Negara Bangun “Wisata Premium” di Labuan Bajo untuk Siapa

228
Pesona Pulau Komodo dan Wasekjen DPP Golkar, Herman Hayong

JAKARTA,SELATANINDONESIA.COM – Pertanyaan menggelitik itu datang dari Wasekjen DPP Golkar, Herman Hayong. Kepada SelatanIndonesia.com, Jumat (5/8/2022) Herman Hayong menegaskan, harusnya negara tidak boleh berbisnis dengan rakyatnya.

Disebutkan, benar bahwa PT Pengembangan Pariwisata Indonesia (Persero) atau Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC), sebagai BUMN pengembang dan pengelola kawasan pariwisata di Indonesia  mendapat PMN (Penyertaan Modal Negara) Tahun 2021 sebesar Rp 470 miliar untuk bangun Labuan Bajo, Komodo dan lain lain.

“Namun apakah dengan nilai PMN sebesar itu lantas harus dikembalikan dalam jangka waktu 2 Tahun?. Dan siapa yang harus mengembalikan dan  Siapa pula yang diuntungkan,” sebut Herman Hayong.

Perlu juga dicatat bahwa TN Komodo bukan baru pertama kali dikelolah dengan basis korporasi seperti yang diusung pemerintah sekarang.

Kita masih ingat pada tahun 2005 di bawah tuntunan dan sokongan dana dari Bank Dunia, USAID, dan organisasi lingkungan The Nature Conservancy, terciptalah model pengelolaan yang bernama Komodo Collaborative Management Initiative (KCMI). Kontrak 25 tahun yang sudah ditandatangani namun hanya berjalan 5 tahun dan berakhir tanpa pertanggungjawaban publik.

Perubahan skema secara drastis dari konsep pariwisata (dan konservasi) berbasis masyarakat, menjadi pariwisata berbasis perusahaan (corporate-based). Hal ini menimbulkan banyak konflik karena proses transisi ini tidak melibatkan  warga masyarakat tegasnya.

Belajar dari kegagalan KCMI, maka saat ini  dibutuhkan desain kelembagaan yang kuat, di mana pemerintah memegang kendali dan tidak menyerahkannya kepada entitas bisnis. Sebuah manajemen terpadu diperlukan untuk mengkoordinasi semua pemangku kepentingan dalam upaya konservasi.

Pengembangan konservasi dan pariwisata harus menjamin keikutsertaan aktif serta distribusi keadilan bagi warga di dalam dan sekitar kawasan.

Herman Hayong mengaku percaya bahwa jika Wisata Premium ini mendatangkan pendapatan Premium juga bagi rakyat di Labuan Bajo maka tidak akan ada perlawanan seperti ini. Dan jika situasi sudah seperti ini maka Labuan Bajo bukan lagi sebagai Wisata Premium  tetapi telah berubah jadi Wisata Preman. “Jika suara rakyat tidak lagi didengarkan maka hasil akhirnya Negara dan rakyat sama-sama buntung. Pertanyaan selanjutnya negara ada untuk siapa,” sebutnya.

Ditambahkan, jangan pernah negara memaksakan rakyatnya untuk “merasa untung”. “Hentikan semua tindakan represif aparat dalam merspon aspirasi publik dan duduklah bersama untuk membangun dialog. Tanpa situasi yang kondusif jangan pernah bermimpi untuk terwujudnya Wisata Premium seperti mimpi pemerintah,” sebut Herman Hayong.***Laurens Leba Tukan

 

Center Align Buttons in Bootstrap