PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DI KUPANG

19624
Dr. YANTO M.P. EKON, SH.,M.Hum

Oleh Dr. YANTO M.P. EKON, SH.,M.Hum 

Hasil penyidikan tindak pidana pembunuhan terhadap korban Ibu Astrit Manafe dan Anak Lael Maccabee di Kota Kupang telah menetapkan RB sebagai tersangka dan sudah dilakukan rekonstruksi selama 2 (dua) hari, namun perkembangan hasil penyidikan tindak pidana pembunuhan ini menjadi viral dan diberitakan oleh berbagai media. Berita yang sangat menarik untuk dikaji dalam tulisan singkat ini adalah berita online pada https://www.enbeindonesia.com, tanggal 17 Desember 2021 berjudul “Eksekutor Bukan Randy, TPFI akan Serahkan Data Pelaku yang Sebenarnya ke Kapolri”.

Demikian pula pada berita online yang sama dan tanggal yang sama tetapi judul berbeda yakni “Buang Sine Sebut Randi Badjideh Bukan Eksekutor Astrid dan Lael”. Kedua judul berita ini memuat pernyataan tegas dari Buang Sine sebagai Anggota Tim Pencari Fakta Independent (TPFI) dengan mengatakan “……pelaku pembunuhan Astri dan Lael bukanlah Randy Badjideh. Ada pelaku lain yang melakukan pembunuhan Astri dan Lael…..”. Judul berita disertai pernyataan tegas dari Tim yang disebut Tim Pencari Fakta Independent menarik untuk dianalisis secara yuridis yakni: 1. Apakah yang menjadi dasar hukum pembentukan suatu Tim Pencari Fakta Independent? 2. Data apakah yang dimiliki oleh TPFI untuk membuktikan eksekutor tindak pidana pembunuhan bukanlah RB yang saat ini ditetapkan sebagai Tersangka?

Dasar Hukum Pembentukan TPFI

Dasar hukum pembentukan Tim Pencari Fakta Independen suatu tindak pidana, termasuk tindak pidana pembunuhan secara hukum adalah penyelidik dan/atau penyidik. Undang-Undang Nomor: 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menetapkan Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan penyelidik dan penyidik tindak pidana umum termasuk tindak pidana pembunuhan. Oleh karena itu, pejabat negara yang memiliki kewenangan untuk membentuk Tim Pencari Fakta Independen (TPFI) adalah Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Kepala Kepolisian Daerah yang wilayah hukumnya mencakup tempat terjadinya tindak pidana pembunuhan itu, bilamana tim ini dirasa perlu dibentuk. Bahkan Tim Pencari Fakta Independent dapat dibentuk oleh Presiden Republik Indonesia selaku Kepala Eksekutif. Alasan sosiologis yang umumnya mendasari pembentukan Tim Pencari Fakta Independent karena penyelidik atau penyidik menemui kesulitan dalam mengungkap suatu peristiwa sebagai tindak pidana atau bukan atau peristiwa itu sudah diketahui sebagai peristiwa pidana tetapi penyidik kesulitan untuk menemukan tersangkanya. Tugas utama dari Tim Pencari Fakta Independent adalah membantu penyelidik atau penyidik mengungkap suatu peristiwa sebagai tindak pidana atau bukan atau membantu penyidik menemukan tersangka dari tindak pidana tersebut.

Pembentukan Tim Pencari Fakta Independen, pernah dibentuk oleh Presiden Republik Indonesia (Dr. Susilo Bambang Yudhoyono) pada tahun 2004 dalam tindak pidana pembunuhan MUNIR seorang aktivis HAM, berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor: 111 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir. Susunan Tim Pencari Fakta Independen ini terdiri Ketua: Brigjen Polisi Drs. Marsudi, SH, Wakil Ketua Merangkap Anggota: Asmara Nababan, Anggota: Bambang Widjajanto, SH; Hendardi, Usman Hamid, SH, Munarman, SH, Smita Notosusanto, I Putu Kusa, SH, Kamala Djandrakirana, Nazarudin Bunas, Retno LP. Marsudi, Arief Havas Oegroseno, Rachland Nashidik dan dr. Muin Idris. Demikian pula dalam kasus lain seperti dalam kasus dugaan korupsi Chandra M. Hamzah dan Bibit Rianto, pada tanggal 02 November 2009 Presiden Republik Indonesia membentuk Tim Independent Verifikasi Data dan Proses Hukum atau disebut Tim 8 dengan menerbitkan Keputusan Presiden Nomor: 31 Tahun 2009 Tentang Pembentukan Tim Independent Verifikasi Fakta dan Proses Hukum atas Kasus Chandra M. Hamzah dan Bibit Rianto. Susunan dari Tim Pencari Fakta ini terdiri dari Ketua: Adnan Buyung Nasution, Wakil Ketua: Koesparmono Irsan, Sekretaris: Denny Indrayana, Anggota: Todung Mulya Lubis, Amir Syamsudin, Hikmahanto Juwana, Anis Baswedan dan Komarudin Hidayat.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan dan praktek ketatanegaraan sebagaimana tersebut, maka Tim Pencari Fakta Independent dalam kasus pembunuhan ibu dan anak di Kota Kupang selayaknya juga memiliki dasar hukum pembentukan dari pejabat negara yang berwenang atau jika Tim Pencari Fakta Independent ini merupakan bagian dari civil soecity, maka setidak-tidaknya memiliki Anggaran Dasar dan/atau Anggaran Rumah Tangga yang telah memperoleh pengesahan dari pemerintah atau minimal pendirian atau pembentukannya didasarkan atas Akta Notaris. Dasar hukum pembentukan ini sangat penting agar ketika menyatakan diri sebagai Tim Pencari Fakta Independent, eksistensinya sah menurut hukum (legal) dan memiliki legal standing atau kedudukan hukum untuk melakukan tindakan hukum. Sebaliknya apabila Tim yang menyatakan diri sebagai Tim Pencari Fakta Independent ini tidak memiliki dasar hukum pembentukan maka secara hukum tidak dapat disebut sebagai Tim Pencari Fakta Independent (TPFI), kecuali hanya bersifat membantu penyidik untuk menemukan alat bukti atau barang bukti guna membuat terang tindak pidana itu. Bantuan kepada penyidik untuk membuat terang suatu tindak pidana merupakan kewajiban dari setiap orang yang telah mengetahui adanya suatu peristiwa pidana.

Data Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan

Data untuk menentukan seseorang sebagai pelaku (tersangka, terdakwa, terpidana) tindak pidana pembunuhan, terdapat 2 (dua) jenis yaitu ketentuan hukum (rule) dan fakta yang berkaitan dengan ketentuan hukum itu. Ketentuan hukum yang dapat diterapkan kepada seorang pelaku tindak pidana pembunuhan adalah Bab XIX Tentang Kejahatan Terhadap Nyawa Orang, Pasal 338 sampai dengan Pasal 350 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai hukum materil dan Undang-Undang Nomor: 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai hukum formil. Khusus tindak pidana pembunuhan terhadap korban Astrit dan Lael, terdapat 2 (dua) ketentuan hukum materil yang dapat disangkakan dan/atau didakwakan secara alternatif atau subsidieritas kepada pelaku yaitu Pasal 338 KUHP atau Pasal 340 KUHP. Pasal 338 KUHP menetapkan: “Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang, karena pembunuhan biasa, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun”. Unsur esensial dari Pasal 338 KUHP adalah “dengan sengaja menghilangkan nyawa orang”. Menurut Pasal 11 Crimineel Wetboek Nederland tahun 1809, sengaja (opzet) adalah maksud untuk membuat sesuatu atau tidak membuat sesuatu yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang. Jadi untuk terbuktinya unsur ini harus dibuktikan 2 (dua) hal yaitu pertama; adanya kematian korban dan kematian itu diakibatkan oleh perbuatan pelaku karena sengaja dan kedua; perbuatan pelaku menghilangkan nyawa korban harus dengan segera setelah timbul niat atau maksud dan tidak dipikir-pikir lebih lama.

Sebaliknya Pasal 340 KUHP menetapkan “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan nyawa orang, karena bersalah melakukan pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun”. Unsur ensensial dari ketentuan Pasal 340 KUHP yang berbeda dengan Pasal 338 KUHP adalah “pembunuhan itu direncanakan terlebih dahulu” artinya pelaksanaan pembunuhan ditangguhkan oleh pelaku setelah timbul niat untuk mengatur rencana tentang cara melakukan pembunuhan. Jarak antara waktu timbulnya niat dengan pelaksanaan pembunuhan masih ada, sehingga si pelaku masih dapat berpikir, apakah pembunuhan itu diteruskan atau dibatalkan atau waktu luang itu digunakan oleh pelaku untuk melakukan persiapan pelaksanaan pembunuhan.

Seseorang hanya dapat disangka atau didakwakan atau bahkan dijatuhi pemidanaan karena dianggap atau dinyatakan melakukan perbuatan yang memenuhi unsur Pasal 338 atau Pasal 340 KUHP, tidak bisa hanya didasarkan atas opini atau pendapat orang tertentu atau suara terbanyak masyarakat, melainkan haruslah didasarkan atas fakta-fakta hukum yang diperoleh pada saat penyidikan dan/atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Fakta-fakta hukum itu hanya diperoleh dari minimal 2 (dua) alat bukti sah dan menjadi dasar keyakinan hakim. Alat bukti yang sah diatur dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor: 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa, ditambah barang bukti. Keterangan saksi dalam hukum pidana merupakan alat bukti yang utama, sehingga untuk menilai kebenaran alat bukti oleh penyidik dalam menetapkan tersangka atau penuntut umum dalam mengajukan tuntutan pidana atau penasehat hukum dalam mengajukan pembelaan dan terutama hakim dalam menjatuhkan putusan haruslah didasarkan atas persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain, persesuaian keterangan saksi dengan alat bukti lain seperti keterangan ahli, surat dan/atau keterangan terdakwa atau barang bukti yang telah disita secara sah. Selain itu kebenaran keterangan seorang saksi juga dapat dinilai dari alasan yang digunakan saksi untuk memberikan keterangan dan cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

Kaitan dengan dugaan tindak pidana pembunuhan terhadap Astrit dan Lael, menurut berita online https://victorynews.id, dan https://www.katantt.com, tanggal 23 Desember 2021 Penyidik telah memeriksa 25 orang saksi, menyita 35 jenis barang bukti dan dipastikan ada juga keterangan ahli terutama dokter yang melakukan otopsi terhadap korban, surat-surat berupa hasil otopsi dan berita acara pemeriksaan saksi dan ahli. Berdasarkan alat bukti dan barang bukti yang dikumpulkan penyidik, telah diperoleh fakta yang saling bersesuaian dan menetapkan RB sebagai tersangka pembunuhan terhadap korban Astrit dengan cara mencekik leher korban selama kurang lebih 5 menit, sedangkan korban Lael meninggal karena dicekik lehernya oleh Astrit, Ibu kandungnya. Hasil penyidikan dari penyidik POLDA NTT berbanding terbalik dengan pernyataan Tim yang menyebutkan diri sebagai Tim Pencari Fakta Independent pada berita online https://www.enbeindonesia.com, tanggal 17 Desember 2021, yang secara tegas menyatakan “……pelaku pembunuhan Astri dan Lael bukanlah Randy Badjideh. Ada pelaku lain yang melakukan pembunuhan Astri dan Lael…..”.

Pernyataan dari Tim yang menamakan diri Tim Pencari Fakta Independent (TPFI) ini seharusnya dapat dibuktikan secara hukum agar tidak menjadi pernyataan yang menyesatkan atau berita bohong yang dapat menimbulkan kegaduhan dalam masyarakat. Data yang dapat digunakan oleh Tim yang menamakan diri Tim Pencari Fakta Independent (TPFI) untuk membuktikan pernyataannya, secara yuridis tidak terlepas dari alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat atau barang bukti yang ditemukan. Alat bukti tersebut haruslah merupakan bukti baru yang belum ditemukan oleh Penyidik POLDA NTT dan selayaknya segera diserahkan kepada penyidik untuk membuat terang tindak pidana ini, tentang siapakah sebenarnya pelaku tindak pidana pembunuhan sadis terhadap kedua korban. Apakah RB sesuai hasil penyidikan dari Penyidik POLDA NTT atau pihak lain menurut pernyataan Tim Pencari Fakta Independent ini. Bahkan bila diperlukan, seharusnya Penyidik POLDA NTT memanggil Tim Pencari Fakta Independent ini untuk meminta segera menyerahkan alat bukti dan barang bukti yang dimiliki guna membuktikan pernyataan di media online bahwa pelaku tindak pidana pembunuhan sadis ini bukan RB tetapi pihak lain.

Sebaliknya apabila ternyata alat bukti dan barang bukti yang dimiliki oleh Tim yang menamakan diri Tim Pencari Fakta Independent sama dengan alat bukti dan barang bukti yang telah dikumpulkan oleh Penyidik POLDA NTT maka pernyataan Tim Pencari Fakta Independent pada media online hanyalah merupakan interpretasi atau penafsiran terhadap alat bukti dan barang bukti yang berkaitan dengan tindak pidana pembunuhan ini, yang berbeda dengan interpretasi atau penafsiran dari Penyidik POLDA NTT. Perbedaan interpretasi atau penafsiran terhadap suatu peristiwa hukum sebenarnya merupakan hal yang biasa dalam ilmu hukum, namun interpretasi atau penafsiran yang dianggap tepat dan benar adalah interpretasi atau penafsiran dari hakim melalui putusan yang dijatuhkan. Interpretasi atau penafsiran dari hakim dianggap benar berdasarkan asas “res judicata pro reo veritate hebetur” artinya putusan hakim dianggap benar, kecuali dibatalkan oleh putusan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, penyelesaian tindak pidana pembunuhan ini sebaiknya dipercayakan kepada penyidik, penuntut umum dan pengadilan, sedangkan kewajiban masyarakat adalah jika menemukan alat bukti atau barang bukti yang berkaitan dengan tindak pidana ini maka segera menyerahkannya kepada penyidik. Semoga bermanfaat! **Penulis adalah Dosen FH-UKAW

Center Align Buttons in Bootstrap