yang kita saksikan beberapa hari ini dan mungkin akan terus berlanjut menjadi seuatu yang harus ditanggapi secara serius pula.
Beban alokasi yang sedemikan besar bengkaknya harus diatasi melalui kebijakan yang komprehensif. Tidak bisa diharapkan hanya dengan himbauan agar konsumsi masyarakat membeli BBM bersubsidi dikurangi dan melarang bagi yang tidak berhak (tidak tepat sasaran), karena kita akan terus berputar pada lingkaran setan masalah klasik yang tidak ada ujung penyelesaiannya. Hal ini semakin dipersulit oleh ketidakpastian ekonomi global.
Sudah puluhan tahun kita menghadapi masalah BBM dan subsidi ini dan hingga hari ini kita belum menemukan sebuah kebijakan yang mampu meminimalisir beban APBN maupun beban hidup masyarakat akibat dari kenaikan harga minyak dunia. Belajar dari pengalaman saat saya memimpin Badan Anggaran tahun 2010/2012 dimana terjdi lonjakan kenaikan minyak dunia dari US$90 per barel menjadi US$120 per barel. Bahwa kita tidak serta merta menyetujui usulan pemerintah untuk menaikan harga BBM subsidi. Melalui perdebatan yang sangat alot pada rapat di badan anggaran DPR RI, yang kemudian dilanjutkan dalam Rapat paripurna pada 30 Maret 2012 yang berlangsung sejak pagi hingga dini hari, akhirnya DPR mengambil keputusan dengan mekanisme voting yang memenangkan opsi yang ditawarkan oleh Fraksi Partai Golkar. Dalam rapat paripurna tersebut diputuskan bahwa harga BBM dapat dinaikan apabila harga rata-rata Indonesian Crude Price (ICP) naik 15% dalam jangka waktu 6 bulan. Keputusan ini memaksa pemerintah bekerja keras karen dalam perkembangannya persyaratan kenaikan tidak terpenuhi sehingga pemerintah tidak jadi menaikan harga BBM, dan APBN tetap sehat hingga hari ini.
Dari berbagai catatan di atas dan jika kita cermati berbagai kebijakan pemerintah selama ini, maka kami ingin memberikan beberapa pandangan untuk dapat didiskusikan lebih lanjut untuk penataan kebijakan BBM ke depan, yaitu :
Pertama, perlu adanya upaya luar biasa untuk melakukan Penataan kebijakan pada aspek efisiensi dan biaya pengolahan, Distribusi, pemeliharaan dan lain-lain dari pertamina sebagai BUMN yang terkait langsung dengan persoalan BBM ini.
Kedua, yang tidak kalah pentingnya adalah adanya langkah  dalam melakukan penataan kebijakan dan sistem ketat, prudent dengan pendekatan Teknologi Informasi (IT) untuk menyelesaikan persoalan ketepatan dalam memberikan subsidi BBM kepada masyarakat atau kelompok yang berhak menerimanya. Hal ini harus segera dilakukan agar alasan klasik soal distribusi subsidi dan penyaluran subsidi BBM di Indonesia yang tidak tepat sasaran harus segera kita akhiri. Dalam catatan kami sejak tahun 2010 sampai sekarang, issue  tentang penerima subsidi BBM yang tidak tepat sasaran masih selalu menjadi issue yang diangkat kepermukaan oleh para politisi, pengamat kebijakan publik dan lain-lain . Dan hingga kinipun dalil klasik ini masih menjadi perbincangan seolah-olah bangsa yang besar ini tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan persoalan klasik ini.
Ketiga, perlu dikaji kembali secara lebih komprehenship dalam rangka penerapan hedging pada harga BBM Â oleh pemerintah atau oleh BUMN (Pertamina). Hedging harga adalah transaksi derivatif berupa transaksi sistem lindung nilai yang mengamankan harga BBM yang akan dibeli pemerintah atau pertamina dalam jangka waktu tertentu. Hedging harga minyak mentah ini telah memiliki payung hukum melaui peraturan Bank Indonesia maupun Peraturan Menteri BUMN sejak tahun 2014, Dengan menerapkan hedging harga minyak mentah maka pemerintah tidak perlu menaikan harga BBM saat harga minyak dunia bergejolak. Kebijakan ini memang memiliki kelemahan Ketika harga minyak mentah mengalami penurunan, namun jika melihat grafik perkembangan harga minya mentah dunia maka kecendrungan harga minyak menytah mengalami kenaikan lebih besar dari pada penurunannya.
Jika kita berbicara tentang APBN maka esensinya bukan sekedar hitungan untung rugi bagi pemerintah atau pertamina, namun yang jauh lebih penting adalah upaya bersama untuk melindungi masyarakat kita dari dampak kenaikan harga minyak mentah dunia.*) Penulis adalah Anggota DPR RI Komisi XI, Mantan Ketua Komisi XI DPR RI dan Mantan Ketua Badan Anggaran DPR RI