Menjinakkan Api di Perut Flores

216
Gubernur NTT Emanuel Melkiades Laka Lena ketika memimpin pertemuan terbatas membahas dinamika pembangunan geotermal di pulau Flores. Pertemuan tersebut dilakukan di Gedung Sasando, Kantor Gubernur NTT, Senin (28/4/2025). Foto: Meldo

Pemerintah Provinsi NTT menyusun peta jalan pengembangan panas bumi berbasis keterbukaan, adat, dan kelestarian. Namun, jalan menuju energi bersih belum sepenuhnya bebas dari gejolak sosial.

KUPANG,SELATANINDONESIA.COM – Ruang rapat lantai dua Gedung Sasando, Kantor Gubernur NTT siang itu lebih dari sekadar hangat. Di bawah langit Kupang yang membakar, diskusi soal energi yang tersimpan di perut bumi Flores memanas enam jam tanpa jeda.

Di seberang meja, Gubernur Emanuel Melkiades Laka Lena, para bupati dari Flores, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, pengembang, dan kelompok masyarakat adat duduk bersama. Agenda mereka jelas yaitu bagaimana memanfaatkan kekayaan uap di perut bumi Flores tanpa menyingkirkan akar, hutan, dan suara rakyat.

“Posisi kami tegas. Kalau proyeknya bagus, lanjut. Kalau kurang bagus, kita perbaiki sesuai aspirasi. Kalau jelek dan merusak, ya kita tutup,” ujar Melki, sapaan sang gubernur, seusai rapat tertutup pada Senin (28/4/2025) itu.

Pemerintah Provinsi NTT sedang menyusun narasi besar pengembangan energi panas bumi yang lebih berkeadilan. Di tengah sorotan tajam kelompok advokasi lingkungan dan keraguan dari sebagian masyarakat adat, mereka menjanjikan tiga pilar yaitu transparansi, partisipasi lokal, dan pelestarian berbasis kearifan. Panas bumi, menurut Gubernur Melki, bukanlah ancaman. Ia adalah warisan alam yang harus dijaga sambil dimanfaatkan secara bijak.

Flores memang menyimpan api di perutnya. Dengan potensi lebih dari 1.000 MW dari belasan wilayah kerja panas bumi (WKP), pulau ini disebut-sebut sebagai episentrum energi hijau Indonesia Timur. Proyek-proyek seperti Ulumbu dan Nage mulai menunjukkan geliat positif. Namun tidak semua berjalan mulus. Di Sokoria dan Mataloko, penolakan masih menggelora. Di Waesano dan Pocoleok, konflik adat dan isu perusakan lingkungan menebar bara.

“Masalahnya bukan pada panas buminya, tapi pada caranya,” kata seorang tokoh adat dari Manggarai yang hadir dalam pertemuan. “Kami butuh bukti bahwa kami dilibatkan sejak awal, bukan hanya diundang setelah izin keluar.”

Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) NTT dan JPIC SVD – Komunitas Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan dari Serikat Sabda Allah (SVD) – mengkritik proses sosialisasi yang dinilai sepihak serta potensi degradasi lingkungan. Mereka meminta studi dampak yang lebih menyeluruh dan kebijakan yang berpihak pada warga sekitar.

Gres Gracelia, Divisi Advokasi WALHI NTT, turut hadir dalam pertemuan tersebut. Ia menyampaikan kekhawatiran bahwa proyek geothermal selama ini cenderung menyingkirkan ruang partisipasi masyarakat dan mengabaikan keutuhan ekologis serta budaya lokal. “Prosesnya sejak awal sudah cacat. Kebijakan ditetapkan tanpa melibatkan rakyat Flores sebagai pemilik tanah dan ruang hidup,” ujarnya.

Menurut Gres, WALHI menemukan sejumlah pola pelanggaran di lapangan: dari manipulasi data penolakan warga, konflik horizontal di tengah masyarakat, hingga intervensi aparat yang membenturkan warga dengan negara. Ia menyebut bahwa beberapa proyek justru menyudutkan masyarakat lewat penggiringan opini di media. “Ini bukan sekadar soal teknis, ini soal keadilan ekologis,” sebut Gres.

Ia mempertanyakan dasar penetapan Flores sebagai pulau panas bumi berdasarkan Kepmen ESDM Nomor 2268/K/30/MEM/2017. “Berapa orang Flores yang terlibat dalam proses itu? Hampir tidak ada,” kata Gres.

WALHI juga menilai bahwa proyek geothermal berpotensi menggagalkan program unggulan Pemprov NTT soal hilirisasi non-tambang. “Kalau tanah rusak, air tercemar, dan hasil pertanian turun, bagaimana rakyat bisa hidup?” katanya, seraya merujuk pada penurunan produksi kopi, vanili, dan cengkeh di Mataloko, Sokoria, dan Ulumbu sejak proyek beroperasi.

Menanggapi hal ini, Dirjen EBTKE, Prof. Eniya Listiani Dewi, menyatakan bahwa pemerintah pusat sedang merevisi regulasi, termasuk Peraturan Pemerintah Nomor 7, untuk menyederhanakan perizinan tetapi tetap menekankan aspek sosial dan lingkungan. Ia bahkan mewacanakan pemanfaatan semburan panas bumi untuk destinasi wisata dan pengeringan hasil pertanian sebagai alternatif ekonomi lokal. “Geothermal tidak harus selalu menjadi pembangkit,” kata Prof. Eniya. “Bisa juga menjadi geopark, atau pemandian air panas yang dikelola koperasi desa.”

PLN dan pengembang seperti Geo Dipa dan SGI mencoba meredam resistensi dengan program tanggung jawab sosial: pelatihan masyarakat, perbaikan jalan desa, dan sertifikasi lahan. Tapi kepercayaan tak dibangun dalam sehari. Pemerintah daerah kini diminta memperkuat Peraturan Bupati soal penyaluran bonus produksi panas bumi agar benar-benar menyentuh warga.

Di balik layar, strategi besar sedang disusun. Pemerintah ingin menjadikan panas bumi sebagai tulang punggung energi lokal Flores, mengurangi ketergantungan pada BBM bersubsidi yang mencapai Rp1 triliun per tahun. Namun, mereka juga paham bahwa tak bisa lagi membangun dengan pendekatan lama: top-down dan serba teknokratis.

Sebuah usulan muncul dalam rapat: politeknik panas bumi di Flores. Selain itu, pendidikan muatan lokal soal geothermal di sekolah menengah. “Agar anak-anak tidak hanya tahu energi dari buku, tapi dari kampungnya sendiri,” kata seorang akademisi Universitas Nusa Cendana.

Untuk pertama kalinya, mungkin, panas bumi tak hanya dibicarakan dalam bahasa proyek, tapi juga dalam bahasa adat, warisan, dan masa depan.

“Ini bukan sekadar listrik,” ujar Gubernur Melki. “Ini tentang bagaimana kita menghidupkan bumi tanpa melukainya.”*/)laurens leba tukan

Center Align Buttons in Bootstrap