Diplomasi Hijau Melki Laka Lena: Negeri Serumpun di Tepian Sungai

64
Gubernur NTT Emanuel Melkiades Laka Lena bersama utusan dari Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) da;lam forum Lokakarya Awal Proyek Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Lintas Negara Indonesia–Timor Leste (Management of Indonesian Timor Leste Transboundary Watershed/MITLTW Project) di Kupang, Kamis (22/5/2025). Foto: Edy Naga

Gubernur NTT Melki Laka Lena menggerakkan kerja sama lintas negara dalam pengelolaan DAS bersama Timor Leste. Sebuah ikhtiar ekologis yang merawat akar kekerabatan di tanah yang pernah terbelah.

KUPANG,SELATANINDONESIA.COM – Pagi masih muda ketika Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Melki Laka Lena, melangkah ke podium utama di aula Hotel Sotis Kupang, Kamis (22/5/2025). Di hadapannya, ratusan peserta lokakarya dari dua negara duduk menyimak. Para perencana wilayah, ahli hidrologi, pejabat lintas kementerian, serta wakil lembaga mitra pembangunan. Semuanya hadir untuk satu tujuan, membuka lembaran baru kerja sama Indonesia dan Timor Leste dalam menjaga Daerah Aliran Sungai (DAS) bersama.

Lokakarya bertajuk Management of Indonesian Timor Leste Transboundary Watershed (MITLTW) ini bukan sekadar seremonial birokrasi. Di tangan Gubernur Melki, proyek ini menjelma menjadi panggung diplomasi hijau. Ia menyebutnya sebagai momentum membangun “gerakan lintas batas untuk masa depan yang damai dan lestari.”

“Negeri kita serumpun, terhubung oleh sungai dan sejarah. Maka tidak cukup kita membagi peta, tanpa membagi tanggung jawab menjaga alam,” ujar Gubernur Melki dalam nada yang tenang namun bernas.

DAS Talau–Loes dan Moa–Malib membentang melintasi wilayah Indonesia dan Timor Leste, mengaliri lembah-lembah di Atambua hingga Oecusse. Namun sungai ini bukan sekadar jalur air, ia adalah urat nadi kehidupan masyarakat adat seperti Bunak, Tetun, Kemak, dan Dawan. Mereka berbagi tanah ulayat, upacara adat, hingga silsilah keluarga yang tak peduli pada sekat negara.

Dalam sejarah panjangnya, tapal batas negara hanya muncul sebagai konsekuensi politik. Tapi sungai tetap mengalir tanpa paspor. Maka proyek MITLTW hadir untuk menjembatani logika negara dengan logika alam dan budaya.

“Banyak yang berbicara tentang kerja sama bilateral, tapi lupa bahwa masyarakat adat telah lebih dulu hidup bersama,” kata seorang tokoh adat dari Malaka, yang hadir dalam forum.

Proyek ini merancang pendekatan kolaboratif berbasis masyarakat. Alih-alih memaksakan teknologi dari pusat, MITLTW akan melibatkan warga perbatasan sebagai penjaga pertama kawasan hulu dan hilir. Mereka akan menjadi bagian dari pemetaan partisipatif, pembentukan forum lintas batas, serta penyusunan kebijakan pengelolaan air berbasis lokal.

Bagi Gubernur Melki, proyek ini juga sarat makna geopolitik. “Ini bukan hanya soal air. Ini tentang keadilan ekologis, kedaulatan pangan, dan harga diri sebagai bangsa yang saling percaya,” ujarnya seusai acara.

Sebagai pemimpin daerah, ia membawa semangat baru dalam membangun hubungan dengan Timor Leste. Tidak dengan diplomasi meja panjang, tetapi lewat sungai, ladang, dan kampung adat.

Dalam kacamata Gubernur Melki, DAS adalah ruang hidup yang perlu dilindungi bersama. Ia berbicara tentang perubahan iklim, erosi tanah, dan kekeringan ekstrem sebagai ancaman lintas negara yang tidak bisa dihadapi sendirian. “Sungai mengalir ke dua arah. Maka solusi pun harus dua arah,” tegasnya.

Langkah awal telah dimulai. MITLTW menargetkan serangkaian riset ekologi, pembentukan jejaring komunitas, dan penguatan sistem hukum adat sebagai bagian dari strategi konservasi lintas batas. Dukungan dari lembaga pembangunan internasional telah digalang, namun tantangan tetap menghadang yaitu ego sektoral, keterbatasan infrastruktur, hingga ketimpangan pembangunan di wilayah perbatasan.

Tapi pagi itu, di Kupang, harapan dibangun dengan fondasi baru. Sebuah diplomasi hijau yang menyulam batas negara lewat air, budaya, dan persaudaraan.

Dan di tengah semua itu, Gubernur Melki Laka Lena berdiri sebagai simbol perubahan. Seorang gubernur yang mengembalikan diplomasi ke akar paling sederhana, menjadikan sungai sebagai tempat bertemu, bukan berpisah.

“Dari sungai kita datang, ke sungai pula kita pulang. Mari kita jaga dia, bersama-sama,” pungkasnya.*/laurens leba tukan/igo

Center Align Buttons in Bootstrap