
Musrenbang Sumba Timur 2025 bukan sekadar soal anggaran. Dalam balutan adat, para pemimpin daerah menyulam arah baru pembangunan dari jantung timur Indonesia.
WAINGAPU,SELATANINDONESIA.COM – Parang di pinggang, selendang merah melilit dada, dan sorot mata penuh tekad. Di Aula Gedung Nasional Umbu Tipuk Marisi, Waingapu, Sumba Timur, Senin pagi (21/4/2025), para pemimpin daerah tak datang dengan stelan jas birokrat. Mereka tampil dalam pakaian adat kebesaran, tenun ikat bermotif leluhur, lambang marwah yang melekat erat dengan tanah tempat mereka berpijak.
Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah (Musrenbang) dan Rapat Kerja Pamong Praja Tahun Anggaran 2025 itu dibuka langsung oleh Bupati Sumba Timur, Umbu Lili Pekuwali. Tak ada pejabat provinsi, tak ada suara dari pusat. Namun justru di situlah kekuatan pertemuan ini. Panggung yang sepenuhnya milik daerah, yang dibangun dengan rasa percaya diri dan semangat kolektif.
“Pembangunan harus dimulai dari nilai, bukan sekadar angka,” ujar Bupati ULP sapaan akrab Umbu Lili Pekuwali dalam pidatonya. Di sampingnya, Wakil Bupati Yonathan Hani, pimpinan DPRD, serta didepannya para anggota DPRD Sumba Timur dan seluruh kepala OPD menyimak sambil duduk tegak. Sebagian dengan tangan terlipat di dada, sebagian lagi mencatat dengan pulpen di atas kain adat yang dilipat di paha.
Kain, Komitmen, dan Rencana
Tema besar Musrenbang tahun ini bukan main-main: “Dalam semangat kebersamaan kita tingkatkan komitmen untuk mewujudkan Sumba Timur yang Harmonis, Unggul, Mandiri, Berbudaya, Adil (HUMBA) Maju dan Berkelanjutan.” Dalam forum itulah, visi besar HUMBA dijabarkan menjadi enam misi dan 13 program prioritas.
Namun, sorotan utama ada pada empat program unggulan yang disebut HUMBA Prioritas Cepat:
- Humba Sejahtera, yang menyasar kemiskinan dan penguatan ekonomi keluarga.
- Humba Cerdas, untuk memperbaiki mutu pendidikan dan layanan kesehatan.
- Humba Mandiri, yang mengandalkan kekuatan pertanian, peternakan, dan pasar lokal.
- Humba Mengabdi, sebagai bentuk pelayanan publik yang responsif dan akuntabel.
Bupati ULP pun membawa kabar gembira, pembebasan pokok PBB-P2 tahun 2025, serta penghapusan 100% sanksi administrasi bagi warga yang menunaikan tunggakan hingga tahun 2024. Kebijakan ini berlaku hingga akhir September 2025 dan ditujukan untuk meringankan beban ekonomi warga.
“Keuangan daerah memang terbatas, tapi bukan berarti empati kita juga terbatas,” katanya, diiringi anggukan dari kursi barisan kepala desa.
Wajah Lokal, Daya Bangkit
Bukan hanya isi pidato yang menarik perhatian, tapi juga kemasan politik dan kulturalnya. Semua unsur hadir mengenakan pakaian adat. Tak ada jas dan dasi, hanya motif tenun, ikat kepala, dan aksesoris berbahan bambu dan kerang laut.
“Kami ingin menunjukkan bahwa pembangunan bukan meniru dari luar, tapi tumbuh dari dalam,” ujar Wakil Bupati Yonathan Hani saat ditemui di luar aula.
Simbolisme itu terasa kuat. Dalam adat, semua punya peran. Begitu juga dalam rencana Pembangunan, perencanaan teknokratik, partisipatif, dan politis harus berpadu. Kepala Bappeda menyebut ini “orkestra pembangunan” yang harus dijalankan dengan nada yang utuh, tanpa sumbang.
Tantangan Tak Hilang
Namun, tantangan tetap membayangi. Malaria dan demam berdarah masih mengintai banyak desa di wilayah pesisir. Angka kemiskinan, walau menurun, masih di atas rata-rata provinsi. Konektivitas antarwilayah dan ketersediaan air bersih di daerah terpencil pun menjadi pekerjaan rumah yang belum tuntas.
Musrenbang kali ini yang dipadati suara dari bawah yaitu dari camat, lurah, kepala desa menjadi semacam ruang konsultasi akbar. Usulan mengalir deras, dari pembangunan embung desa, sekolah satu atap, hingga digitalisasi pelayanan publik.
Umbu menyimak semua itu dengan kepala sedikit menunduk. Di tangannya, selembar catatan dari tim teknis tampak dicorat-coret. “Tidak semua bisa dijawab tahun ini,” katanya, “tapi tidak boleh ada yang tak didengar.”
Di Ujung Timur, Dimulai dari Akar
Saat matahari bergeser ke barat, para peserta Musrenbang mulai meninggalkan aula. Tapi yang tertinggal bukan hanya tumpukan dokumen, melainkan semangat kolektif, bahwa pembangunan tak harus dimulai dari Jakarta, tapi bisa dirancang dari desa, dari dusun, dari pinggir jalan tanah yang baru diuruk batu.
Dan di Sumba Timur, pembangunan itu dimulai dari balutan kain adat, dari ruang rapat yang penuh wibawa lokal, dan dari tekad yang dijahit dengan benang yang tak mudah putus. HUMBA telah menjadi jalan, bukan sekadar kata.*/)ULPofice/llt