Oleh Lasarus Jehamat
Presiden Joko Widodo tegas bersikap terkait isu penundaan Pemilihan Umum. Presiden Jokowi taat, tunduk, dan patuh pada konstitusi ketimbang wacana yang membuka ruang praksis inkonstitusional bernegara. Pernyataan tegas Presiden Jokowi tersebut seakan menjawab tuntas berbagai macam spekulasi, isu dan gosip yang berkembang di ruang politik nasional akhir-akhir ini.
Pernyataan presiden yang menolak penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan sesungguhnya seiring dengan berbagai survei yang dilakukan selama ini. Rilis survei Lembaga Survei Indonesia (25/2-1/3/2022) yang menyebutkan mayoritas atau 64 % responden tolak wacana penundaan pemilu. Juga mayoritas responden (68 – 71 %) menyatakan Presiden Jokowi harus mengakhiri masa jabatannya pada 20 Oktober 2024, sesuai konstitusi.
Seperti telah diketahui, dalam sebulan terakhir, berkembang dua wacana penting di jagat politik tanah air. Penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden dari dua menjadi tiga periode. Seperti disampaikan Kompas (05 Maret 2022), usulan penundaan Pemilu disampaikan Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia, awal Januari lalu. Bak gayung disambung, ide itu disambut positif oleh Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto (AH), dan Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan. Menanggapi wacana penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menyampaikan aspirasi petani sawit di Siak Riau tentang penundaan Pemilu.
Namun terkait AH, sebagaimana dilukiskan dalam tulisan Budiman Tanuredjo (Kompas, 5/3/2022): “bahasa AH lebih terukur dan elegan. Ia (AH) mengakui menerima aspirasi (penundaan pemilu) dari petani sawit di Siak, untuk dibicarakan dan dikaji dengan parpol lain”.
Pertanyaan penting kemudian ialah apakah usulan penundaan Pemilu itu salah? Tidak. Di ruang demokrasi, usulan penundaan Pemilu dan perpanjangan jabatan presiden bukan sesuatu yang tabu. Wajar dan lumrah. Presiden Jokowi rupanya seorang demokrat sejati. Selain praksis berdemokrasi diterapkan di Indonesia selama ini, terkait isu penundaan Pemilu, presiden menganggap wacana itu normal dan wajar di ruang demokrasi. Menjadi dosa kalau wacana penundaan Pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden diikuti dengan proses legislasi dengan mengabaikan aspirasi rakyat kebanyakan.
Dengan kata lain, silakan orang menilai bahwa ide penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden itu keliru bahkan inkonstitusional. Tapi menurut saya, jauh lebih inkonstitusional kalau partai dan elite partai mengabaikan aspirasi masyarakat. Variabel penting yang dipakai dalam mengukur apakah benar itu asptirasi rakyat atau bukan ialah kejujuran elite dan partai politik tentang waktu dan tempat penyampaian aspirasi itu.
Di titik seperti itu, pernyataan petinggi partai yang seolah mendukung penundaan Pemilu harus dibaca sebagai riak demokrasi, persis disampaikan Presiden Jokowi. Dengan begitu, elite partai politik tengah menggunakan hak konstitusional untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Dengan kata lain, ide penundaan Pemilu bukan dosa. Jika itu merupakan aspirasi rakyat, aspirasi itu perlu diangkat dan laik didiskusikan.
Dalam kerangka yang sama, dalam bacaan saya, pernyataan Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto khas menyuarakan kepentingan rakyat. Ketakutan utama AH saya kira kalau aspirasi itu tidak diteruskan dan abai diangkat ke publik. Jika tidak diangkat, AH dianggap sebagai pecundang. Ini justru menjadi masalah bagi AH.
Partai Golkar Tolak Penundaan Pemilu
Membaca pernyataan Presiden Jokowi, seperti ditulis harian Kompas (05 Maret 2022), dua poin penting laik diangkat. Pertama, Presiden Jokowi tidak setuju penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. Presiden akan taat, tunduk, dan patuh pada konstitusi. Namun demikian, jika ada wacana penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan Presiden, itu tidak bisa dilarang karena fakta itu jelas membuktikan berjalannya demokrasi di negara ini.
Kedua, dari awal saya kira Partai Golkar jelas menolak wacana penundaan Pemilu. Masyarakat perlu membedakan mana yang hanya merupakan pernyataan elite partai politik dan mana yang sungguh aspirasi masyarakat yang harus disampaikan elite partai politik.
Moral tulisan ini ialah agar masyarakat perlu diberi pendidikan politik yang cerdas dan bermartabat. Sebab, berkaitan dengan isu penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden, keduanya sudah telanjur digoreng secara politis. Ini soal kita sesungguhnya. Yang belajar tentang demokrasi akan segera paham bahwa wacana penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan itu fenomena lumrah di ruang demokrasi sejauh tidak diikuti dengan proses politik di DPR.
Kita tidak ingin masyarakat kita hidup dalam zona nyaman. Kita menginginkan semua soal diangkat dan dibuka. Masyarakat kita harus terbiasa hidup dengan banyak pilihan dan perspektif.
Perbedaan ide dan cara pandang merupakan hal lumrah dalam demokrasi. Terkait dengan itu, kita tidak bisa menghakimi 3 partai politik atau elite partai politik yang bersuara tentang penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden hanya karena ide mereka. Kita bisa menghakimi partai atau elite partai kalau prosesnya sudah mulai berkembang ke riak politik di lembaga legislatif.
Untuk saat ini, penundaan pemilu bukan wacana inti. Dia wacana pinggiran. Meski demikian, karena kita sudah mengaku dan tunduk pada hukum demokrasi, wacana pinggiran itu harus dihargai meski sulit diterima.
* Penulis, Peneliti Teras Demokrasi Indonesia Kupang; Dosen Sosiologi Fisip Undana Kupang