
Bupati Sumba Tengah, Paulus S. K. Limu menyematkan harapan besar pada pendidikan berbasis asrama. Di tengah keterbatasan, ia menanamkan mimpi tentang kebangkitan dari pinggiran.
WAIBAKUL,SELATANINDONESIA.COM – Langit belum sepenuhnya cerah ketika Paulus S. K. Limu tiba di SMA Negeri 1 Umbu Ratu Nggay Tengah, Rabu (23/4/2025). Di bawah atap sekolah yang baru selesai dibangun beberapa bulan lalu, Bupati Sumba Tengah itu membawa serta dokumen yang telah ditunggu-tunggu, Surat Keputusan Izin Operasional.
Tangannya tegap menyodorkan kertas itu kepada kepala sekolah. Senyumnya tipis, tapi matanya tak bisa menyembunyikan getar emosi. “Ini bukan cuma surat izin,” kata Paulus. “Ini adalah tanda bahwa kita sedang melawan nasib.”
Di Sumba Tengah, kabupaten muda berusia belum genap dua dekade itu, sekolah seperti ini tak muncul begitu saja. Wilayah Umbu Ratu Nggay Tengah, tempat sekolah ini berdiri, adalah daerah yang selama ini terpencil bahkan dari pusat kabupaten sendiri. Di sana, jalan rusak dan sinyal telepon seperti kemewahan, dan sebagian besar anak-anak hanya bisa mengakses pendidikan setingkat SMP.
Tapi Paulus percaya, pendidikan bukan hanya soal kurikulum, apalagi nilai ujian. “Pendidikan adalah jalan kemanusiaan,” katanya. “Ia membebaskan dari kebodohan dan kemiskinan.”
Gagasan menjadikan pendidikan sebagai jantung pembangunan bukan barang baru di benaknya. Sejak menjabat Bupati pada 2021, Paulus sudah bicara tentang “transformasi manusia Sumba Tengah”. Ia tak sekadar bicara membangun gedung sekolah, tapi membentuk pola pendidikan yang memutus rantai ketertinggalan, sekolah berbasis asrama.
“Tanpa asrama, pendidikan kita seperti merantau. Jauh, terpisah dari rumah, tak membentuk karakter,” ujarnya di hadapan guru dan tokoh Masyarakat.
Konsepnya sederhana tapi radikal. Semua jenjang pendidikan, mulai dari SD hingga SMA, harus menyediakan tempat tinggal bagi murid-muridnya. Di banyak tempat, ini mungkin terdengar kuno. Tapi di Sumba Tengah, ini justru relevan. Banyak anak harus berjalan kaki berjam-jam, bahkan menyeberangi bukit dan sungai, demi sampai ke sekolah terdekat. “Apa yang bisa diserap anak yang sudah kelelahan sebelum belajar?” katanya.
Paulus pun memulai apa yang disebutnya “pilot project masa depan”: Sekolah Rakyat berbasis asrama. Sumba Tengah akan menjadi kabupaten percontohan pertama program ini di Indonesia, sesuai arahan Presiden. Tak tanggung-tanggung, ia juga merancang pembangunan Sekolah Model Unggul Garuda di atas lahan 20 hektare. Sekolah ini akan menjadi simbol perlawanan terhadap stigma bahwa daerah miskin tak bisa melahirkan anak-anak unggul.
Lahir di Sumba, Paulus tahu betul kerasnya hidup di wilayah ini. Ia sendiri mengalami pendidikan dengan segala keterbatasan. Mungkin itu sebabnya, narasi “anak miskin yang berhasil” tidak pernah membuatnya puas. “Jangan hanya satu-dua anak yang berhasil lalu kita merasa cukup,” katanya. “Sistem harus diubah agar semua punya kesempatan yang adil.”
Dalam sambutannya di SMA baru itu, Paulus mengajak semua pihak ikut ambil bagian. Kepala desa, pengawas sekolah, orang tua, hingga tokoh agama. Ia sadar, pendidikan tidak bisa ditanggung sendiri oleh pemerintah. Ia mendorong gotong royong membangun fasilitas asrama, dan menolak menunda-nunda.
“Kita duduk, kita hitung, kita mulai. Jangan tunggu sempurna baru bergerak,” ucapnya.
Kepala sekolah, ketua komite, pengawas, hingga Ketua DPRD Sumba Tengah menyambut pidato itu dengan mata berkaca. Bukan karena gaya bicara Paulus yang retoris, tapi karena mereka tahu di Sumba Tengah. Kata-kata ini bukan janji politis menjelang pemilu. Ini adalah obsesi pribadi yang sudah lama diusungnya.
“Pak Bupati ini bukan sekadar pemimpin. Dia guru besar harapan kami,” kata Arpud U. R. Mangalema, Ketua DPRD Sumba Tengah.
Dari balik jendela sekolah, terlihat hamparan padang ilalang yang menyala keemasan diterpa mentari siang. Di sana, di tengah sunyi dan kerasnya medan, Bupati Paulus sedang menanam sesuatu yang lebih kuat dari infrastruktur. Keyakinan bahwa manusia bisa berubah, dan kebangkitan bisa dimulai dari pinggiran.
“Kalau kita bisa bangkit dari sini, dari titik yang jauh ini,” katanya pelan, “maka kita bisa bangkit di mana saja.”*/)ProkopimSTeng/llt