Desa (Kampung) MEMILIH !

137
Ketua KPU Kabupaten Flores Timur, Kornelis Abon bersama PPK dan PPS di Kecamatan Witihama, Adonara, Kabupaten Flores Timur ketika melakukan Road Show, 210 Hari Menuju Kererhan Kesawut'en Lewotana Naene (210 Hari Menuju Pesta Demokrasi /Pemilu Nasional) pada Rabu (19/7/2023). Foto: Dok.KPUFlotim

Oleh Kornelis Abon, Ketua KPU Kabupaten Flores Timur

Catatan Perjalanan Ke  16 Desa /Lewo Tana Tokan Witihama, 210 Hari Jelang Kererha Kesawuten Lewotana naene (PEMILU Nasional), 14 Februari 2024.

Tanggal 19 Juli 2023, saya berkesempatan mengunjungi kawan-kawan panitia Pemilu di lapangan tepatnya menjumpai PPK dan PPS di Kecamatan Witihama, Adonara, Kabupaten Flores Timur.

PAS hari itu, kawan-kawan Witihama bersama Panwascam dan PKD menggelar aksi berjalan keliling 16 desa di Kecamatannya. Mereka berkeliling  sambil membawa khabar gembira tentang Pemilu Nasional yang tahapannya sedang berjalan dan hari H Pemungutan suara, jatuh pada hari Valentine, 14 Februari 2024 nanti.

Sebagai pemimpin pasukan, saya menyempatkan diri ada dalam rombongan “pasukan tempur ” itu. Sesekali saya memilih berada paling depan rombongan, sesekali beriringan, lebih banyak saya memilih berada pada baris paling belakang untuk lebih punya pandangan luas tentang kegigihan kawan-kawan menyapa dan memberi kabar baik Pemilu ke warga di rute yang dilalui.

Kami bergerak dari Pelataran kantor Camat Witihama setelah dilepas rombongan road show oleh Camat Witihama, Laurensius Lebu Raya. Usai ceremonial yang dihadiri juga Kapospol dan Babinsa Witihama, kawan-kawan PPK tetangga yaitu Klubagolit dan Adonara.

Oleh kawan-kawan Witihama, berjalan keliling kampung sambil membawa khabar suka cita dan cita rasa Pemilu 2024 dinamai Road Show, 210 Hari Menuju Kererhan Kesawut’en Lewotana Naene (210 Hari Menuju Pesta Demokrasi /Pemilu Nasional)

Berturut -turut kami kunjungi Warga  dan Pemilih di Desa Baobage (Regong), Tobitika (Woka) Sandosi (Lewokemie), Lamaleka, Balaweling, Balaweling Noten, Lewo Pulo, Watololong, Weranggere, Watoone, Tuwagoetobi (Honihama), Riangduli, Waiwuring, Pledo, Lamablawa dan Oringbele.

Pas Maghrib, kami kembali ke pelataran kantor Camat Witihama.

MENYEBUT Desa (kampung), gambarannya adalah jauh dari pusat Kota pemerintahan, Kota Dagang, Kota Pendidikan, pusat keramaian, pusat segala profesi ada.

Desa mengenal dan membentuk cara hidup komunal. Hidup bersama dan berdampingan dengan banyak suku dalam sistem komunal.

Secara lebih luas, kehidupan orang desa (kampung) dengan konsep kampung halaman sebenarnya menggambarkan akar komunalitas itu: satu kampung satu halaman.

DESA, gambarannya seperti potret lawas hitam putih yang menumbuhkan rasa melankolis seperti orang menatap potret sang kekasih hati: sendu dalam kelengangan jalan, diteduhi pohon-pohon besar menjulang mencakar langit, berlatar belakang bukit dan gunung, disaput kabut tipis tipis di putik hujan muda.

Waktu di Kampung serasa berjalan amat pelan, membeku dalam dingin sejuk udara. Fajar pagi membuka kelopak bunga helai demi helai untuk kemudian burung senja membawa matahari kembali ke peraduan sebelum Ayam Jantan naik ke ranting pohon paling tinggi.

Orang-orang di kampung berpuas dengan kebutuhan tak banyak. Profesi mereka pun tak banyak bahkan cenderung seragam. Petani, Peternak, Nelayan. Karena itu, kampung bisa dibilang ” Kota tanpa kesibukan”.

Batas-batas Desa (Kampung) umumnya berada dalam bentangan tak seberapa panjang. Sebelah Utara, Selatan, Timur, Barat umumnya bersebelahan dengan “kali mati” sebagai batas teritori tradisional antar kampung. Atau bersebelahan tipis dengan kampung tetangga, area perkebunan warga saling berimpitan dengan jalan penghubung antar kampung seadanya. Ada jalan beraspal, semenisasi. Tetapi selalu saja ada jalan setapak penghubung antar kampung semenjak dahulu kala. Jarang ada desa yang macet dan ramai lalu lintas di jalan.

Warga Kampung mengolah hidup dengan mengolah alam, mengolah kebudayaan. Mereka hidup dalam dan berhadapan dengan kekuatan-kekuatan elementer alam bebas, alam raya. Mereka mampu membuktikan dirinya bahwa mereka bisa bertahan hidup mandiri, bergantung hanya pada diri sendiri dan kaum kerabat, dan juga membuktikan bahwa mereka bisa hidup tanpa harus tergantung pada negara.

Orang kampung tentu selalu juga perlu orang lain. Karena manusia adalah makhluk sosial, makhluk politik, tapi mereka tidak semestinya terlibat dalam hubungan yang didasarkan pada ketergantungan dan dominasi.

Karena bagi mereka orang kampung, mereka terlibat dengan masyarakat dan kebudayaan. Bagi orang kampung dan alam semesta, selalu ada masyarakat dan kebudayaan.

Dalam hal ilmu pengetahuan, orang kampung selalu meyakini tidak mungkin  ilmu yang baik menghancurkan masyarakat dan anti kebudayaan. Bagi mereka, ilmu pengetahuan yang baik pulang kepada alam yang berarti juga harus membela kebudayaan dan kemanusiaan.

Orang-orang Kampung umumnya menunjukan kesetiaan dan kepedulian pada hal-hal rutinitas, hal-hal proses yang panjang dan terus menerus. Beda dengan orang kota yang cenderung memilih yang serba cepat, seketika, instan, apalagi teknologi kini sangat melapang jalan untuk itu.

Orang kampung mengelola ambisi, niat dan keinginan laksana air, mengalir apa adanya sekalipun kadang mereka lalui tahapan-tahapan kritis dan berdarah-darah.

Sekalipun demikian, orang kampung tak luput dari suasana dihampiri asumsi, prasangka, praduga. Asumsi kadang membuat orang terlihat tak wajar, sulit menangkap sesuatu secara apa adanya, menerima sesuatu sebagaimana adanya.

Waktu paling prima bagi orang kampung adalah pagi hari. Bagi mereka, bangun pagi bersama terbitnya matahari adalah bentuk kesetiaan pada alam. Mereka membuka mata seiring terlihatnya siluet pundak bukit pada pagi hari.

210 hari lagi dari road show ini, (19/7/2023), tepatnya 14 Februari 2024 nanti, ada sejumlah 13.349 Pemilih yang tersebar di 16  Desa (Kampung) se Kecamatan Witihama, di tana Adonara, Flores Timur, soga Kererhan Kesawuten Lewotana naene (mengikuti, memberi hak suara, memilih pemimpin negara dan wakil rakyat melalui Pemilu 5 Kotak Suara) .

Sebagaimana Pemilu 5 Tahun lalu, penduduk desa memilih secara langsung siapa Presiden dan Wakil Presiden, siapa senatornya di DPD, siapa wakilnya di DPR dan DPRD.

Tahap pemungutan suara dan penghitungan suara merupakan titik kulminasi, puncak kegiatan dalam proses penyelenggaraan Pemilu. Tidak hanya karena hari pemungutan suara (polling day) berada pada tahapan ini dan karena pada hari itulah penduduk desa yang berhak memilih menyatakan kedaulatannya melalui pemberian suara, tetapi juga karena pada tahapan inilah seluruh asas pemilihan umum (LUBER dan JURDIL)  diterapkan di Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Dalam hal memilih pemimpin bangsa dan para wakil rakyat, orang kampung tentu punya fatsun politik, tata krama politik.

Orang kampung tidak butuh doktrin-doktrin, fatwa dan segala hal propaganda dari luar.

Bagi mereka, kampung mereka adalah miniatur kosmos, miniatur alam, tempat salah satunya mereka melakukan kontak dengan tata krama politik.

Pemilu dari masa ke masa tentunya adalah ruang bersama orang kampung. Panggung demokrasi milik mereka. Karena pemilihan pemimpin secara langsung itu semenjak dulu mereka tau, mereka praktekkan.

Mereka tentu saja fasih menguasakan energi dirinya untuk mengatasi ruang di atas panggung Pemilu  ini. Tentu mereka tidak merasa tegang. Seperti menyetir mobil, mereka bisa lebih santai terhadap yang dihadapan mereka. Tentu kemampuan mereka menguasai ruang, di panggung Pemilu ini, agar  mereka tidak pernah kehilangan apa yang di depan mereka besok: memilih pemimpin bangsa dan wakilnya.

Pemilihan Pemimpin Bangsa dan wakilnya di DPR, DPD, DPRD nanti tentu saja dilakukan, diikuti bersama saudara-saudara sekampung yang tingkat dan keasadarannya akan panggung Pemilu setidaknya nyaris berimbang. Karena nyaris berimbang itulah dapat saja terjadi perebutan menguasai panggung.

Tapi, orang kampung cenderung memandang panggung, ruang Pemilu  ibarat arsitektur. Andaikan dua-dua misalnya  pada posisi atau struktur yang dalam arsitektur diibaratkan sama-sama kuat, maka mereka tak perdulikan lagi struktur arsitekturnya. Yang mereka ganggu adalah interiornya.

Membayangkan struktur itu berupa ruang besar yang kosong. Dengan tambahan satu detail saja di dalamnya, misalnya dengan meletakan meja kecil di tengah ruang, dengan seketika ruang terpecah tidak lagi menjadi satu ruang besar. Jika yang diubah adalah struktur arsitekturnya, misalnya menggeser atau mengubah pondasi cakar ayam, dia akan terguncang dan hilang  keseimbangan.

Jika struktur arsitekturnya goyang, dengan demikian tersedia kesempatan untuk orang merobohkannya. Pondasi, cakar ayam bagi orang kampung adalah  suri tauladan Pemimpinnya.

Selamat Memilih, 14 Februari 2024*/)

Center Align Buttons in Bootstrap