Sejarah perkembangan Ombudsman di dunia berawal dari negara Swedia pada tahun 1809, terinspirasi dari gagasan Khalifah Umar bin Khatab (634-644 M) yang membentuk Qodhi al Quadhaat dengan tugas khusus melindungi warga masyarakat dari tindakan sewenang-wenang dan penyalahgunaan kekuasaan oleh penyelenggara pemerintah. Kini hampir semua negara yang menamakan dirinya Negara Hukum dan Negara Demokrasi telah membentuk lembaga Ombudsman, Beckman dan Uggla (2016) mencatat sepanjang tahun 1983-2010 keberadaan Ombudsman meningkat 5 kali lipat di seluruh dunia sebagai intsrumen perlindungan hak-hak dasar warga negara.
Di Indonesia, Ombudsman baru dibentuk oleh Presiden RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tanggal 10 Maret 2000 melalui Keputusan Presiden No. 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional sebagai cikal bakal lembaga Ombudsman di Indonesia, kemudian posisi Ombudsman dipertegas sebagai lembaga negara independen (state auxiliary agency) pengawas pelayanan publik berdasarkan UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI.
Gagasan pembentukan lembaga Ombudsman sebagai respon terhadap tuntutan rakyat yang tertuang dalam Agenda Reformasi Tahun 1998, yaitu untuk melindungi hak-hak warga negara (Pasal 1 dan 2 Keppres No. 44/2000) dan pencegahan korupsi (TAP MPR No. VIII/MPR/2003), sebagaimana pendapat Beckman dan Uggla (2016) menegaskan Ombudsman berperan untuk menjamin institusi publik dan birokrasi mematuhi hukum dan regulasi, serta menjadi wakil (ombud) dalam membela hak dan kepentingan warga negara berhadapan dengan institusi publik lainnya.
Sudah dua dekade Ombudsman RI berperan sebagai lembaga pemberi pengaruh (Magistrature of Influence) mengawal pelayanan publik, telah banyak memberi pengaruh positif terhadap upaya peningkatan kualitas pelayanan publik di republik tercinta ini, seperti tak ada gading yang tak retak, tentunya masih jauh dari sempurna. Oleh karena efektivitas Ombudsman sebagai Magistrature of Influence sangat ditentukan oleh kesadaran yang tinggi dari institusi publik dan birokrasi sebagai pelayan masyarakat dalam kultur berpemerintahan yang baik (good governance).
Magistrature of Influence
Baik dalam Keppres No. 44/2000 maupun UU No. 37 Tahun 2008 tidak secara eksplisit menyebut Ombudsman sebagai lembaga pemberi pengaruh (Magistrature of Influence), implisitasnya tercermati penjelasan umum UU No. 37 Tahun 2008 pada paragraf kesepuluh menjelaskan bahwa “…… Ombudsman dituntut untuk mengutamakan pendekatan persuasif kepada para pihak agar Penyelenggara Negara dan pemerintahan mempunyai kesadaran sendiri dapat menyelesaikan Laporan atas dugaan Maladminsitrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Dengan menggunakan pendekatan ini berarti tidak semua Laporan harus diselesaikan melalui mekanisme Rekomendasi. Hal ini yang membedakan Ombudsman dengan lembaga penegak hukum atau pengadilan dalam menyelesaikan Laporan”.
Antonius Sujata (Sunaryati Hartono, 2005) mengemukakan bahwa secara universal diakui pada hakikatnya Ombudsman mengemban misi untuk melakukan pengawasan secara moral. Pertimbangan, saran serta rekomendasi Ombudsman meskipun tidak megikat (not legally binding) namun secara moral diikuti (morally binding) dan menjadi penyeimbang (amicus curie) antara aparatur dengan rakyatnya. Ombudsman tidak memberi sanksi hukum sebagaimana Lembaga Peradilan (magistrature of sanction) akan tetapi memberi pengaruh kepada aparatur (magistrature of Influence).
Lebih lanjut Masdar F. Mas’udi (Sunaryati Hartono, 2005), Ombudsman di seluruh dunia bekerja bukan dengan ancaman sanksi yang menakutkan, melainkan dengan persuasi atau sentuhan tanggung jawab yang menyadarkan. Ombudsman lebih memperlakukan aparat negara atau pejabat publik lebih sebagai pribadi-pribadi yang berhati nurani dan berakal budi, ketimbang sebagai sosok-sosok yang hanya berkapasitas fisikal jasmani.
Terpahami bahwa Ombudsman RI sebagai magistrature of influence dalam pengawasan pelayanan publik, memainkan peran meyakinkan institusi publik dan birokrasi bahwa koreksi dan rekomendasi atas laporan dugaan maladministrasi serta deteksi dan saran atas potensi maladminsitrasi, sangat menguntungkan institusi publik dan birokrasi dalam perbaikan sistem pelayanan publik sehingga praktik maladminsitrasi tidak terus berulang, yang secara langsung akan meningkatkan kinerja aparatur dalam memberikan pelayanan kepada warga masyarakat.
Mengefektifkan peran Ombudsman sebagai magistrature of influence, perlu disinergikan dengan pengembangan sanksi sosial seperti budaya malu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terkhususnya praktik penyelenggaraan pemerintahan, serta pelembagaan politik dan nilai-nilai politik yang menciptakan transparansi dan ruang partisipasi publik dalam memberikan kontrol yang optimal terhadap tata kelola pemerintahan.
Tantangan dan Prospek
Pelayanan publik merupakan hak warga masyarakat dan pemerintah berkewajiban untuk memberikan pelayanan, sehingga pelayanan publik yang buruk perlu diperbaiki untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Hal demikian diperhadapkan dengan kemampuan aparatur yang meningkat seperti deret hitung, sedangkan ekspektasi publik meningkat seperti deret ukur. Selain itu digitalisasi pelayanan publik yang terus mengalami perkembangan tentunya secara perlahan namun pasti akan menggeser pelayanan publik konvensional.
Secara spesifik pelayanan publik di daerah menunjukan fenomena tersendiri, berdasarkan Laporan Tahunan 2019 Ombudsman RI yang dipublikasikan pada Selasa 03 Maret 2020, memberi gambaran bahwa semakin rendah tingkat pemerintahan semakin tidak patuh terhadap standar pelayanan publik. Gambaran tersebut diperoleh dari hasil survey kepatuhan terhadap UU No.25/2009 tentang Pelayanan Publik yang diselenggarakan tahun 2015-2019. Tren positif peningkatan kepatuhan dari tahun ke tahun justru ditunjukan oleh Kementerian dan Lembaga di tingkat pusat.
Rendahnya kepatuhan terhadap standar pelayanan publik di tingkat daerah berimplikasi pada implementasi kemudahan berusaha (ease of doing business) di daerah, merupakan pilar pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan pekerjaan baru yang akan memberi dampak (impact) terhadap peningkatan pendapatan asli (daerah dan rakyat) demi terwujudnya kesejahteraan rakyat (benefit).
Perbaikan pelayanan publik dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, sebagaimana dirilis OECD & European Ombudsman (2018) dilakukan dengan fokus pada reformasi tata kelola pemerintahan melalui: perbaikan akuntabilitas organisasi sektor publik, perbaikan pelayanan publik, peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap sektor publik, perbaikan kesadaran organisasi sektor publik akan kebutuhan masyarakat.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020-2024, posisi Ombudsman RI mendukung pencapaian pembangunan nasional khususnya agenda pembangunan ke-7 “Memperkuat Stabilitas Polhukhankam dan Transformasi Pelayanan Publik”, dengan mendorong penguatan pengawasan masyarakat atas kinerja pelayanan publik melalui penyelesaian laporan/pengaduan masyarakat terhadap penyelenggara pelayanan publik (external complaint handling).
Peran Ombudsman RI dalam upaya perbaikan kualitas penyelenggaraan pelayanan publik perlu didukung dengan manajemen kelembagaan dan anggaran yang memadai bagi Kantor Pusat dan Kantor Perwakilan Ombudsman RI yang tersebar pada 34 Provinsi di Indonesia, sembari setiap Insan Ombudsman RI diharapkan tetap menjaga profesionalitas, independensi dan integritas dalam mengawal pelayanan publik. Dirgahayu Ombudsman RI ke 20 Tahun**