Bara Api di Besipae, Pemprov Kembali Tertibkan Okupan

668
Kiri: Warga Besipae yang rumahnya ditertibkan oleh Pemprov NTT, Kamis (20/10/2022) Foto:Tangkapan Layar Tiktok. Kanan: Kepala Badan Pendapatan dan Aset Daerah NTT, Alex Lumba

KUPANG,SELATANINDONESIA.COM – Kemelut berkepanjangan tentang lahan rens peternakan di Besiae, Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) belum juga berujung. Persoalan di kawasan itu bagai bara api yang terus membara.

Pemerintah Provinsi NTT pada Kamis (20/10/2022) kembali menertibkan para okupan. “Kami membongkar kembali rumah-rumah yang dibangun pemerintah dan rumah masyarakat yang ada di kawasan milik pemerintah karena itu kami nilai pembangunan liar dan illegal,” sebut Kepala Badan Pendapatan dan Aset Daerah NTT, Alex Lumba kepada SelatanIndonesia.com di Kupang, Jumat (21/10/2022).

Disebutkan Kaban Alex Lumba, dalam proses perjalanan pihaknya melakukan penertiban sesuai SOP yang ada. “Kami mengimbau kepada para okupan untuk mengosongkan lahan dan mengambil barang milik mereka. Pada saat petugas yang merupakan pegawai Instalasi di Besipae hendak menyerahkan surat imbauan tersebut yang sebagian warga Besipae sudah terima dan sebagian belum namun ketika sampai di saudara Nikodemus Manao dan Daud Selan, di sana ada sejumlah masyarakat yang bergabung sehingga mereka langsung melakukan penganiayaan terhadap pegawai instalasi Jaka Seran,” sebut Alex Lumba. Kasus penganiayaan tersebut sedang ditangani Polres Timor Tengah Selatan.

Kaban Alex Lumba menjelskan kronologis kepemilikan tanah di lokasi instalasi Peternakan Besipae. Disebutkan, lokasi itu diserahkan oleh Usif Nabuasa kepada pemerintah provinsi NTT pada tahun 1982. Saat itu dikeluarkan surat pernyataan penyerahan kawasan Besipae yang diserahkan Usif Nabuasa Meu dan Meo Besi beserta aparat pemerintahan lima desa di Kawasan tersebut. “Kenapa itu diserahkan karena ada kerjasama pemerintah Provinsi NTT saat itu dengan pemerintah Australia untuk pengembangan ternak sapi,” sebutnya.

Ia menambahkan, atas dasar kerjasama itu maka pada tahun 1983 dikeluarkan dokumen tentang lahan 3.780 hektare atas nama Dinas Peternakan Daerah Tingkat I NTT. Selanjutnya pada tanggal 30 Januari 1986 diterbitkan sertifikat hak pakai nomor 1 tahun 1986 dengan nomor  registrasi A. 1390477 seluas 3. 780 hektare. “Namun dalam waktu berjalan sertifikat itu hilang sehingga tidak dapat ditelusuri. Pada tanggal 28 Mei 2012 Tim Terpadu Penyelesaian Lokasi Pembibitan Ternak Sapi di Besipae sesuai surat Gubernur melakukan pengurusan sertifikat yang hilang di kantor pertanahan TTS. Selanjutnya pada tanggal 19 Maret 2013 terbit sertifikat pengganti nomor BP. 794953 Tahun 2013.” jelasnya.

Kaban Alex menambahkan, setelah tahun 2013, dinas Peternakan, Pertanian, Kehutanan, memanfaatkan tanah tersebut walaupun tidak maksimal sehingga masuklah para okupan di tanah tersebut dan saat tahun 2020 itu ada 37 KK. “37 KK dibawa pimpinan Beny Selan dan Nikodemus Manao. Pada tahun 2020 pemerintah Provinsi NTT melaksanakan program di bidang Peternakan dan Pertanian untuk melakukan pengembangan di lokasi tersebut,” ujarnya.

Ia mengatakan, sejumlah program telah didaratkan Pemerintah Provinsi NTT diantaranya program TJPS, dan Peternakan. “Namun, ada masalah yang dilakukan para okupan, padahal pada saat program itu masuk, pemerintah sudah melakukan sosialisasi pada masyarakat lima desa dan pemerintah provinsi NTT untuk pemberdayaan masyarakat dalam peningkatan ekonomi masyarakat yang ada di lima desa tersebut,” katnay.

Masyarakat saat itu sudah terima untuk diikut sertakan dalam program tersebut tetapi permasalahan yang timbul adalah para okupan itu melakukan aksi hingga penghadangan terhadap kunjungan Gubernur NTT waktu itu.

“Atas kebijakan Gubernur NTT. saat itu meminta BPAD untuk membangun rumah bagi 37 KK tersebut. Rumah tersebut dilakukan identifikasi, dan mereka tidak mau menolak dengan alasan bahwa rumah itu model seperti kandang ternak sehingga tidak mau dihuni. Padahal kalau dibandingkan rumah mereka sebelum dan yang kita bangun itu jauh lebih baik yang kita bangun. Kemudian, dalam perjalanan masuk tahun 2022 pemerintah juga menyiapkan program dari Dinas Peternakan, Pertanian, PUPR dan sebagai untuk pengembangan ternak di Besipae dan TJPS. Polanya sama yakni pemberdayaan masyarakat,” jelasnya.

Sayangnya, dalam perkembangan ketika pemerintah turun ke lapangan mendapat penghadangan oleh para okupan dengan pola memanfaatkan anak-anak kecil. “Anak-anak disuruh untuk naik diatas excavator, dan minta exavatornya dijalanka sehingga kalau operator jalankan eksavator maka anak-anak itu akan korban. Mereka bahkan mengancam operator alat berat untuk dibakar,” sebut Kaban Alex.

Dilansir dari PosKupang.com, rumah berdinding bebak dengan ukuran 5×7 Meter yang sebelumnya dibangun Pemprov NTT pada tahun 2020 lalu, kembali digusur. Proses pembongkaran rumah warga dilakukan oleh anggota Satpol Provinsi NTT. Tampak anggota kepolisian Polres TTS dan Brimob Polda NTT melakukan pengaman di lokasi.

Aksi penggusuran ini sempat dihalangi oleh warga setempat. Namun Pemprov NTT melalui Badan Pendapatan dan Aset Daerah bersama Sat Pol PP Provinsi NTT yang dikawal ketat oleh aparat keamanan tetap melakukan penggusuran.

Daud Selan salah seorang warga Besipae, pada kesempatan itu mempersilakan Pemprov NTT untuk melakukan penggusuran. Ia menegaskan, masyarakat Besipae akan tetap tinggal di kawasan tersebut. Ia menyebut hingga saat ini Pemprov tidak bisa membuktikan kepemilikan lahan di Besipae.

“Sesuai bukti yang dipegang masyarakat Besipae, sertifikat yang diterbitkan oleh Dinas Peternakan Provinsi NTT tumpang tindih dengan sertifikat milik kehutanan,” tandasnya.

Niko Manao warga Besipae yang lain mengatakan, mereka ingin Pemprov NTT menunjukan batas lahan yang dimiliki oleh Dinas Peternakan Provinsi NTT. “Jika Pemprov NTT tunjukan batas lahan yang dimiliki, maka tanpa digusur ataupun diusir keluar dari lokasi Besipae, kami akan keluar dari kawasan ini,” imbuhnya.

Kendati rumah telah dihancurkan, Niko mengungkapkan warga Besipae tidak akan keluar dari kawasan Besipae. Dia menyebut, mereka siap tinggal di bawah pohon untuk mempertahankan tanah tersebut.

“Silahkan pak mereka hancurkan rumah kami. Tapi pak mereka tidak bisa cungkil dan bawa tanah kami. Kami akan tetap di sini. Tidak masalah biarpun kami harus tinggal di bawah pohon,” tegas Niko Manao.

Ester Selan, warga Besipae lainnya menandaskan aksi penggusuran yang dilakukan Pemprov NTT tidak akan menyelesaikan persoalan Besipae. Dia menyampaikan, mereka tidak akan keluar dari Besipae. Dia menyebut, pihaknya merasa lucu dengan Pemprov NTT karena Pemprov yang membangun rumah, lalu Pemprov juga meruntuhkannya sendiri.

“Saya rasa lucu dengan Pemprov NTT ini, mereka bangun rumah kasih kami habis, sekarang mereka datang kasih rubuh sendiri. Kami tidak rasa rugi, silakan rubuhkan rumah ini, kami tinggal di bawah pohon tidak ada masalah,” teriaknya.***Laurens Leba Tukan

Center Align Buttons in Bootstrap