
Kapolres Sumba Barat Daya, AKBP Harianto Rantesalu, memproses etik anak buahnya yang diduga melecehkan korban pemerkosaan. Tekanan publik meluas, dan suara dari Senayan ikut bersuara lantang.
TAMBOLAKA,SELATANINDONESIA.COM – Sabtu malam, (7/6/2025), ruangan pertemuan Markas Polres Sumba Barat Daya (SBD) di Tambolaka terasa sesak. Wartawan dari berbagai media hadir, sebagian berdiri menyimak penjelasan pucuk pimpinan kepolisian daerah itu, AKBP Harianto Rantesalu, M.Si., S.I.K.
Diapit Wakapolres Kompol Jeffris L.D. Fanggidae, SH, Kasi Humas Iptu Bernardus B. Kadi, SH, dan Kasi Propam Ipda K. Andi, SH, Kapolres menyampaikan konfirmasi resmi atas kasus yang telah membuat gelombang kecaman di Masyarakat. Dugaan pelecehan seksual terhadap korban pemerkosaan oleh oknum anggota Polsek Wewewa Selatan, berinisial Ipda PS.
“Setelah dilakukan investigasi internal oleh kami bersama Wakapolres dan Kasi Propam, pemeriksaan terhadap yang bersangkutan sudah selesai dan hasilnya telah kami tingkatkan ke tahap penyidikan etik. Kami sudah tahan untuk 30 hari ke depan,” ujar Harianto, dengan nada tegas namun wajah yang menyiratkan keprihatinan.
Luka di Atas Luka
Peristiwa memilukan itu bermula pada 1 Maret 2025. MML, seorang perempuan muda, datang ke Polsek Wewewa Selatan untuk melaporkan tindak pemerkosaan yang dialaminya. Namun, karena Polsek tidak menangani kasus Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), ia diarahkan ke Polres SBD.
Keesokan harinya, 2 Maret, Ipda PS menjemput korban di rumahnya dengan dalih pemeriksaan tambahan. Bukannya dibawa ke Polres, MML justru dibawa kembali ke Polsek. Di sana, menurut pengakuan PS sendiri, terjadi tindakan pelecehan seksual terhadap korban. “Sudah diakui oleh yang bersangkutan,” kata Kapolres.
Pihak kepolisian bergerak cepat. Tim dari Propam langsung turun tangan. Setelah bukti awal dan pengakuan cukup, Polres SBD langsung memproses etik. Namun publik bertanya, mengapa hanya kode etik? Bagaimana dengan proses pidana?
Sorotan dari Senayan
Desakan agar kasus ini tidak berhenti di ranah etik datang bukan hanya dari masyarakat dan aktivis lokal. Suara keras datang dari Anggota Komisi XIII DPR RI Fraksi Partai Golkar Dapil NTT 2, Dr. Umbu Rudi Kabunang.
“Ini tragedi ganda, korban pemerkosaan yang mencari keadilan malah diperlakukan tak manusiawi oleh aparat sendiri. Kepolisian tidak boleh hanya berlindung di balik kode etik. Saya mendesak agar proses pidana dilakukan secara transparan dan tuntas,” ujar Umbu Rudi kepada SelatanIndonesia.com, Sabtu (7/6/2025).
Politikus asal Sumba ini menilai, kasus ini menunjukkan perlunya evaluasi serius terhadap sistem pengawasan internal di tubuh Polri. Ia juga meminta Komnas Perempuan dan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) turun tangan memberi perlindungan terhadap korban.
“Kalau penyintas sudah tidak merasa aman di kantor polisi, ke mana lagi rakyat harus pergi mencari keadilan?” katanya.
Publik terlanjur skeptis. Umbu Rudi menyebut, trauma berlapis yang dialami MML harus menjadi momentum perbaikan sistemik. “Proses hukum harus memulihkan martabat korban, bukan sekadar membersihkan citra institusi,” ujarnya. */laurens leba tukan