Komisi II DPRD NTT Bersuara Keras Tentang Ikan Kerapu, Ganef: Budidaya Tidak Gagal

211
Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat ketika berada di Waekelambu, Kecamatan Riung, Kabupaten Ngada. Foto: BiroAP

KUPANG,SELATANINDONESIA.COM – Komisi II DPRD NTT bersuara keras terkait budidaya ikan kerapu oleh Dinas Kelautan dan Perikanan NTT. Jika budidaya ikan kerapu gagal, maka dinas teknis ini harus dievaluasi. Pernyataan keras ini datang dari Pimpinan Komisi II DPRD NTT, Kasimirus Kolo, dan Thomas Tiba Owa. Meski demikian, Kadis Kelautan dan Perikanan NTT, Ganef Wurgiyanto menyebut, budidaya ikan kerapu di Waekulambu, Kecamtan Riung, Kabupaten Ngada, tidak gagal.

Sebagaimana diberitakann suaraflobamora.com, proyek dengan dana besar ini gagal total karena hasil panen ikan kerapu di teluk tersebut hanya sekitar Rp 78,6 juta atau hanya sekitar 1 % (persen) dari total dana yang diinvestasikan Pemprov NTT senilai Rp 7,8 miliar.

Ketua Komisi II DPRD NTT, Kasimirus Kolo menegaskan, jika benar hasil panen ikan kerapu di Waekulambu hanya Rp 70 juta lebih, maka Dinas Kelautan dan Perikanan NTT harus dievaluasi. Program Gubernur dan Wakil Gubernur NTT di bidang kelautan dan perikanan ini cukup bagus untuk meningkatkan ekonomi masyarakat setempat serta PAD sehingga perlu didukung.

“Jika informasi dari media bahwa panen ikan kerapu di Waekulambu hanya Rp 70 juta dari nilai investasi Rp 7 miliar lebih benar perlu dibuktikan dengan data, dan kami segera turun ke lapangan untuk mengecek dan setelah kembali kami langsung panggil kepala dinas untuk memberikan penjelasan,” tegas Kasimirus di Ruang Rapat Komisi II DPRD NTT, Selasa (22/6/2021).

Menurut politisi Nasdem itu, program budidaya ikan kerapu ini merupakan salah satu program unggulan Pemerintah Provinsi NTT di bidang kelautan dan perikanan. Karena itu sejak awal DPRD NTT memberikan dukungan politik dan juga dana kepada pemerintah untuk melaksanakan program tersebut.

Khusus di Waekulambu dukungan dana sekitar Rp 7 miliar lebih termasuk pakan senilai Rp 300 jutaan. Benih yang ditebar sekitar 1 juta ekor baik di laut maupun di dalam keramba.

“Bagi saya bukan Gubernur dan Wakil Gubernur yang salah. Jika data itu obyektif dan benar, maka dinas harus dikoreksi atau dievaluasi dan bukan programnya yang gagal. Program ini begitu bagus, hanya implementasi di lapangan oleh dinas teknis itu yang perlu ditinjau kembali dan dievaluasi. Karena kita juga perlu orang-orang yang punya kompetensi di bidangnya dan punya kemampuan bekerja extra ordinary. Ya, mesti kerja keras di sini. Kita tidak bisa bekerja biasa-biasa saja karena pemikiran gubernur dengan lompatan jauh dan luar biasa patut diapresiasi, sementara kesiapan dinas untuk bergerak cepat itu yang perlu didorong,” tandas Kolo.

Kolo mengatakan, jika data hasil panen itu dijadikan sebagai alat ukuran, maka program tersebut tidak maksimal karena tidak sebanding dengan investasi yang dilakukan. “Kemarin selepas paripurna saya memanggil Pak Kadis dan menanyakan hasil panen yang tidak sesuai dengan yang disampaikan saat rapat dengar pendapat (RDP) beberapa waktu lalu bahwa akan memanen 2 ton di Waekulambu. Menurut beliau hasil panen seperti itu karena ada ikan yang migrasi ke laut lepas dan juga akibat badai sehingga jumlah dan bobotnya tidak sesuai dengan yang digambarkan dalam RDP itu. Saya juga merasa kaget dengan hasil panen itu. Bagi saya bukan gubernur dan wakil gubernur yang salah, sehingga kalau data itu obyektif dan benar maka dinas harus dievaluasi,” tegasnya.

Pendapat senada juga diungkap Wakil Ketua Komisi II, Thomas Tiba Owa. Toti, sapaan Thomas Tiba, mengatakan, dinas teknis dalam pengelolaan anggaran tersebut tidak maksimal. “Kaitan dengan program ini kita bersama dinas kelautan dan perikanan rapat berulang-ulang untuk membicarakannya. Dan kami juga sudah turun ke lapangan untuk melihat langsung perkembangan program itu. Cuma kaget juga ketika panen pak kadis sendiri menyatakan cuma dua ton. Menurut beliau hanya sebagian yang ada dalam keramba, sementara yang lain dilepas. Minimal yang ada di keramba itu bisa mengimbangi investasi yang ada untuk kepentingan masyarakat,” tandas Toti, politisi Partai Golkar ini.

Menurut Toti, kemauan pemerintah sesuai visi misi gubernur itu bagus, yang masalah adalah dinas teknisnya. “Kalau saya, kita tidak bisa persalahkan gubernurnya. Kita persalahkan dinas teknisnya karena pelaksanaan program ini adalah dinas teknis. Dan persoalan budidaya ikan kerapu bagi dinas ini baru, namun minimal pengelolaannya bisa menghasilkan 50 – 60 persen yang bisa sebanding dengan nilai investasi. Jika ke depan pemerintah masih punya niat untuk melanjutkan program ini perlu dievaluasi lagi. Kita mengharapkan demikian. Dinas teknis itu harus seriuslah dalam proses penanganan program itu Jangan main-main. Artinya jangan membuat masyarakat kecewa, apalagi sudah ada koperasi yang dibentuk, tentu melibatkan masyarakat,” katanya.

Menurut Toti, setiap anggaran yang dikeluarkan harus terukur. Budidaya ikan kerapu bukan ajang untuk latihan atau belajar. “Ini barang bukan untuk latihan. Sayang kalau anggaran yang dikeluarkan besar, baru hasilnya tidak maksimal. Sebaiknya pelaksanaan program ini juga mendatangkan tenaga ahli di bidangnya,” tegas wakil rakyat dari Dapil Flores V yang meliputi Kabupaten Nagekeo, Ngada, Ende dan Sikka ini.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan NTT, Ganef Wurgiyanto yang dihubungi Rabu (23/6/2021) mengatakan, budidaya ini tidak gagal, karena dapat dilakukan mulai penebaran benih sampai dengan panen dengan berat (bobot ) antara 1,5 sampai 3,6 kg. “Ikan dalam kondisi sempurna tidak ada yang bengkok (simetris) yang menandakan perairan tersebut subur dan cocok. Memang ada yang luka karena penanganan yang kurang sempurna pada saat grading (pemisahan ikan sesuai ukuran) maupun loading (memindahkan ikan). Juga, komoditas Ikan hidup dan masuk dalam grade ekspor. Dan, penundaan jadwal panen sekitar 2 bulan dikarenakan menunggu kesiapan kapal angkut,” sebut Ganef.

Ganef menyebutkan, pada saat ini setelah panen masih mengalami kerugian disebabkan, tidak semua ikan diambil pembeli (kondisi ikan luka mencapai 711 ekor) dan kehilangan ikan akibat musibah badai seroja (hilang 3.500 ekor) “Juga besaran biaya pada biaya investasi (4.241.500.000), sedangkan biaya operasional hanya (184.106.000). Dan, penerima manfaat adalah masyarakat setempat dan kegiatan budidaya ini berkelanjutan dengan nilai usia 15 – 20 tahun,” ujar Ganef.

Dijelaskan Ganef, budidaya itu merupakan kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat, sehingga seluruh fasilitas termasuk ikan 1 juta ekor lebih baik yang ditebar di perairan maupun di Karamba Jaring Apung (KJA) dihibahkan kepada masyarakat yang tergabung dalam Koperasi WANING BAAR, sedangkan DKP Propinsi NTT memberikan bimbingan teknis dan pengelolaan.

Ia menambahkan, “Searancing”/Restocking dan Budidaya ikan system KJA adalah pengkayaan sumberdaya ikan pada perairan tertentu dengan cara menebarkan jenis ikan tertentu (sesuai kajian) dengan tujuan meningkatkan stock ikan agar berkelimpahan, sehingga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk peningkatan ekonomi dan penyediaan induk ikan yang berkualitas, dan akan mendapatkan manfaat setelah 4 sampai 5 tahun setelah ikan tersebut matang gonat (berkembang biak).

Pada tahun 2019 bulan Desember, benih ikan kerapu yang dikirimkan sekitar 1.110.000 (1,1jt) ekor, kematian saat pengangkutan sekitar 80.000 ekor dan ditebar di perairan Taluk Labuhan Kelambu sekitar 1 juta ekor senilai Rp. 3.410.600.000 (3,4 M). Pakan ikan awal 1 ton Rp. 450.000.000,” jelas Ganeg.

Ganef menambahkan, kegiatan budidaya system KJA adalah fasilitas yang dibangun untuk kepentingan budidaya ikan dengan sistem Karamba yang dibuat terapung di permukaan perairan dan dapat dipanen setelah 1 sampai 2 tahun.

Pada tahun 2019 bulan Nopember, biaya investasi untuk Pemasangan 8 unit Karamba Jaring Apung (KJA) senilai Rp. 2.710.000.000, Bagan kelong senilai Rp. 317.000.000, Pembangunan jetty Rp. 164.500.000, pembangunan rumah jaga sebesar Rp. 50.000.000 sehingga Jumlah Biaya sebesar Rp. 4.241.500.000. Biaya Operasional lanjutan diantaranya Penambahan pakan berdasarkan persetujuan Komisi II DPRD NTT sebanyak 300 kg dengan nilai Rp. 150.000.000, benih kerapu 10.000 ekor Rp. 34.106.000, Penjaga karamba 4 orang @600.000 x 12 bulan Rp 28.800.000 sehingga jumlah biaya operasional Rp. 212.906.000,” jelasnya.

Dikatakan Ganef, benih ikan kerapu yang dibudidayakan (di KJA) sekitar 10.000 ekor, namun dengan kematian 50% maka sekitar 5.000 ekor sisa di KJA sekitar 5.000 ekor. “Musibah badai seroja mengakibatkan kerusakan jaring dan ikan hilang sekitar 3.500 ekor, dan sisa di karamba sekitar 1.500 ekor. Dari total ikan yang di karamba 1.500 ekor dengan berat sekitar 2.035 kg (2 ton) Kerapu Kertang super (ukuran 1,5-2 kg) sebanyak 741 ekor berat 849,8kg dengan nilai uang Rp. 38.241.000,- Kerapu Kertang UP (≤ 2 kg – 3,6 kg) sebanyak 53 ekor berat 126,5 kg Rp. 5.060.000,- Total Panen 794 ekor dengan berat 976,3 kg dengan hasil penjualan Rp. 46.861,.000,” ujarnya.

Hasil penjualan ditranfer langsung dari pembeli ke rekening Koperasi “WANING BAAR”. “Sisa yang belum dipanen 711 ekor dengan bobot sekitar 1,059 kg Kerapu belum dipanen disebabkan pembeli belum mau terima karena ikan kondisi mengalami luka pada bagian mulut dan sirip, sehingga menunggu pemulihan dan akan diambil setelah ikan pulih. Ikan hasil panen di bawa ke Bali kemudian diekspor ke Hongkong, maka membutuhkan kondisi ikan yang sehat dan sempurna. Semua laporan ini saya sudah sampaikan juga ke Komisi II DPRD Provinsi NTT,” ujar Ganef.***Laurens Leba Tukan

Center Align Buttons in Bootstrap