
Kompensasi JKN di NTT yang terabaikan di tengah capaian Universal Health Coverage
KUPANG,SELATANINDONESIA.COM – Angka boleh bicara, Nusa Tenggara Timur telah mencapai cakupan kesehatan semesta alias Universal Health Coverage (UHC). Namun di balik statistik yang tampak menggembirakan itu, ribuan peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) masih harus merogoh kocek sendiri untuk menebus obat, mencari fasilitas kesehatan yang jauh dari jangkauan, atau menerima pelayanan setengah hati. Ombudsman NTT mencium bau maladministrasi dan tengah membedah akar persoalan, mengapa kewajiban kompensasi pelayanan JKN tak kunjung ditunaikan?
Di sebuah puskesmas kecil di pelosok Kabupaten Timor Tengah Selatan, Maria Sole (56) berdiri kebingungan di depan apotek layanan. Ia baru saja mengantarkan cucunya yang menderita demam tinggi, namun obat yang diresepkan dokter tak tersedia. “Kalau tidak ada, kami disuruh cari di luar, bayar sendiri,” katanya lirih.
Padahal, Maria dan keluarganya sudah terdaftar sebagai peserta aktif JKN sejak dua tahun lalu. Pengalaman serupa dialami banyak warga lainnya di NTT, yang ironisnya tinggal di provinsi yang sudah mengantongi predikat Universal Health Coverage. Nyatanya, di balik klaim negara yang megah, pelayanan kesehatan masih seret, dan kompensasi yang diwajibkan undang-undang, tak kunjung hadir.
Seiring dengan makin tingginya jumlah peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Nusa Tenggara Timur (NTT), sebuah isu krusial muncul, apakah akses terhadap kompensasi pelayanan JKN benar-benar tersedia bagi masyarakat? Ombudsman NTT kini tengah melakukan kajian cepat terkait hal ini. Temuan awal menunjukkan adanya jurang besar antara janji layanan kesehatan yang dijanjikan negara dengan kenyataan yang diterima masyarakat.
Akses Kesehatan yang Semakin Jauh
Pada 2025, Provinsi NTT berhasil mencapai cakupan kesehatan semesta (Universal Health Coverage atau UHC). Namun, meskipun angka kepesertaan JKN semakin tinggi, realitas di lapangan ternyata lebih kompleks. Banyak peserta JKN, terutama di wilayah-wilayah terpencil, mengeluhkan kesulitan dalam mendapatkan layanan kesehatan yang sesuai standar. Fasilitas kesehatan di daerah tersebut sering kali tidak tersedia atau tidak memadai, dan meskipun ada kewajiban kompensasi dari pemerintah, pelaksanaannya sering kali tertunda atau sulit dijangkau.
“Kami sudah menjadi peserta JKN, tetapi banyak masalah yang belum selesai. Obat kadang kosong, dan jika ada, kami diminta membeli di luar rumah sakit dengan biaya sendiri,” ungkap salah satu warga NTT yang mengalami kendala pelayanan kesehatan.
Kompensasi yang Tertunda
Kompensasi pelayanan JKN yang diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) seharusnya memberi solusi terhadap kekurangan fasilitas. Kompensasi ini bisa berupa kerja sama penyediaan layanan dengan pihak ketiga, pengiriman tenaga medis, atau bahkan penggantian biaya melalui uang tunai. Namun, sejauh ini, banyak peserta yang merasa kewajiban tersebut belum terealisasi dengan baik. Menurut Kepala Keasistenan Pencegahan Maladministrasi Ombudsman NTT, Ola Mangu Kanisius, laporan masyarakat yang diterima oleh kantor Ombudsman dalam lima tahun terakhir menunjukkan ketidakpuasan yang tinggi terhadap implementasi janji layanan JKN. Kekosongan obat di fasilitas kesehatan, keterlambatan pengiriman tenaga medis, dan akses yang sulit terhadap kompensasi menjadi keluhan utama.
Menyelami Akar Masalah
Penelaahan Ombudsman NTT mengungkapkan bahwa masalah ini bersumber dari berbagai faktor. Selain keterbatasan fasilitas dan tenaga medis, masalah administratif yang menghambat pencairan kompensasi juga menjadi titik persoalan. Dalam kajian yang dilakukan sejak Februari 2025, Ombudsman telah mengumpulkan data di beberapa kabupaten/kota di NTT dan melakukan diskusi dengan para pemangku kepentingan terkait. Hasilnya menunjukkan bahwa meskipun sistem sudah ada, pengelolaan dan pelaksanaannya masih jauh dari harapan.
“Capaian UHC seyogianya sebanding dengan akses peserta JKN terhadap pelayanan kesehatan berkualitas. Kompensasi harus bisa menjembatani ketimpangan layanan di daerah-daerah yang kekurangan fasilitas,” tegas Ola.
Kajian Ombudsman dan Harapan untuk Perubahan
Dalam beberapa bulan ke depan, Ombudsman NTT berencana merumuskan saran perbaikan untuk memastikan agar kompensasi JKN dapat dilaksanakan dengan baik. Saran ini akan fokus pada penyempurnaan tata kelola layanan kesehatan serta peningkatan kualitas pelayanan di fasilitas kesehatan yang menjadi ujung tombak pelaksanaan program JKN.
Hasil kajian ini, diharapkan, dapat menjadi pintu gerbang bagi perubahan dalam sistem pelayanan kesehatan di NTT, menjawab keluhan masyarakat, dan mengembalikan kepercayaan peserta JKN yang kini merasakan adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan.*/)laurens leba tukan