
Di tengah kemiskinan, perdagangan manusia, dan kekerasan terhadap perempuan dan anak, seorang wakil rakyat dari NTT menggugah nurani dari kampung terpencil di Sumba.
WAIKABUBAK,SELATANINDONESIA.COM – Pagi belum sepenuhnya naik ketika serombongan warga berkumpul di Gedung Gereja Kristen Sumba (GKS) Puli, Desa Waihura, Kecamatan Wanokaka, Sumba Barat, Kamis (29/5/2025). Udara masih menguarkan aroma rumput basah dan kayu bakar, tetapi ruangan sederhana itu sudah penuh sesak. Di tengah ruangan, seorang pria berkulit terang dengan, stelan jaz tenun Sumba Barat berbicara lantang. Matanya menyorot tajam ke para hadirin, mayoritas ibu-ibu dan anak muda yang duduk di bangku Gereja.
“Kalau dulu potong padi dan daging pertama untuk Tuhan,” katanya, merujuk pada adat Merapu yang mengajarkan keseimbangan dan hormat terhadap alam. “Sekarang saat panen padi, semua dijual, akhirnya muncul kemiskinan.”
Pria itu bukan sembarang orang. Ia Dr. Umbu Rudi Kabunang, anggota DPR RI Komisi XIII dari daerah pemilihan Nusa Tenggara Timur 2, datang langsung ke kampung-kampung terpencil seperti Waihura, Kecamatan Wanokaka untuk mendengar keluh kesah warganya. Tapi hari itu, dia tak hanya datang untuk mendengar. Dia datang untuk mengingatkan bahwa tanah Sumba, yang kaya akan budaya dan alam, sedang dikepung berbagai luka sosial yang mendalam dari kemiskinan akut, perdagangan manusia, hingga kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Luka di Balik Tenun
Angka tak pernah berbohong. Nusa Tenggara Timur masih menjadi provinsi dengan angka kemiskinan tertinggi di Indonesia. Dari kampung ke kampung, kisahnya sama yaitu ladang kering, hasil tani tak mencukupi, dan anak-anak muda yang memilih pergi ke Malaysia, Timur Tengah, atau bahkan meninggalkan sekolah demi mengejar pekerjaan meski tanpa izin kerja resmi.
“Warga kita dibawa ke luar negeri pakai paspor wisata, tapi sampai di sana langsung bekerja. Lalu paspor ditarik. Mereka jadi ilegal,” ujar sang legislator. Di matanya terpantul kekhawatiran. Ia tahu betul, jalur ilegal itu bukan sekadar soal administratif. Itu pintu masuk bagi perbudakan modern.
Di balik cerita keberangkatan yang “sah”, tersembunyi fakta memilukan, banyak warga NTT yang kini bekerja di hutan-hutan Malaysia tanpa dokumen. Anak-anak mereka lahir tanpa status hukum. Bahkan, beberapa keluarga kehilangan anggota keluarganya karena dijual ginjalnya oleh sindikat perdagangan organ.
“Banyak keluarga kita yang jadi korban. Karena itu, saya sampaikan ke semua bupati di Sumba agar mendata PJTKI dengan jelas. Setiap keberangkatan harus dilaporkan dan jalurnya resmi lewat KBRI,” tegasnya.
Menenun Jalan Pulang
Di tengah gelombang eksodus dan krisis nilai, sang legislator membawa pesan sederhana: kembali ke akar. “Saya ingin anak-anak muda kembali mencintai pertanian dan tenun ikat,” ujarnya sambil menunjukkan kain tenun kuning yang ia kenakan, tenun khas Sumba yang ia pakai dengan bangga di Senayan.
Bagi dia, tenun bukan sekadar kain. Ia simbol perlawanan budaya, cara bertahan, dan bentuk kedaulatan ekonomi lokal. Di tengah penetrasi budaya luar dan industri besar, tenun adalah napas panjang warisan leluhur yang harus dirawat dan dikembangkan.
Sunyi yang Menjerit: Kekerasan Seksual dan Adat Patriarki
Tapi masalah NTT tak berhenti di perdagangan orang dan kemiskinan. Di banyak kampung, kekerasan terhadap perempuan dan anak masih menjadi luka sunyi yang belum sembuh. Dan Umbu Rudi Kabunang tak segan mengangkat isu ini ke forum nasional.
“Contoh paling mengerikan, Kapolres Ngada memperkosa anak usia lima dan dua belas tahun. Saya usulkan hukum mati atau kebiri,” ujarnya dengan suara bergetar.
Baginya, budaya patriarki dan adat yang menomorduakan pendidikan anak perempuan juga menjadi biang. Masalah ekonomi kerap dijadikan alasan menikahkan anak-anak. “Kadang adat justru jadi alasan untuk tidak menyekolahkan anak,” ucapnya. Ia tahu, perubahan tak bisa instan. Tapi negara tak boleh diam.
Kini ia tengah menjalin kerja sama dengan seluruh pemerintah daerah, dari kabupaten sampai desa, termasuk Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak, agar semua lini bergerak. Ia meminta agar warga peduli: jika ada korban di tetangga atau keluarga, segera lapor. “Kalau tidak bisa, laporkan ke saya langsung,” katanya.
“Bapa-Bapa, Jangan Pukul Istri dan Anak”
Di penghujung pertemuan di GKS Puli, suara sang legislator kembali menggelegar, menyapa para lelaki yang diam di pojok ruangan. “Bapak-bapak, saya tahu kita punya beban. Tapi bukan alasan untuk pukul istri dan anak. Jangan salahkan mereka karena ekonomi kita sulit. Kita harus saling dukung.”
Ia mengutip data, 90 persen penghuni Lembaga Pemasyarakatan di Sumba adalah pelaku kekerasan dan penganiayaan hingga pembunuhan. Sebagian besar akibat tekanan ekonomi, sebagian karena budaya kekerasan yang turun-temurun. Baginya, pendidikan adalah jalan perlahan yang bisa mengubah semua.
Sebuah Gerakan Sunyi
Ketika matahari merangkak turun dan warga mulai bubar, Umbu Rudi Kabunang masih berdiri di depan gereja. Ia berbincang dengan seorang ibu muda yang menangis karena anak perempuannya ditipu agen tenaga kerja dan belum bisa dihubungi sejak tiba di Malaysia.
Ia mencatat nama dan nomor telepon. “Saya urus,” janjinya.
Perjalanan masih panjang. Tapi di tengah sunyi hutan Sumba, di balik serat-serat tenun yang menggurat harapan, suara perubahan mulai disulam perlahan. Dari GKS Puli, dari seorang legislator Senayan yang tak mau diam.*/laurens leba tukan