Iman Kami Tak Bisa Dibom

2603
Isidorus Lilijawa

Oleh Isidorus Lilijawa

Pukul 10.26 pagi. Di saat umat Katolik di Gereja Katedral Makasar sedang bersiap merayakan Minggu Palma, di pintu gerbang depan pagar gereja meledaklah bom bunuh diri itu. Seperti mengulang kisah beberapa tahun silam di Surabaya. Bom bunuh diri dengan sasaran tempat ibadah masih menjadi target para teroris. Sontak kepanikan melanda, kecemasan datang. Sukacita batin menyambut pekan suci dinodai bom penuh kedengkian. Di situ, di rumah Tuhan itu, pekikan Hosanna Putra Daud berganti lamentasi kirye Eleison bahkan mungkin mea maxima culpa.

Darah berceceran. Daging tercabik. Sang pengantin mungkin sudah berjumpa bidadari dan tuannya di langit ketujuh. Di saat para korban yang terluka harus menahan sakit dalam keperihan luka dan batin yang terguncang. Kita kutuk aksi ini karena merobek tenunan kedamaian dan kebersamaan kita sebagai anak bangsa, bukan semata-mata karena menyerang Katedral Makasaar, gereja Katolik. Teroris adalah musuh negara. Terorisme itu penyakit bangsa. Maka apapun agamamu, bagaimanapun keyakinanmu, sikap kita sama terhadap teroris dan terorisme, terkutuklah ia.

Gereja Katolik sering menjadi sasaran bom bunuh diri. Padahal kita sudah final, 100 persen Katolik 100 persen Indonesia. Gereja kami bisa saja diruntuhkan. Tempat ibadah kami boleh saja dibom. Rumah sembahyang kami dapat saja digusur. Tetapi ingat! Iman kami tak dapat dibom, tak bisa digusur, tak sanggup diruntuhkan. Kami tidak beriman pada gedung gereja itu. Kami mengimani Yesus Kristus Tuhan kami. Gereja adalah sarana kami berjumpa dengan-Nya. Karena tubuh dan jiwa kami sesungguhnya adalah Bait-Nya. Hari ini ada duka di Makassar. Hari ini ada gusar di sana. Namun, iman kami tetap sekokoh kefas, sang batu karang itu. Semakin dihambat kami pasti semakin merambat.

Hari ini umat Katolik memulai pekan Suci. Suatu ziarah iman menuju pengalaman penderitaan Tuhan, kematian hingga kebangkitan-Nya. Memasuki kota Yerusalem, sang Mesias dieluk-elukan. Ia disoraki raja. Cawan penderitaan Ia terima hingga meregang nyawa di kayu salib demi menebus dosa manusia. Penderitaan itu luar biasa. Jauh lebih besar dari bom bunuh diri itu. Mungkin ini saatnya kita mengalami Jumad Agung lebih cepat agar kita mawas diri dan waspada.

Bom bunuh diri di Katedral Makassar tentu mencederai sensus religiousitas kita. Di negara yang menjamin kebebasan beragama ini, masih ada praktik kekerasan bahkan atas nama agama. Kita tidak boleh menyerah. Kita jangan patah harapan. Ujung dari penderitaan Tuhan adalah kebangkitan-Nya. Iman kita yang tak bisa dibom itu tidak akan sia-sia karena Kristus Juruselamat kita akan bangkit dan menyelamatkan kita. Mari kita terus merawat keberagamaann dan keberagaman dengan pupuk toleransi. Saling peduli dan respek dalam keberbedaan. Tenunan kain kebangsaan kita yang indah karena corak, motif dan warna yang beragam harus kita jaga dan lestarikan. Tak ada gunanya membalas kejahatan itu dengan kejahatan lain. Toh kita harus memberi pipi kanan pula jika pipi kiri sudah ditampar.

Di ambang pintu pekan suci ini, kita ampuni pelaku. Mungkin ia tidak tahu apa yang ia perbuat. Sekaligus mendorong dan mendoakan agar negara melalui aparat penegak hukum segera melakukan tindakan-tindakan yang memberi rasa aman bagi para pemeluk agama dan menindak para pelaku dan otak kekerasan setegas-tegasnya. Bom Makassar adalah early warning system bahwa kita tidak boleh terlena di zona nyaman. Iman kita mestilah iman yang peduli dan yang awas, bukan iman yang nyaman di zona aman. Kami tidak takut. Iman kami tak bisa dibom. Gereja kami tak perlu dibentengi. Kami percaya negara hadir memberi rasa adil dan Tuhan ada membawa rasa aman. Salve…

Center Align Buttons in Bootstrap