
ROMA,SELATANINDONESIA.COM – Gedung Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Tahta Suci di Roma sore itu, Rabu (18/6/2025) berubah menjadi ruang nostalgia. Bukan sekadar seremoni protokoler, tapi tempat melepas rindu antara pemimpin daerah dan warganya yang jauh dari kampung halaman. Di tengah suasana Eropa yang padat diplomasi, Gubernur Nusa Tenggara Timur, Emanuel Melkiades Laka Lena, datang membawa cerita dari tanah Flobamorata.
Disambut hangat oleh Duta Besar RI untuk Tahta Suci, Michael Trias Kuncahyono, yang menyapa sang gubernur sebagai “sahabat lama”, pertemuan ini bukan sekadar pertemuan antar pejabat. Ini adalah forum jiwa antara yang bertugas di tanah sendiri dan mereka yang mengabdi di tanah orang.
Dalam dialog terbuka dengan diaspora NTT, Gubernur Melki membagikan narasi pembangunan di provinsi kepulauan itu. Tentang optimisme baru dalam pendidikan, tantangan ketimpangan infrastruktur, dan upaya memperluas ruang bagi pemuda dan perempuan dalam kebijakan publik. Tapi lebih dari itu, ia mengajak mereka menjadi jembatan harapan.
“Hal baik yang kalian lihat di luar negeri, tolong bagikan. Jangan lupa kampung halaman. Jadilah pelita dari jauh,” ucap Gubernur Melki, suaranya lirih tapi menyala.
Sesi diskusi melahirkan banyak suara. Seorang mahasiswa bertanya soal kesenjangan digital di Pulau Sumba. Seorang suster menceritakan keterbatasan obat di kampungnya di Lembata. Ada juga harapan agar generasi muda diaspora diberi ruang untuk kembali dan berkontribusi nyata di NTT.
Tak ada meja bundar atau podium megah, hanya dialog dari hati ke hati. Tak ada sekat antara pemimpin dan warganya. Bahkan ketika malam mulai turun, mereka masih berbagi cerita dalam alunan lagu “Bolelebo” versi Sasando yang dimainkan lembut oleh sang maestro Jitron Pah.
Makan malam pun disulap jadi perjamuan budaya. Di meja panjang, tersaji bukan hanya kuliner, tapi kenangan. Tawa-tawa kecil bercampur haru. Gubernur Melki berdiri lebih lama dari protokol yang dijadwalkan. Ia mendengar satu per satu. Mencatat. Menjanjikan tindak lanjut.
Di ujung acara, ada yang menitikkan air mata. Bukan karena sedih, tapi karena merasa diingat. Di tanah jauh, ketika kampung seakan tinggal dalam ingatan, seorang gubernur hadir dan berkata: “Kami tak lupa.”
Kunjungan ini mungkin hanya hitungan jam. Tapi bagi diaspora NTT di Roma, itu lebih dari cukup untuk merasakan sepotong kampung halaman.*/Gusty/Laurens Leba Tukan