JAKARTA,SELATANINDONESIA.COM – Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) terbaru menunjukkan, hampir semua tokoh partai sangat kurang mendapat dukungan dari pemilih kritis.
Temuan itu disampaikan Direktur Riset SMRC, Deni Irvani, saat mempresentasikan hasil survei SMRC bertajuk “Kecenderungan Pilihan Presiden Pemilih Kritis Nasional” yang dirilis melalui kanal YouTube SMRC TV pada 28 Februari 2022 di Jakarta. Video presentasi temuan survei bisa disimak di sini: https://youtu.be/EWjfhfQgLpU
Untuk mempelajari kecenderungan pilihan pada kelompok pemilih kritis, SMRC melakukan serangkaian survei nasional melalui telepon dan diupdate terakhir pada 8-10 Februari 2022. Target populasi survei ini adalah warga negara Indonesia yang berusia 17 tahun ke atas atau sudah menikah dan memiliki telepon/cellphone. Dalam survei terakhir (8-10 Februari 2022), sampel sebanyak 1268 responden dipilih secara acak dari populasi tersebut dengan metode double sampling dan random digit dialing. Wawancara dengan responden dilakukan melalui telepon oleh pewawancara yang terlatih. Margin of error survei diperkirakan +/- 2,8% pada tingkat kepercayaan 95%, asumsi simple random sampling. Survei telepon sebelumnya dilakukan secara rutin setiap minggu dalam dua tahun terakhir.
Deni menjelaskan, pemilih yang memiliki telepon/cellphone merupakan indikasi kelompok pemilih kritis. Mereka cenderung punya kesempatan lebih besar untuk mendapat informasi sosial-politik dibanding yang tidak punya telepon/cellphone, dan karena itu kritis dalam menilai berbagai persoalan. Jumlah pemilih kritis dengan indikasi pemilik telepon/cellphone sekitar 72% dari populasi pemilih nasional. Pemilih kritis umumnya berasal dari kelompok warga di perkotaan, berpendidikan lebih tinggi, dan memiliki ketertarikan terhadap masalah politik.
Menurut Deni, dari berbagai simulasi diketahui bahwa dukungan kelompok pemilih kritis kepada tokoh-tokoh inti atau pemimpin-pemimpin partai pada umumnya sangat lemah.
Dalam jawaban spontan, pemimpin atau elit inti partai yang mendapat dukungan paling tinggi dari kelompok pemilih kritis adalah Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto(10,4%). Sementara pimpinan atau elit inti pada partai-partai lain hanya mendapat dukungan di bawah 2%. Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) hanya mendapat dukungan 1,2% di kelompok pemilih kritis. Selanjutnya, Ketua DPP PDI Perjuangan Puan Maharami mendapat dukungan 0,6%; Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto 0,3%; Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia Giring Ganesha 0,1%; Ketua Umum Partai Perindo Hary Tanoeseodibjo 0,1%; dan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar 0,1%.
Lalu, dalam simulasi semi terbuka dengan daftar 29 nama, di antara para pemimpin atau elit inti partai, yang mendapat dukungan paling tinggi dari pemilih kritis adalah PrabowoSubianto (13,7%). Sementara pemimpin atau elit inti partai lainnya hanya mendapat dukungan di bawah 3%. AHY hanya mendapat dukungan 2,6%. Selanjutnya, Puan 1,1%; Airlangga 0,4%; Hary 0,4%; Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan 0,2%; Muhaimin 0,1%; dan Ketua Umum NasDem Surya Paloh 0,1%.
Tokoh-tokoh partai lainnya seperti Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra, Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Al-Jufri, Ketua Umum Partai Berkarya Hutomo Mandala Putra, dan Presiden PKS Ahmad Syaiku, masing-masing mendapat dukungan 0,0%.
“Kalau yang bersaing dalam pemilihan presiden hanya pimpinan-pimpinan partai, yang berpeluang paling besar adalah Prabowo,” ujar Deni.
Ada 72 % Pemilih Kritis
Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menunjukkan ada 72% pemilih kritis dalam pemilihan presiden 2024.
Menurut Deni, untuk memenangkan pemilihan presiden seorang calon presiden harus unggul dari lawan-lawannya dalam menarik dukungan pemilih. Sementara para pemilih memiliki latar belakang yang beragam dan setiap kelompok pemilih punya kecenderungan sikap dan perilaku masing-masing.
“Kelompok pemilih yang penting jadi perhatian adalah pemilih kritis, yang jumlahnya sekitar 72% dari total populasi pemilih nasional,” papar Deni.
Pemilih kritis tidak mudah goyah atau dipengaruhi, dan sebaliknya bisa mempengaruhi pemilih lain. Calon yang mendapat dukungan kuat dari pemilih kritis, memiliki keuntungan karena punya kesempatan yang besar untuk menaikkan dukungan, atau setidaknya punya kemampuan untuk menjaga dukungan yang telah diraih.
“Pengamatan yang sistematik atas kecenderungan perilaku pemilih kritis dapat memberikan informasi tentang potensi calon-calon presiden dalam pilpres mendatang,” ujar Deni. ***Laurens Leba Tukan