Ody Kalake Tekankan Peningkatan Pengendalian dan Pencegahan Karhutla di NTT

116
Penjabat Gubernur Provinsi NTT, Ayodhia G. L. Kalake, S.H., MDC dan Kepala Balai Besar PPI Wilayah Jawa Bali Nusra, Haryo Prambudi di Kupang, Rabu (13/9/2023). Foto: BiroAdpim/Manda Kepa

KUPANG,SELATANINDONESIA.COM – Balai Besar PPI Wilayah Jawa, Bali dan Nusra menggelar Rapat Koordinasi/Supervisi Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) di Provinsi Nusa Tenggara Timur, bertempat di Ruang Rapat Gubernur, Rabu (13/9/2023).

Penjabat Gubernur Provinsi NTT, Ayodhia G. L. Kalake, S.H., MDC hadir dan membuka kegiatan tersebut. Ody Kalake, sapaan akrab Ayodhia G. L. Kalake, menyebut, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: 3911/ MENHUT-VII/ KUH/2014 tanggal 14 Mei 2014 luas kawasan hutan di Provinsi NTT adalah 1.784.751 hektare (37%)  dari luas daratan Provinsi NTT.

“Pemerintah Provinsi NTT dalam upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan Provinsi NTT, telah menerbitkan Keputusan Gubernur NTT Nomor: 173/KEP/HK/2023 tanggal 26 April 2023 tentang Satuan Tugas Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Satgas Dalkarhutla) Tingkat Provinsi NTT yang melibatkan seluruh stakeholders dan masyarakat yang terbentuk dalam kelompok Masyarakat Peduli Api (MPA) di desa-desa yang berbatasan dengan kawasan hutan. Sedangkan pada hutan konservasi di wilayah kerja Balai Besar KSDA NTT telah diterbitkan Surat Keputusan Kepala Balai Besar KSDA NTT Nomor SK. 131/K.5/ BIDTEK/KUM.1/08/2023 tanggal 4 Agustus 2023 tentang Perubahan Kesatu Keputusan Kepala Balai Besar KSDA NTT Nomor SK. 72/K.5/ BIDTEK/KUM.1/3/2021 tentang Pembentukan Regu Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (BRIDGAKARHUTLA) Balai Besar KSDA NTT,” jelasnya.

Dikatakan Ody Kalake, dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan pada Area Penggunaan Lain (APL), muncul kompleksitas yang tinggi mengingat di area tersebut tersebar beragam suku dan kepentingan masyarakat dengan kemampuan sumber daya yang terbatas sehingga cukup sulit untuk dikendalikan.

“Masyarakat NTT pada umumnya bergantung pada kawasan dengan status Area Penggunaan Lain (APL) dan memiliki budaya bertani dengan pola tebas bakar. Disatu sisi pola bertani tersebut dapat menekan biaya operasional yang relatif murah namun disisi lain dapat menimbulkan terjadinya penyebaran asap api dan kebakaran lahan. secara ekologi, kondisi lahan, semak belukar dan hutan di NTT lebih didominasi oleh ekosistem savana yang lebih mudah terbakar namun lebih cepat juga untuk dipadamkan yang mengakibatkan frekuensi hotspot di NTT selama ini berada pada angka yang cukup tinggi,” katanya.

Dikatakan Ody Kalake, prinsipnya Pemerintah Provinsi NTT sesuai Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan siap untuk mendukung pengendalian kebakaran hutan dan lahan dengan telah membentuk Satuan tugas pengendalian kebakaran hutan dan lahan tingkat Provinsi Nusa Tenggara Timur.

“Oleh karena itu dibutuhkan upaya-upaya pengendalian hingga akar permasalahan budaya tebas bakar melalui perubahan sistem pengelolaan lahan, pelatihan keterampilan pengelolaan lahan dengan memanfaatkan biomassa dan juga alternatif lain seperti permodalan untuk mengatasi permasalahan tersebut,” katanya.

Kepala Balai Besar PPI Wilayah Jawa Bali Nusra, Haryo Prambudi dalam laporannya mengatakan, Rapat Koordinasi/ Supervisi Pengendalian Kebakaran Hutan Dan Lahan (Karhutla) di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2023 untuk mendiskusikan bersama langkah – langkah strategis pengendalian terjadinya karhutla. “Juga solusi permanen penguatan ekonomi serta pemaparan materi upaya pengendalian karhutla di Indonesia khususnya di wilayah NTT,” katanya.*/)Farah Therik/BiroAdpim

Editor: Laurens Leba Tukan

Center Align Buttons in Bootstrap