Anggota Komisi XIII DPR RI Geram atas Usulan Penangguhan Penahanan Tersangka Kasus Sukabumi
JAKARTA,SELATANINDONESIA.COM — Angin toleransi kembali tercemar kabut pekat. Di tengah harapan masyarakat akan penegakan hukum yang adil, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (KemenHAM) justru memantik kontroversi. Lembaga yang semestinya berdiri di garis depan membela hak korban kekerasan, kini dituding berpihak pada para pelaku.
Pemicunya adalah pernyataan Staf Khusus Menteri HAM, Thomas Harming Suwarta, yang mengusulkan penangguhan penahanan tujuh tersangka kasus intoleransi di Sukabumi, Jawa Barat. KemenHAM bahkan menyatakan kesiapannya menjadi penjamin.
Sontak, kritik keras meluncur dari Senayan. Anggota Komisi XIII DPR RI dari Fraksi Golkar, Dr. Umbu Rudi Kabunang, menyebut langkah itu sebagai bentuk pengkhianatan terhadap tugas negara melindungi korban pelanggaran HAM.
“Kalau KemenHAM malah jadi penjamin pelaku intoleransi, lalu siapa yang lindungi korban? Negara jangan jadi pelindung ketidakadilan,” ujar Umbu Rudi kepada wartawan, Jumat, (4/7/2025).
Umbu Rudi, legislator dari daerah pemilihan Nusa Tenggara Timur (NTT) II, menilai peristiwa di Sukabumi bukan sekadar konflik sosial biasa, tapi bentuk nyata pelanggaran hak atas kebebasan beribadah yang dijamin oleh UUD 1945 dan Pancasila.
“Negara wajib melindungi anak-anak bangsa dalam menjalankan keyakinannya. Ini bukan isu minor, ini tentang hak dasar,” tegasnya.
Kasus intoleransi itu terjadi pertengahan Juni lalu, saat sekelompok warga menyerbu sebuah rumah warga Kristen yang digunakan untuk retret pelajar. Tudingan “tempat ibadah ilegal” berujung persekusi, intimidasi, dan kekerasan fisik. Polisi sudah menetapkan tujuh orang sebagai tersangka.
Namun pernyataan KemenHAM mengundang tanda tanya besar. Para tersangka disebut sebagai “warga biasa”, “tidak terorganisir”, dan “menyesal”. Alasan kemanusiaan pun dilontarkan—ada yang istrinya sedang hamil, ada yang punya anak kecil.
“Kalau begitu, semua pelaku kejahatan bisa berlindung di balik narasi kasihan,” sindir Umbu Rudi. “Negara ini tidak dibangun dari empati buta, tapi dari hukum yang adil dan tegas.”
Ia menyayangkan pendekatan mediasi dan Restorative Justice (RJ) yang menurutnya justru mengaburkan garis tegas antara pelanggar dan korban. “Apa ini artinya, pelaku intoleransi bisa bebas asal bilang maaf?” katanya.
Umbu Rudi bahkan mempertanyakan arah moral KemenHAM. “Saya minta Menteri HAM segera membatalkan rencana menjadi penjamin. Kalau ini dibiarkan, Indonesia mau jadi apa? Negara hukum atau negara barbar?”
Ia mengajak pemerintah belajar dari praktik hidup rukun di tanah kelahirannya. “Di NTT, Kristen, Katolik, Islam, Hindu hidup berdampingan. Tidak ada tempat untuk kekerasan atas nama agama. Kalau mau belajar toleransi, datanglah ke NTT,” ujarnya.
KemenHAM berdalih masih menelusuri aktor intelektual di balik insiden itu, dan bahwa ketujuh tersangka hanya pelaku spontan. Namun Umbu Rudi menilai pernyataan itu seperti menyepelekan persoalan.
“Spontan atau tidak, mereka tetap melanggar hukum. Justru kita khawatir kalau negara makin permisif, nanti mereka bisa dianggap pahlawan oleh kelompok-kelompok intoleran,” ujarnya.
Ia mengingatkan, terlalu banyak kasus serupa di Indonesia—pembubaran ibadah, perusakan rumah ibadat, pengusiran umat minoritas—yang tidak pernah tuntas karena negara memilih kompromi.
“Sudah saatnya negara bersikap. Kalau pemerintah tidak tegas, kita sedang menggali kubur untuk keberagaman kita sendiri.”
Umbu Rudi menyambut baik kehadiran Kementerian HAM dalam Kabinet Prabowo sebagai bentuk penghormatan terhadap hak asasi. Namun ia menegaskan, hak itu tak boleh dimaknai sempit. “HAM bukan berarti lunak terhadap pelanggar hukum. HAM justru harus menjadi pembela korban, bukan pelindung pelaku,” ujarnya.
DPR, kata Umbu Rudi, akan terus mengawal kasus ini agar tidak berakhir pada kompromi politik. “Ini bukan sekadar soal agama. Ini soal keberadaban kita sebagai bangsa,” pungkasnya.*/Laurens Leba Tukan
Komentar