Frans Lebu Raya, Biduk yang Tenang di Tengah Samudera

551
Alm. Frans Lebu Raya dalam sebuah kesempatan bersama Elas Jawamara

Testimoni Seorang Jurnalis Mengenang 100 Hari Kepergian Mendiang Frans Lebu Raya

Pagi itu dihari Minggu puluhan tahun yang silam. Pada sebuah misa di Stasi kecil di kampungku, seorang pastor menyebut nama Frans Lebu Raya pada akhir misa sebelum berkat penutup. Sang pastor memberi informasi hasil pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur kala itu Piet Tallo dan Frans Lebu Raya sudah terpilih, demikian kata pastor.

Saya masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas Katolik (SMAK) Andaluri, Sumba Timur. Kebetulan lagi musim liburan. Pada masa itu urusan politik masih jauh dalam perbincangan kami di kampung. Apalagi arus informasi tidak seperti sekarang yang mudah diakses. Meski pada waktu diskusi kampung tentang politik masih sering terdengar pada waktu senggang disore hari selepas para petani pulang dari kebun.

Sebelum Suksesi Pilgub 2003, juga nama Viktor Bungtilu Laiskodat, Gubernur NTT saat ini, sangat populer hingga ke kampung kampung. Di Sumba Timur, Viktor bukan nama yang asing. Ia cukup dekat dengan Almarhum Umbu Mehang Kunda, Mantan Bupati Sumba Timur. Kami lebih mengenalnya dengan nama Bungtilu pada baju kaos partai yang banyak dipakai oleh orang tua kami di kampung.

Aksi sosialnya merambah ke kampong-kampung di pelosok pulau Sumba. Namun pada suksesi itu Bungtilu kalah dari pasangan Piet Tallo dan Frans Lebu Raya. Ternyata dua nama ini, Frans dan Viktor  dikemudian hari saya menjadi bagian dari kerja politik mereka membangun NTT.

Kembali soal Frans Lebu Raya. Tahun 2003 saya mendengarnya sepintas saja. Namun dikemudian hari saya banyak bertemu dan belajar dari sosok Frans Lebu Raya. Tahun 2004 saya merantau ke Kupang untuk berkuliah di Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana. Ini menjadi titik awal saya untuk berkecimpung dalam dunia aktivis pergerakan dan mempertemukan saya dengan sosok Frans Lebu Raya.

Saya bergabung sebagai anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kupang. Oleh senior-senior menyebut nama Ama Lebu sebagai Pendiri GMNI Kupang. Rasa ingin tahu saya muncul siapa Ama Lebu. Saya pun bertanya kepada senior dengan sedikit rasa takut. Maklum pada jaman itu, para senior galaknya minta ampun. Senior menjawab, itu panggilan kesayangan kita untuk Abang Frans Lebu Raya. Saat ini Abang adalah Wakil Gubernur NTT ujar senior itu bangga.

Ingatan saya kembali ketika masih dikampung. Wah nama yang disebut oleh pastor waktu itu kini saya bisa melihatnya dari dekat. Pada seremonial pembukaan Pekan Penerimaan Anggota Baru (PPAB) GMNI di aula Perkebunan Dinas Pertanian Provinsi NTT, Frans Lebu Raya hadir sebagai Wakil Gubernur NTT dan memberikan materi.

Rasa bangga pun perlahan menyeruak dalam hati saya. Ternyata aktivis itu suatu saat bisa jadi Pemimpin. Dan saya bisa mendapat ruang dan akses untuk mengenal dan belajar dari Frans Lebu Raya di GMNI. Saya tidak salah pilih organisasi ni kata saya dalam hati.

Sambil kuliah di Faperta pada semester 4, saya diajak untuk menjadi wartawan tabloid Fortuna oleh alumni GMNI, Fidel Nong Nogor. Itu menjadi titik akses yang memudahkan saya berhubungan dengan Frans Lebu Raya. Aktivis GMNI dan Wartawan. Mudah untuk bertemu pejabat.

Saya sering bersama Fidel bertemu Frans Lebu Raya diruang kerjanya dalam kapasitas sebagai wartawan. Tentu aktivis GMNI Menjadi ‘pelicin” untuk bisa bertemu lebih lama. Dalam setiap pertemuan, Frans Lebu Raya selalu menyinggung Trisakti Bung Karno.

Program Anggur Merah (Anggaran Untuk Rakyat Menuju Sejahterah) kata Frans adalah Ekstraksi dari Marhenisme yang diajarkan oleh Bung Karno untuk berpihak kepada kaum marginal. Selalu demikian dalam setiap diskusi.

Alm. Feans Lebu Raya dalam sebuah kesempatan bersama Elas Jawamara

Keakraban saya dengan Frans dimulai pada suatu waktu ketika saya ditelpon untuk mengurus sesuatu hal. Saya menyebutnya tugas khusus. Berhasil. Itu menjadi titik saya lebih mudah untuk berkomunikasi. Ketika saya menjadi Sekretaris Koordinator Daerah (Korda) GMNI NTT.

Intensitas saya bertemu lebih sering untuk membahas Konggres GMNI yang berlangsung di  Maumere. Namun ia sosok yang tidak marah. Meski kadang kami melakukan kesalahan. Sulit untuk menemukan marah dan tidaknya Frans Lebu Raya. Pada kehidupan politiknya, ia banyak difitnah dengan keji, dicaci maki di sosial media. Saya menyaksikannya, karena selalu berada pada epicentrum politiknya. Saya sering ikut  kegiatan politik di PDI Perjuangan ketika Frans Lebu Raya menjadi ketua DPD PDI Perjuangan di NTT. Bahkan menjadi tim media ketika ia sebagai calon  Gubernur  periode pertama dan kedua.

Bahkan menjadi Tim Sukses turun ke kampung untuk mengkampanyekan paket Fren (Frans-Esthon) dan Frenly (Frans-Beny Litelnoni). Saya selalu ingat kata-kata ketika ia ditanya soal kritikan yang dialamatkan kepadanya. Sebagai Pemimpin saya Bukan Malaikat tapi Saya juga bukan setan bagi Rakyat, ujarnya kala itu.

Banyak kisah, cerita dan karya yang ditorehkan. Banyak cerita juga yang saya alami sebagai pribadi dan sebagai wartawan yang sehari hari meliput di kantor Gubernur NTT. Kerap kali saya juga ikut mendampinginya meliput ke daerah-daerah baik dalam tugas Gubernur maupun sebagai bakal calon Gubernur. Tapi kebaikannya sebagai seorang senior terus terkenang dalam hati saya dan keluarga sepanjang masa.

Tercatat, beberapa kali ia berkunjung ke kampung saya di desa Palakahembi, Kecamatan Pandawai, Kabupaten Sumba Timur. Tentu saya sering ikut dalam kunjungan itu. Bangga ikut dalam rombongan Gubernur NTT berkunjung ke kampung halaman sendiri. Bangga menjadi bahan cerita di kampung, Elas datang dengan Bapak Gubernur NTT, demikian kata orang tua di kampung.

Frans Lebu Raya adalah nama yang tidak terlupakan dalam hidup saya. Suatu ketika, saya baru pulang dari kampung halaman untuk urusan adat. Disuatu sore, di depan kontrakan, saya duduk sambil ngopi. Dilayar handpone tiba-tiba ada SMS untuk mengurus kelanjutan adat perkawinan yang sempat tertunda. Saya agak terpancing emosi ketika ditanya setiap saat.  Pertanyaan ini sudah berulang kali ditanyakan kepada saya. Tanpa tedeng aling-aling, saya jawab besok pagi saya sudah sampai di Atambua. Selesai menjawab saya mengecek saldo ATM. Waduh, saldonya sangat menyedihkan. Hanya cukup untuk biaya transportasi dan makan minum dalam perjalanan. Dalam hati saya bergumam. Ini sudah salah gertak ni. Pikiran saya kalut ketika memikirkan janji saya. Saya memutuskan memencet tombol HP, hehe.

Dengan memberanikan diri, saya SMS Abang Frans. Dengan kalimat yang sangat memelas saya menjelaskan semua persoalan yang saya alami. Saya habis habisan di kampung urus adat di kampung kemarin. Jadi saya parah Abang. Saya tutup mata dan tekan tombol kirim. Tidak butuh waktu beberapa lama. Abang Frans menjawab. Oke, Adek. Besok jam 7 pagi ke Rujab, ya. Betapa senangnya saya ketika mendapat balasan. Beban saya kini menjadi beban senior. Jam 6 pagi saya sudah di Rujab. Saya langsung SMS, Abang, Saya di Rujab. Adek, tunggu saya masih mandi, SMS balasan dari Abang Frans. Saya jawab, Siap, Abang. Jam 7 pun Abang Frans SMS, Adek, mari masuk. Saya pun bergegas. Di pintu masuk, ajudan sempat menghalangi saya, pikir saya mau nyelonong wawancara. Abang Frans bilang ke ajudan, itu Adek saya. Saya pun masuk dan dipersilahkan duduk. Ini Adek, Abang ada sediki sambil menyodorkan amplop coklat tebal sekali. Beberapa waktu kemudian saya berpamitan pulang karena mau terus ke kampung.

Hati saya berbunga bunga, mendapat bantuan dari Abang Frans yang Gubernur NTT. Tentu sangat bangga. Lepas dari Rujab, saya telpon Abang Beno Brewon, Senior saya di GMNI Kupang. Gass, Abang. Ini sudah beres. Bisa Ketuk Pintu, Masuk minta dan sebagian lagi kita panjar untuk Belis memang Abang, kata saya kepada Abang Beno.

Saya juga menelpon Abang Nato, Ketua Korda GMNI  NTT waktu itu. Akhirnya urusan ketuk Pintu dan Masuk minta beres. Bersama rombongan kami juga menyisihkan panjar untuk Belis yang sudah disepakati. Jubir saya waktu itu adalah Abang Nato dan rombongan GMNI Kefamenanu.

Kemudian pada masuk minta yang menjadi Jubir adalah Bupati Timor Tengah Utara ( TTU), Abang Ray Fernandez. Senior saya di GMNI juga. Tentu urusan pembiayaan Belis dan Nikah dibantu oleh Abang Ray yang kini ketua DPW Nasdem NTT.

Menjelang nikah, saya ditelepon oleh bang Frans ke kantornya di Gubernuran lama. Beberapa senior saya pontang panting mencari saya karena tak kunjung tiba. Saya masih bersama Pater Dago di Paroki Naikoten untuk menyelesaikan gladi terakhir untuk misa pernikahan.

Setelah usai saya pun bergegas ke kantor Gubernur. Ia menyuruh staf untuk mendahulukan saya karena saat itu tamu sudah banyak yang antri. Di dalam ruangan, Abang Frans bertanya, Adek nanti besok Abang tidak bisa ikut karena bersamaan dengan kunjungan Komisi V DPR RI. Ini penting sekali Adek, ujarnya.

Saat itu ia memang getol memperjuangkan pembangunan Jembatan Palmerah yang menghubungkan Larantuka dan Adonara. Tapi Abang ada titip ini buat Adek, ujarnya sambil menyerahkan amplop putih. Juga sangat tebal. Sambil mengucapkan terimakasih saya menyampaikan nanti waktu acara kenduri, berlangsung di kediaman Abang Ray. Beliau yang jadi Jubir juga ujarnya. Sambil tertawa, Abang Frans mengatakan, baik Adek, tapi Abang tidak janji. Saya pun pamit karena tamu sudah antri sejak pagi karena sebelum saya masuk mereka  berpesan, jangan lama lama e. Dalam hati saya sempat berujar, Lu sapa?.

Waktu pun bergulir mengikuti pengaturan  poros bumi. Menjelang suksesi Gubernur dan wakil Gubernur 2018-2023, saya membantu Abang Ray dibidang media. Meski saya tahu, Abang Frans punya pilihan lain. Itulah demokrasi yang diajarkan oleh para senior saya di GMNI.

Hingga pada suatu waktu pagi hari, telepon Xiaomi saya berdering. Pak Gubernur NTT memanggil. Agak gemetar saya juga jawab panggilan itu. Masalah lama muncul kembali. Setiap suksesi. Abang mengajak saya bertemu di kantor Gubernur yang baru diresmikan. Saya jawab siap, abang. Sambil menunggu panggilan, sore nya saya nongkrong di Kantin Off The Record. Menjelang magrib Abang menelpon, mari sudah datang di kantor. Saya pun bergegas. di ruang Tata usaha Gubernur, sebelum melapor, para staf sudah mengarahkan saya ke ruang Kerja Gubernur.  Kami pun bersalaman, sambil menandatangani dokemuen yang bertumpuk, ia mengawali pembicaraan.

Bagaimana Adek mengenai Pilgub nanti. Saya bilang semua tergantung Abang. Ia pun tersenyum. Eh ini kau punya Kaka Nona (Lucia Adinda Ndua Nurak) juga orang ada sebut sebut ni untuk Pilgub NTT. Bagaimana kita bisa buat tim media ko. Sebelum saya jawab pertanyaan itu, saya memberanikan diri untuk bertanya terkait peluang Abang Ray sebagai Bakal Calon Gubernur NTT dari PDI Perjuangan. Dia jawab, tidak dapat  Adek. Dia mengemukan sejumlah alasan mendasar. Dia meyakinkan saya soal perkataannya. Sebagai Politisi senior, saya percaya intuisi politiknya. Sebagian Junior saya juga harus menjalankan perintahnya. Sebelum saya pulang, saya mendapat titipan amplop putih. Ini untuk maitua ya, ujarnya.

Saya pun mulai bergerilya. Mengubungi Kaka Joey Rihi Gah yang punya pasukan media online untuk menitipkan sejumlah rilis yang saya produksi. Di media cetak saya juga titip terkait Lucia Adinda Ndua Nurak sebagai Bakal Calon Alternatif dari PDI Perjuangan dengan simulasi beberapa bakal Calon Wakil Gubernur. Saya juga menghubungi Om Vincen Mone untuk memainkan desain grafis di social media dengan simulasi beberapa calon Wakil. Bergerak serempak. Karena isunya seksi, rilis itu muncul di headline di sejumlah media harian. Tentu membanggakan sekali di depan senior. Kami pun terus saling koordinasi melalui telpon atau SMS.

Menjelang pengumuman di DPP PDI Perjuangan tekait Balon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusung, saya pun SMS Abang Frans. Tidak mendapat balasan. Tidak seperti biasanya. Saya dalam hati bergumam, berat kalau begini. Menjelang subuh, ia membalas SMS saya, saya dalam perjalanan ke Kupang dengan Batik Air. Ibu Tidak dapat. Nanti saya jelaskan di Kupang, katanya.

PDI Perjuangan mendukung paket Marianus-Emi. Sejumlah nama potensial tidak mendapatkan restu dari Ibu Megawati. Tapi rencana bertemu tidak sempat jadi.

Suatu siang saya menemani Abang Ray Fernandez di Liliba selepas tidak mendapat restu dari PDI Perjuangan. Sambil bercerita, Handphone saya berdering. Pak Gubernur NTT memanggil. Saya menjawab telepon itu. Posisi dimana Adek, saya jawab di Penfui Abang. Padahal ada di Liliba bersama Abang Ray Fernadez. Dia pun memberi tugas terkait pembentukan opini pasca penetapan paket yang didukung oleh PDI Perjuangan. Selepas menerima telpon, Abang Ray bertanya, siapa yang telepon, saya jawab dengan hati-hati, Abang Gub. Oh ya ini juga dia ada WhatsApp. Saya pun meminta ijin meminta nomor WhatsApp Abang Frans ke Abang Ray. Nomor WA Abang Frans  pun saya salin. Ini memudahkan saya mengirim teks, link dan gambar ujar saya dalam hati.

Selepas menjalankan perintah untuk pembentukan opini, saya pun memutuskan untuk ikut Abang Ray ke Partai Nasdem mendukung Viktor Bungtilu Laiskodat-Joseph Nae Soi. Ini menjadi titik awal saya berpisah secara politik dengan Abang Frans Lebu Raya. Saya pun bergabung dengan Tim Media Victory Joss.

Selepas tidak menjabat Gubernur NTT, saya dengan Abang Frans sudah sangat jarang berkomunikasi. Saya sempat mendesain iklan hari raya dan kirim ke nomor Wa nya. Abang menjawab kirim nomor rekening Adek. Saya pun mengucapkan terimakasih. Waktu itu Abang Frans lebih sering bermukim di Bali dan sudah tidak pernah berkomunikasi lagi hingga kabar duka itu datang. Tentu saja sangat sedih dan kehilangan, orang baik dan berjasa dalam kehidupan saya pribadi dan komunitas alumni GMNI. Dan sangat penting  bagi Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Tadi malam, ( Senin, 04/04/2022) saya ikut misa mengenang 100 hari berpulangnya Almarhum Abang Frans Lebu Raya di Paroki Asumpta, Kota Kupang. Misa dipimpin oleh Uskup Agung Kupang, Yang Mulia Mgr Petrus Turang, Pr. Selepas misa dilanjutkan dengan ramah tamah yang diisi dengan testimoni dan kesaksian orang orang dekat, tekan di jaman Perjuangan di Masa Aktivis GMNI, Pejabat di masa kepemimpinan Abang Frans Lebu Raya sebagai Wakil Gubernur dan Gubernur NTT 2 periode. Hadir juga Bapak Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat.

Dalam sambutannya, Bapak Gubernur NTT memberi kesaksian tentang Abang Frans Lebu Raya. Menurutnya, semasa hidup publik NTT hanya tahu mereka berdua adalah musuh politik. Ia mengungkap banyak fakta terkait kedekatannya dengan mendiang Frans Lebu Raya. Ia mengenangnya sebagai sosok yang rendah hati, bersahaja dan sederhana.

“Saya mau menyampaikan disini bahwa saya dan pak Frans adalah sahabat yang tidak semua orang tahu. Dan dia merupakan tokoh yang bersahaja dan tidak mau menonjolkan kelebihannya,” ujarnya.

Frans Lebu Raya memang telah pergi selama-lamanya ke rumah Bapa di Surga. Ia telah banyak menorehkan sejarah yang panjang dalam pembangunan di NTT. Ia menjadi sosok penting dalam berbagai percaturan politik di PDIP Perjuangan secara Nasional. Terimakasih Abang Frans, Doakan kami yang masih bersiarah di dunia yang fana ini.***Elas Jawamara

Center Align Buttons in Bootstrap