
Oleh Pater Kopong Tuan MSF
Hingga hari ini, kitapun tidak tahu alasan mengapa ketika tiba di Adonara pak Jokowi justru menangis. Apakah karena rasa sedih dan haru yang sudah tak tertahankan lagi ketia melihat secara langsung situasi yang sangat amat menyayat hati tragedi 4-April 2021? Atau apakah karena menyaksikan duka dan derita para korban? Tapi mengapa justru di Adonara, Beliau menangis?
Saya mencoba memaknai tangisan dan air mata pak Jokowi dari sisi iman Katolik dan juga sebagai anak Adonara sebagai berikut:
Pertama; Tangisan Keberpihakan Atau Belarasa.
Tangisan pak Jokowi adalah ungkapan belarasa bukan hanya sebagai pemimpin negara kesatuan Republik Indonesia, melainkan juga dimaknai sebagai bersama berjalan dalam penderitaan ini. Sebagaimana para perempuan Yerusalem yang mengikuti, meratapi dan menangisi Yesus dalam perjalanan salib menuju Golgota (Luk 23:27).
Adonara menjadi Golgota di mana pak Jokowi berjumpa dan bertemu dengan perjalanan salib Yesus dalam diri para korban banjirbandang pada khususnya dan seluruh masyarakat Adonara pada umumnya. Dari tangisan dan airmata pak Jokowi, pak Jokowi memberikan bahasa simbolik bahwa bukan hanya kita, tetapi Beliau juga adalah “anak” Adonara yang sedang mengalami duka bersama dalam satu jalan salib “Golgota” Adonara.
Kedua; Tangisan Sebagai Ajakan Merawat Rumah Kita Bersama “Bumi” Adonara.
Tangisan pak Jokowi ini ibarat tangisan Yesus saat memasuki kota Yerusalem dan mendapatkan para penghuni kota Yerusalem yang hidup tidak sesuai dengan kehendak dan perintah Allah (Luk 19:42-44).
Kita semua bahagia akan kedatangan pak Jokowi. Mengeluk-elukan pak Jokowi yang mengunjungi dan memasuki “Yerusalem” Adonara, seperti ketika Yesus dieluk-elukan saat memasuki Yerusalem (Luk 19:37-38). Namun elukan dan sorak-sorai pujian itu justru berubah seketika menjadi ratap tangis Yesus terhadap kotanya sendiri. Dan kalau kita menyadari, elukan dan sorak sorai pujian kita juga, seketika berubah menjadi tangisan haru pak Jokowi.
Pesan simbolik yang bisa kita maknai dari tangisan dan air mata pak Jokowi ini adalah ajakan bagi kita semua untuk merawat Adonara sebagai rumah kita bersama, membumikan ensiklik Paus Fransiskus “Laudato Si” dengan tidak hanya merelokasi para korban ke tempat hunian baru namun di atas segalanya adalah menghijaukan wajah Adonara melalui penanaman pohon dan perubahan mentalitas atau tingkah laku yang merusak menuju mentalitas dan tingkah laku yang ramah, menjaga, merawat dan memperindah serta menghijaukan lingkungan sekitar kita.
Ketiga; Tangisan Sebagai Ajakan Untuk Tidak Menarikan Korupsi
Bagi saya, salah satu makna dibalik tangisan dan air mata pak Jokowi adalah juga sebuah peringatan bagi kita semua terutama pemangku kebijakan untuk tidak memanfaatkan situasi ini sebagai sebuah peluang atau panggung menarikan “tarian” korupsi di atas penderitaan masyarakat Adonara.
Jika Yesus menegur kaum perempuan yang menangisi-Nya” “Hai puteri-puteri Yerusalem, janganlah kamu menangisi Aku, melainkan tangisilah dirimu sendiri dan anak-anakmu! (Luk 23:28), pak Jokowi melalui tangisan dan airmatanya juga sedang mengajak kita semua untuk menghapus air mata dan duka para korban, menjadi Veronika-veronika di tanah Adonara untuk tidak memainkan “tarian” korupsi.
Pak Jokowi sedang mengatakan kepada kita semua; “jangan jadikan kehadiran saya sebagai euforia semata, tetapi jadikanlah tangisan dan air mataku ini sebagai penghiburan dan kekuatan bagi para korban dengan tidak melakukan korupsi atas setiap sumbangan yang diberikan.” **) Manila: 13-April 2021