
KUPANG,SELATANINDONESIA.COM – Sikap Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo yang ikut menolak Timas Israel yang berlaga di Piala Dunia U 20 di Indonesia membawa petaka politik.
Pengamat politik dari Unika Widya Mandira Kupang, Michael Rajamuda Bataona menyebut, sikap Ganjar Pranowo itu sebagai langkah catur yang salah. “Sebagai politisi dan seorang calon presiden, Ganjar ibarat master catur dalam permainan catur. Tapi di tikungan ini justru Ganjar mendapat skak mati atau kuncian mematikan akibat salahnya sendiri,” sebut Mikhael Rajamuda Bataona menjawab SelatanIndonesia.com, Kamis (30/3/2023).
Ia menilai, Ganjar yang terobsesi dengan ceruk suara di luar suara pendukung PDI Perjuangan, pendukungnya dan pemilih milenial yang menyukainya, coba memancing di luar kolam dukungannya itu. “Dia coba mengkapitalisasi isu penolakan atas Israel ini untuk menggaet dukungan dari pemilih Kanan atau pemilih-pemilih di luar ceruk elektoralnya, tapi justru itu menjadi blunder. Karena apa? Karena pemilih di luar ceruknya dia tetap tidak memilih dia. Mereka yang setuju dengan penolakan atas Israel, umumnya tidak melihat Ganjar sebagai tokoh yang harus didukung. Sebaliknya justru sebagian besar pemilih PDI Perjuangan dan pendukung Ganjar sangat kecewa dengan pernyataan Ganjar ini,” ujar Rajamuda Bataona.
Menurutnya, sikap Ganjar tersebut merupakan improvisasi politik yang keliru. “Ganjar coba melakukan improvisasi politik lewat isu penolakan Israel dalam piala Dunia U-20 di Indonesia tetapi justru Ganjar sendiri menuai kerugiaan elektoral. Sebab, hampir semua pemilih Ganjar di wilayah Bali, Nusa Tenggara, Makuku, Papua dan sebagian Jawa hingga Sumatera yang adalah pemilih-pemilih moderat dan tengah, merasa sangat kecewa,”.
“Artinya, dalam kasus ini, ibarat permainan catur, Ganjar sudah mendapat skak mati. Tinggal saja sekarang bagaimana Ganjar memulihkan citranya dalam isu ini sebab migrasi elektoral sedang terjadi. Banyak pendukung Ganjar dari kelompok tengah dan moderat, juga kaum muda dan milenial akan minggat jika tidak segera dipulihkan. Dengan kata lain, dalam kasus ini, terjadi sebuah fenomena unik dalam praksis politik. Yaitu improvisasi politik elektoral yang berujung Petaka. Sebab, Ganjar yang coba melakukan imporvisasi politik untuk mendapat ceruk dukungan elektoral baru di luar ceruk pendukungnya, justru kehilangan dukungan dari ceruk elektoralnya sendiri dan sekaligus juga tidak mendapat tambahan dukungan dari luar ceruk elektoralnya,” sambungnya.
Itu pasalnya, Mikael Rajamda Bataona menyarankan Ganjar dan timnya jika tidak cepat melakukan klarifikasi, perbaikan brand imagenya sebagai tokoh politik Tengah moderat, bisa kehilangan banyak pendukungnya.
Karena menurutnya, hampir semua milenial dan kaum muda yang seharusnya sangat potensial menjadi pendukung Ganjar, justru kecewa dan sedang sangat marah. Apalagi dengan sudah resminya Indonesia tidak lagi menjadi tuan rumah Piala dunia U-20. “Kasus ini menjelaskan bahwa Ganjar, akibat manuver politik yang salah, sedang mendapat pukulan balik berupa migrasi elektoral dari ceruk pendukungnya. Bahkan di level para pemilih memgambang atau undecided voters yaitu mereka yang belum menentukan pilihannya, yaitu apakah ke Ganjar, Prabowo atau ke Anies, bahkan juga para swing voters atau para pemilih yang masih mungkin untuk berpindah-pindah pilihan, saya kira sedang sangat kecewa dengan Ganjar.
“Karena umumnya undecided voters dan swing voters ini kelompok pemilih yang cukup rasional, moderat dan datang dari kelas menengah kota yang terpelajar dan terliterasi. Jadi perbaikan brand image dan citra Ganjar di kalangan pemilih ini sangatlah penting. Inilah yang sedang menjadi tantangan sesungguhnya bagi Ganjar dan timnya,” ujar Rajamuda Bataona.***Laurens Leba Tukan